Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Napak Tilas Jejak-jejak Kolonial di Kabupaten Sumedang

22 Agustus 2022   14:42 Diperbarui: 22 Agustus 2022   14:48 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Cadas Pangeran |Tribunnews.com

Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam lingkup administratif provinsi Jawa Barat. Kota penghasil tahu  dan terkenal dengan ubi Cilembu-nya yang memiliki manis seperti madu ini memiliki beragam bukti peninggalan masa kolonial, sebagai jejak-jejak sejarah yang patut kita ketahui.

Karena, dari bukti-bukti peninggalan sejarah, kita akan belajar untuk mengetahui bagaimana para leluhur kita pada jaman dahulu menghadapi masalah dan menyelesaikan masalah. Dari sejarah kita akan belajar, apa yang sudah benar, apa yang harus diperbaiki. Agar dalam menghadapi hidup, kita dapat melakukan upaya preventif. Kita dapat mengambil apa yang sudah benar, dan memperbaiki hal yang keliru dan menerapkannya dalam kehidupan.

Gunung Kunci jejak penjara jaman Belanda

Setiap pulang sekolah, saya melewati Taman Hutan Raya Gunung Kunci. Karena, jalan ini sebagai rute wajib bagi angkutan kota dengan nomor 03, yang saya naiki. Terus terang saja, sebagai warga Sumedang, saya belum pernah menjejakkan kaki di sini. Meskipun setiap harinya, selalu saja ada kendaraan pengunjung yang terparkir di depan taman dengan lambang dua kunci pada gerbangnya itu.

Dilansir dari cnnindonesia.com Lili Mulyana sebagai kuncen Taman Hutan Raya Gunung Kunci, mengatakan bahwa Gunung Kunci merupakan goa peninggalan Belanda. Di dalam goa tersebut ada ruangan-ruangan sel tahanan yang berjajar di sepanjang kedua lorong. 

Ruang tahanan tersebut merupakan sel atau penjara, bagi para pahlawan Indonesia yang menolak tunduk pada pemerintahan Belanda. Di dalam sel ini mereka, para tahanan itu disiksa dengan kejam.


Gunung Kunci yang berlokasi di Jalan Pangeran Sugih ini, sekarang dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Setiap hari libur dan weekend, akan selalu ramai dikunjungi wisatawan. 

Baik dari dalam maupun luar daerah Sumedang. Ada bermacam fasilitas yang dapat dinikmati pengunjung, diantaranya : amphitheather atau panggung hiburan yang dirancang terbuka, pusat jajanan serba ada, tempat istirahat, arena bermain anak, goa Belanda, arena outbond, jogging track, menara pengawas, mushola, dan toilet.


Tujuh benteng sebagai jejak pertahanan 

Selain goa Belanda dan benteng pertahanan Gunung Kunci dan Benteng Palasari yang masih berdekatan dengan Gunung Kunci, masih ada beberapa benteng lagi peninggalan Belanda di daerah Sumedang. Diantaranya Benteng Pasir Laja, Benteng Pasir Kolecer, dan Benteng Darmaga Gunung Gadung yang terletak di daerah Gunung Gadung, desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. 

Di tempat ini, kita akan menemukan tiga bangunan yang kokoh, dengan lokasi yang berdekatan. Benteng ini akan memberikan gambaran kepada kita, tentang bagaimana sepak terjang Belanda dalam mempertahankan tanah jajahannya.


Menurut catatan sejarah, ketiga benteng yang dibangun di lokasi yang sama ini, memiliki fungsi sebagai gudang penyimpanan mesiu pasukan Belanda. Selain itu, benteng ini menjadi bagian dari benteng pertahanan bagi pasukan Belanda yang berada di wilayah Sumedang. 

Benteng Batarai, atau penduduk setempat menyebutnya benteng 'batre' berada di desa Mekar Jaya, kecamatan Sumedang Utara. Benteng ini menjadi saksi bisu, yang menggambarkan kekuatan pasukan Belanda pada saat itu. Harus diakui bahwa Belanda memiliki strategi yang hebat dalam bertahan. 

Mereka mampu membuat benteng-benteng pertahanan yang berlokasi di atas ketinggian dan puncak-puncak bukit. Pemilihan lokasi ini bertujuan, agar mereka mudah melakukan pemantauan terhadap musuh.

Benteng Darmaga Darangdan, biasa disebut sasak bedeng oleh masyarakat setempat. Benteng ini merupakan salah satu benteng yang dibangun Belanda. Penyebutan sasak bedeng oleh masyarakat sangat masuk akal, karena benteng ini dibangun secara memanjang melintasi sebuah sungai dari arah utara ke selatan. Di dalam benteng ini terdapat pintu air yang akan mengalirkan air ke sungai Cipeles.

Keunikan dari benteng ini adalah bangunannya yang kokoh, dengan pilar-pilar yang menjulang dan kuat. Bila kita melihatnya dari kejauhan, bangunan benteng ini akan tampak seperti bendungan.

Faktor penyebab

Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab mengapa di Sumedang memiliki banyak tempat dan bukti-bukti peninggalan bersejarah, sebagai warisan kolonialisme Belanda. 

Pertama, Sumedang sebagai kota yang berada di jalur yang menghubungkan kota-kota di Jawa Barat dengan Pulau Jawa lainnya. Kita semua tahu, bahwa jalan ini merupakan akses utama bagi masyarakat untuk bepergian dan menuju daerah-daerah lain di pulau Jawa. 

Kedua, Sumedang sebagai kota yang menjadi tempat berakhirnya kejayaan kerajaan Sunda. Dalam sejarah tercatat bahwa kerajaan Sumedang Larang merupakan kerajaan Sunda terakhir. Tentu saja, setelah runtuhnya kerajaan Sunda Galuh Pakuan. 

Bukti tentang adanya pewarisan kerajaan Sunda kepada Kerajaan Sumedang Larang  dapat dilihat pada mahkota binokasih. Saat ini, mahkota kerajaan Sunda ini berada di museum Geusan Ulun Sumedang.

Ketiga, di kota Sumedang, pemerintah kolonial Belanda memiliki agenda besar, yakni pembuatan jalan raya Cadas Pangeran. Proyek ini menghabiskan dana yang tidak sedikit. Pembuatan jalan ini juga telah menorehkan catatan sejarah yang kelam dan heroik bagi rakyat Sumedang. Karena, pada masa pembangunan jalan tersebut, banyak rakyat Sumedang yang menjadi korban kekejaman Belanda. 

Masyarakat Sumedang ditindas secara kejam dan tidak manusiawi untuk membongkar batu-batu cadas yang sangat keras. Tentu saja, dengan peralatan sederhana yang ada di rumah warga. Telah menjadi rahasia umum, jika proyek pembuatan jalan yang menghubungkan Anyer dan Panarukan ini dilaksanakan dengan program kerja paksa. 

Banyak masyarakat yang sakit, bahkan tidak sedikit yang meninggal sebagai korban dari kekejaman Belanda. Sehingga, Pangeran Kornel yang menjadi pemimpin Sumedang pada masa itu merasa iba pada rakyatnya. Beliau pun tampil membela rakyat dengan cara menyalami Jenderal William Daendels dengan tangan kiri.

Dalam norma masyarakat Sunda, bersalaman yang baik dan ideal adalah menggunakan tangan kanan. BIla dilakukan sebaliknya, hal itu dapat diartikan sebagai menentang atau bukti sebuah perlawanan. 

Aksi heroik dan berani ini mengundang simpati masyarakat pada masa itu. Sehingga, sebagai penghargaan atas keberanian Pangeran Kornel tersebut. Jalan ini dikenal dengan nama Cadas Pangeran hingga sekarang. 

Oleh karena itu, bila dari arah Bandung kita melintasi jalan Cadas Pangeran, di sebelah kiri jalan sebelum masuk area Cadas Pangeran, kita akan menemukan sebuah patung Pangeran Kornel sedang berjabat tangan menggunakan tangan kiri.

Ternyata jejak-jejak kolonialisme di kabupaten Sumedang tidak hanya pada benteng-benteng pertahanan, penjara, dan patung Pangeran Kornel. Tapi, juga masih dapat kita temukan beberapa tempat lagi yang merupakan peninggalan Belanda.

Menara Loji

Menara lonceng ini berada di Jatinangor, sebuah menara yang dibangun dengan gaya arsitektur Kebangkitan Gothik, dibangun pada tahun 1800-an oleh Baron Braud --seorang tuan tanah Belanda yang memiliki hektaran kebun karet di wilayah Jawa Barat.

Menara ini menjadi saksi bisu, tentang produktivitas Jatinangor saat itu sebagai sentra perkebunan karet. Menurut catatan sejarah, Jatinangor pada masa pendudukan Belanda memiliki kebun karet seluas 962 hektar. Menara loji ini berfungsi sebagai pengingat jam kerja bagi para pekerja di kebun karet. 

ilustrasi menara loji| Sumedang tandang
ilustrasi menara loji| Sumedang tandang

Saat ini menara Loji dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan. Baik pada hari biasa, maupun  pada saat liburan. Menara loji dibangun berdekatan dengan Institut Teknologi Bandung yang berada di Jatinangor dan Pusat Air dan Sanitasi Darurat Palang Merah Indonesia, serta berseberangan dengan Universitas Padjadjaran.

Jembatan Cincin

Jembatan cincin populer dan dikenal sebagai jalur rel kereta api peninggalan Belanda. Jalur ini pada jaman dahulu digunakan sebagai lalu lintas untuk mengangkut hasil bumi. Jembatan cincin pada saat ini menjadi salah satu kekayaan heritage bagi kabupaten Sumedang.

Jembatan yang memiliki lingkaran pada tiangnya menyerupai cincin ini terletak di daerah Cisaladah, Cikuda, Jatinangor. Menurut sejarah, jalur ini secara de facto termasuk ke dalam wilayah aset II Bandung. Pada saat itu, ada rencana pembangunan jalur kereta api dari Rancaekek-Tanjungsari. 

Pembangunan jalan kereta api ini bertujuan untuk akses jalan yang dapat menjangkau perkebunan di daerah Jatinangor, serta mendukung pertahanan militer Belanda di wilayah Sumedang.

Kini, jalur kereta api ini berstatus non-aktif. Masyarakat memanfaatkan jalur ini sebagai akses lalu lintas, sebagai jembatan yang menghubungkan desa Cikuda dengan kampus Universitas Padjadjaran dan sekitarnya.

Napak Tilas

Napak tilas merupakan sebuah kegiatan mengunjungi kembali tempat -tempat yang memiliki nilai kenangan, sejarah, dan historis. Baik berhubungan dengan kenangan pribadi, maupun kekayaan kenangan sejarah secara kolektif.

Sebagai generasi muda yang tidak mengalami secara langsung masa-masa perjuangan. Sudah seharusnya kita memiliki keterkaitan emosi dengan bukti-bukti sejarah di masa lalu. Dengan cara mengunjungi tempat-tempat tersebut. Apalagi, bila peninggalan sejarah tersebut berada di dekat tempat tinggal kita.

Napak tilas akan memberikan manfaat yang besar bagi diri kita. Salahsatunya adalah mampu menghadirkan rasa menghargai sejarah dan para pahlawan yang telah berjuang pada masa itu. Dengan demikian, akan muncul rasa syukur dan tekad untuk meneruskan jejak-jejak perjuangan tersebut dengan cara mengisi kemerdekaan. (*)

#HUT 77 RI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun