Lelaki berjanggut di depanku, menyeka bulir keringat yang berleleran di dahi dengan bagian belakang lengannya. Pemandangan yang memaku pandanganku untuk setia di sana. Pada nasi putih yang tampak pulen ketika disendok, bulirannya padat, dan wangi pandan wangi. Lekat dan samar-samar membaur dengan aroma ayam laos menguar ke udara. Sambal terasi kenangan kami, saat pertama kenalan dulu selalu hadir menyemarakkan meja. "Tidak terasa makan, kalau tanpa sambal terasi." Itu selalu yang terucap dari bibir lelaki itu.
Tadi pagi, sebelum ayam laos selesai dimasak. Lelaki itu berkata, cukup serius menurutku yang tidak biasa bercanda. "Apakah kamu memiliki trauma?" Aku menggeleng tidak mengerti. Ada rasa curiga terbersit dalam benak. "Apa yang dia inginkan?" Menurut perasaanku, lelaki yang wajahnya selalu menjadi doa dalam malam-malam panjangku dulu ini, dia sedang ingin mengorek masa lalu tentang diriku.
Ya, aku adalah perempuan yang beruntung, dan amat-amat beruntung. Menurut penelitian, hanya 50 persen perempuan yang berhasil menikah dan berumahtangga bersama lelaki yang dicintainya. Aku termasuk ke dalam lima puluh persen yang beruntung itu. Oleh karena itu, aku tidak berpegang teguh pada amanat N.H. Dini dalam novelnya Pada Sebuah Kapal.Â
Bahwa, perempuan lebih baik menikah dengan lelaki yang mencintainya, daripada menikah dengan lelaki yang dicintainya. Karena mencintai itu sebuah proses yang aktif. Saat kita mencintai seseorang, maka kita akan terus-terusan berusaha, berkorban, dan berjuang agar orang yang kita cintai tahu, dan mau menerima cinta kita. Sedangkan saat kita dicintai, maka kita akan pasif, hanya menerima cinta. Lebih enak, kan?
Tapi, aku tidak begitu. Aku memilih untuk menikah dengan lelaki yang aku cintai. Walaupun ya, memang capek. Jalan menuju ke sana, bukan lagi sebuah tanjakan yang terjal berliku, curam, dan banyak ranjau. Tapi, bila boleh aku umpamakan, mencintai lelaki di hadapanku ini, ibarat meniti jembatan shirotol mustaqim. Jika imanku tidak kuat, ibadah dan amalan kurang. Maka, api menyala-nyala di bawah sana akan membakar badanku.
Sore ini, masih di meja makan yang sama, hanya dengan menu yang berbeda, bukan ayam laos. Aku sengaja, menyisihkan menu yang satu itu. Rupa-rupanya dia curiga, lantaran menu ini sering sekali hadir di meja makan. Kalau tidak dua hari sekali, tiga hari sekali, atau seminggu sekali. Dia berkata lagi, tentang hal yang sama. Tapi struktur kalimat agak sedikit berbeda.
"Aku lihat, kau memiliki banyak luka batin dan trauma." Kata-katanya berupa pernyataan. Mungkin itu, hasil analisisnya. Setelah hampir 8 bulan ini, dia hidup dalam satu atap, satu kamar, dan satu kasur yang sama bersamaku. Hanya ada angin dan aroma bunga pukul empat yang hadir di antara kami. Selain itu, hening menjalari ruangan ini. Bahkan televisi yang sedang menyiarkan acara musik di ruang keluarga, tidak dapat menetralkan suasana yang terasa kaku ini.
Aku membiarkan ia meneruskan kalimatnya. Karena, yang ia ucapkan bukan pertanyaan. Tentu ia tidak membutuhkan jawaban. Bahkan sekedar kata, ya atau tidak. "Aku tidak terlalu mengenalmu, jadi maafkan aku bila tidak terlalu paham tentang sifat dan kebiasaan kamu." Dia mulai ber-aku-kamu. Padahal, selama 8 bulan ini, panggilan sayang sudah mulai lancar aku dan dia ucapkan.
"Apakah dia mulai mengambil jarak di antara kami?" batinku. Tiba-tiba saja, aku merasa bahwa perjuanganku selama ini untuk mendapatkan cintanya terasa sia-sia. "Kau begitu terobsesi memasak ayam laos, ada apa?" Dia seperti tidak sabar ingin menanyakan hal itu. Aku tersentak, padahal aku sudah menduganya. Hal ini pasti akan mengganggu pikiran dia. Tapi, tetap saja aku merasa kaget, saat kalimat itu meluncur dengan pasti dari bibirnya yang manis.
"Kau tidak harus menjawabnya sekarang, kau boleh mengatakan hal itu jika hatimu sudah siap." Ucapnya bijak. Aku tidak memberi respon apapun tentang keputusannya membiarkan aku bermain dengan masa lalu. Yang aku tahu, semenjak hari itu, dia mulai mengambil jarak, lebih banyak mengisi waktunya untuk bekerja, dan berkumpul bersama kawan-kawan pengajiannya.