Hari ini, lelaki itu pulang ke rumah. Wajahnya yang ganteng terlihat sayu dan pucat. "Aku sakit." Ucapnya. "Hari ini, aku rindu ayam laos buatan kamu." Pintanya. Aku memapahnya menuju ke dapur, ada rasa yang sukar untuk dilukiskan mengisi dadaku. Seperti sebuah rindu yang terbalaskan. Tepukkan tangan yang bersambut jemari. Dia duduk di kursi makan, menungguku memasak.Â
Setelah ayam laos yang gurih dan beraroma enak itu terhidang di meja. Dia makan dengan lahap, sesekali dia seka keringat yang berleleran di dahi dengan punggung tangannya. "Sekarang, aku bisa mengerti mengapa kamu tidak mau menceritakan rasa trauma itu." Ucapnya.Â
Keesokan harinya, lelaki itu mengajakku berkunjung ke pusara ibu, sekedar menaburkan bunga, dan berterima kasih karena telah menurunkan kemahirannya dalam memasak ayam laos kepadaku. Lelaki itu tidak pernah lagi memaksaku untuk bercerita tentang alasan mengapa aku suka masak ayam laos, tapi tidak pernah memakannya.Â
Karena, tanpa sepengetahuan dia, kini aku mulai suka mencicipi ayam laos hasil masakanku. Dan ternyata, enak sekali. Aku mulai bisa memaafkan, trauma yang dialami oleh gadis kecil umur sembilan tahun yang ada di dalam diriku. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H