Saat ini, perempuan tidak lagi ditampilkan sebagai sosok yang 'nrimo' dan 'sumuhun dawuh' diam di rumah, menunggu suami pulang bekerja. Keran emansipasi telah terbuka lebar, hal ini memberikan peluang dan angin segar bagi perempuan. Sehingga mereka dapat berkembang sesuai passion, cita-cita, dan kemampuannya.
Bahkan, peran perempuan di dunia politik, pemerintahan, ekonomi, hukum, dan ranah-ranah yang bersifat serius lainnya. Kini, membutuhkan andil dan kiprah perempuan di sana. Tidak main-main, kuota 30 persen keikutsertaan perempuan dalam dunia politik, menjadi tantangan yang cukup menggiurkan.
Perempuan pun membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Dengan setelan pakaian yang resmi, sepatu hak tinggi, dan kendaraan mentereng. Setiap pagi mereka berangkat bekerja. Ada yang menuju ke kantor, sekolah, rumah sakit, gedung pemerintahan, kantor polisi, bank, pasar, dan lain-lain. Bahkan, yang menjadi sopir angkutan umum pun ada.
Perempuan sebagai pencari nafkah
Selain memenuhi hak kebebasan berpendapat, menggapai cita-cita, dan memenuhi hak sebagai manusia yang merdeka. Perempuan juga dituntut untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.Â
Oke lah, jika ia masih berstatus single. Tentu saja, materi yang ia hasilkan akan digunakan untuk keperluan pribadinya, dan sedikit berbagi kesenangan kepada orangtua serta saudara.
Namun, ternyata kemerdekaan untuk mengembangkan diri, yang ujung-ujungnya berkaitan dengan penghasilan tersebut. Saat penggunaan uang sebagai imbal balik dari pekerjaannya, tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Alias banyak laki-laki, atau suami yang menumpang hidup dan ikut membelanjakan uang tersebut. Perempuan pun menjerit, merasa terdzalimi. Buktinya?
Beberapa curhatan di media sosial, khususnya di grup perempuan,akan kita temukan cerita-cerita dan kisah pilu mereka. Istri merasakan tidak bahagia dalam perkawinannya. Karena, suami yang seharusnya bertanggung jawab sebagai pencari nafkah keluarga, malah tidak mau bekerja dan enak-enakan numpang hidup pada istri.
Ada juga laki-laki yang mau bekerja, tapi semua gajinya digunakan untuk membiayai orangtua dan memenuhi kesenangan dirinya sendiri. Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga, anak-anak, pendidikan, dan lain-lain mengandalkan gaji dan pendapatan istri.
Peribahasa Nyalindung ka Gelung
Di dalam peribahasa Sunda, ternyata hal ini sudah dijelaskan. Masyarakat Sunda pada zaman dahulu, sudah menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini.Â
Entah, apakah pada saat itu, memang kebiasaan laki-laki bergantung pada perempuan itu sudah ada, atau kalimat ini hanya sebagai ramalan saja. Agar masyarakat Sunda di masa depan, hati-hati dan waspada, serta melakukan upaya preventif untuk mencegahnya.
Peribahasa nyalindung ka gelung memiliki makna suami yang mengandalkan hidup pada usaha yang dimiliki istrinya, ikut hidup pada istri yang kaya raya, dan dinafkahi oleh istri.Â
Di masa kini, peribahasa ini seolah benar-benar terjadi. Perempuan yang seharusnya menjadi tulang rusuk, sebagai pelengkap bagi kehidupan laki-laki, disayang, diemong, dan dinafkahi. Beralih menjadi tulang punggung, dia harus mencari nafkah, bekerja keras membanting tulang, dan menanggung beban menafkahi keluarga.
Secara anatomi tubuh pun, kekuatan tulang rusuk atau iga, berasal dari bahasa Latin, Costae adalah tulang panjang yang melengkung tak kan bisa disamakan dengan tulang punggung.Â
Sebagaimana kita semua ketahui, saat pelajaran biologi dahulu, bahwa tulang rusuk manusia terdiri dari 12 pasang, 7 pasang merupakan tulang rusuk sejati, 3 pasang tulang rusuk palsu, dan 2 pasang tulang rusuk melayang.
Semua pasang tulang rusuk itu berguna bagi tubuh kita untuk melindungi paru-paru, jantung, hati, serta organ-organ lainnya yang berada di dalam dada, agar tetap aman, tidak mudah rusak saat terkena benturan.
Keterangan tentang perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dapat kita temukan dalam hadits, "Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, jika kamu meluruskannya, maka kamu mematahkannya. Jadi, berlemahlembutlah terhadapnya, maka kamu akan dapat hidup bersamanya." (H.R. Al-Hakim).
Tulang punggung sebagaimana kita ketahui, secara anatomi terdapat 33 tulang punggung pada orang dewasa, diantaranya : 5 region, 7 cervical, 12 thoracal, 5 lubar, 5 sacral, dan 4 coccygeal. Tulang punggung atau vertebrae merupakan kumpulan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan memiliki karakteristik mudah untuk digerakkan.
Berdasarkan anatomi tubuh dan hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa tulang rusuk sebagaimana fungsi utamanya melindungi organ-organ yang ada di dalam dada, maka ia tidak akan bisa menggantikan tulang punggung. Dari jumlahnya saja sudah kalah jauh. Tulang rusuk hanya 12 pasang, sedangkan tulang punggung memiliki 33 struktur tulang yang kuat.
Secara bahasa tulang punggung memiliki arti sebagai seseorang yang menjadi tumpuan keluarga, penopang dalam membiayai keluarga, pencari nafkah utama dalam keluarga. Mengapa pencari nafkah dalam peribahasa disebut tulang punggung, bukan tulang-tulang yang lainnya. Umpama, tulang panggul, tulang iga, dan lain-lain.Â
Jawabannya adalah, karena di dalam tubuh manusia, tulang punggung adalah tulang yang terkuat, tulang yang bertanggung jawab untuk menjaga agar badan bisa berdiri tegak.
Jadi, jika dipaksakan perempuan yang dianggap tercipta dari tulang rusuk itu harus berperan menjadi tulang punggung. Maka, akan banyak kemudharatan yang terjadi dalam keluarga.Â
Mulai dari suami yang merasa kehilangan harga dirinya, anak-anak yang tidak terurus, kondisi jiwa raga perempuan yang lemah dan mudah stress, serta hilangnya keberkahan dalam rumah tangga.
Fenomena dunia terbalik
Konteks tentang maraknya fenomena perempuan bekerja dan laki-laki diam di rumah mengurus anak, dapat kita temukan dalam sebuah serial drama komedi di sebuah stasiun televisi swasta, yakni serial Dunia Terbalik.Â
Bagaimana istri-istri yang berada di salah satu daerah di Jawa Barat, dalam hal ini masyarakat Sunda, banyak yang berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW).
Serial Dunia Terbalik sebuah produk film dalam hal ini berupa teks, telah menyuguhkan sebuah fakta dan realita yang tertangkap dalam kehidupan masyarakat. Diakui atau tidak, memang kenyataannya seperti itu.Â
Banyak perempuan yang sudah menikah, lalu memiliki anak. Baru saja anaknya lahir, perempuan tersebut terpaksa harus meninggalkan anaknya. Karena, ia harus bekerja mencari nafkah dan mewujudkan mimpi keluarga kecilnya, untuk memiliki rumah, kendaraan, dan biaya pendidikan.
Ada anggapan yang bergulir liar, bahwa penyebab istri bekerja mencari nafkah adalah suami yang tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Suami telah gagal dalam mewujudkan eksistensi dirinya sebagai laki-laki, dimana ia seharusnya berperan sebagai pencari nafkah utama.
Tapi, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena, banyak pula suami yang telah bekerja keras, mencari nafkah membanting tulang untuk mewujudkan tanggungjawabnya, menafkahi istri dan keluarganya.Â
Namun, tetap saja istri berangkat menjadi tenaga kerja wanita ke luar negeri. Dengan alasan, ingin merubah nasib, enggan hidup seperti itu-itu saja, ingin menaikkan taraf ekonomi, dan lain-lain.
Memang tidak dapat ditampik pula, jika kondisi tersebut tidak murni hanya diakibatkan oleh tidak berfungsinya lelaki dalam berkiprah mencari nafkah. Sistem ekonomi kapitalis dan sekuler juga turut andil dalam menyebabkan hal ini.Â
Bagaimana perusahaan lebih mudah menerima pekerja dari kalangan perempuan, daripada dari kalangan laki-laki. Lihat saja, dari dalam negeri hingga di luar negeri, kesempatan untuk bekerja dan memiliki penghasilan didominasi oleh perempuan.
Ada alasan mengapa perusahaan-perusahaan tersebut lebih memilih pekerja perempuan daripada laki-laki. Karena, perempuan lebih taat aturan, jarang membangkang, ketika ada diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil, mereka tidak akan demo. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H