Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Toleransi adalah Etika dan Kemampuan Menghargai Orang yang Berbeda dengan Kita

17 April 2022   07:13 Diperbarui: 17 April 2022   08:18 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toleransi dengan tetangga|katadata.co.id

Sebenarnya, tidak banyak pengalaman yang dapat saya ceritakan terkait toleransi. Karena, meskipun saya tinggal di tempat dengan keragaman yang majemuk. Dari mulai agama, suku, pekerjaan, tingkat ekonomi, dan lain-lain. Namun, kami hidup dengan normal dan biasa-biasa saja. Belum ada masalah atau kendala terkait toleransi beragama dan lainnya. Mudah-mudahan selamanya begini, ya. 

Lebih dari itu, saya juga berinteraksi seperlunya saja bersama tetangga. Hanya sebatas saling menyapa, senyum, dan berkirim makanan. Tidak lebih dari itu. Selain, setiap orang memiliki kesibukan. Saya juga tipe introvert, bila terlalu banyak sosialisasi, energi rasanya cepat terkuras habis. Jadi, lebih nyaman di rumah, menulis, main bersama anak-anak, memasak, dan lain-lain.

Contoh toleransi di sekolah

Ada satu pengalaman yang menurut saya, ini tepat dinamakan kisah saya tentang toleransi. Cerita ini terjadi di sekolah, bersama peserta didik. Dalam pelajaran yang saya ampu ada materi pupujian. Materi ini berkaitan erat dengan agama Islam. Dalam kurikulum dituliskan bahwa tujuan pembelajaran materi ini adalah peserta didik mampu menyimak, menjawab soal latihan, dan menyanyikan nadoman (pupujian). 

Sebagai informasi pupujian berasal dari kata puji lalu mengalami pengulangan di awal atau disebut kata ulang dwi purwa dan memakai akhiran -an. Pupujian merupakan salah satu karya sastra Sunda yang ditulis dalam bentuk puisi, berisi tentang materi keagamaan seperti mengagungkan Allah SWT, sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, tatacara beribadah, dan nasihat. 

Pada saat mengajar, sebelum memberikan materi tersebut, saya bertanya dulu kepada peserta didik, "Nak, di kelas ini ada yang non-Islam gak?" Mengapa saya bertanya dulu? Menurut pendapat saya, bertanya kepada peserta didik dalam materi yang mengandung unsur keagamaan mutlak diperlukan, sebagai sebuah etika dalam bertoleransi.

Ilustrasi toleransi di sekolah|sehatq.com
Ilustrasi toleransi di sekolah|sehatq.com

Karena, sebagai guru saya juga harus menghargai perbedaan. Dalam hal ini perbedaan agama. Mengajar adalah sebuah kemampuan untuk mengakomodir segala perbedaan yang ada pada peserta didik. 

Nah, betul saja setelah saya mengajukan pertanyaan tersebut, beberapa anak mengacungkan tangan, seraya menjawab. "Saya, Bu! Saya Bu!" Tuh kan untung saja saya bertanya terlebih dahulu. Lalu, saya menjelaskan, "Nak, dalam materi yang akan Ibu ajarkan hari ini akan membahas tentang karya sastra Sunda, yaitu pupujian. 

Namun, isi di dalamnya tentang agama Islam. Bila kalian tidak berkenan mengikuti, ada beberapa opsi yang ibu tawarkan. Pertama, kalian boleh menunggu di sini tanpa ada kewajiban memperhatikan dan mengerjakan tugas. Kedua, kalian boleh menunggu di pojok baca atau membaca di perpustakaan. Ketiga, mengikuti pelajaran dengan materi disesuaikan dengan agama kalian."

Hasil dari bertanya tersebut, lumayan mencengangkan bagi saya. Ternyata, semua anak yang non-Islam tersebut memilih opsi ketiga, yaitu mengikuti pelajaran dengan materi disesuaikan dengan agama mereka. Hanya satu orang yang memilih menunggu di pojok baca. 

Saat saya bertanya, mengapa mereka memilih opsi ketiga. Alasan mereka lagi-lagi membuat saya terharu. "Mau tahu saja, Bu meskipun isinya agama Islam, tapi ini yang dibahas kan karya sastranya." Itu jawaban mereka. Di usia yang menurut saya masih sangat muda, ternyata mereka sudah memiliki sikap yang bijak. Ada pelajaran berharga yang saya petik hari itu, di kala mengajarkan materi pupujian. Pertama. etika dan kemampuan menghargai orang lain itu mutlak diperlukan dalam sebuah toleransi. Kedua, kebijaksanaan dan hikmah kehidupan dapat kita petik dari siapa saja. Bahkan, dari anak yang usianya jauh lebih muda dari kita.

Setelah peristiwa di kelas tersebut, di rumah saya berpikir. Andai saja saya tidak bertanya dulu tentang hal tersebut, saat akan mengajarkan materi pupujian yang isinya tentang agama Islam. Mungkin, akan ada kejadian berbeda yang saya alami. Umpama, peserta didik yang berbeda agama akan komplain. Jika berani dia akan langsung komplain di depan kelas pada hari itu juga. "Bu, kenapa Ibu mengajarkan agama, Ibu kan guru bahasa Sunda?" atau jika anak merasa segan, maka mereka akan mengadu kepada orang tuanya. "Ma/Pa tadi aku dipaksa untuk belajar agama Islam, lho." 

Contoh toleransi dengan tetangga

Kisah toleransi kedua berasal dari tetangga saya, halak hita (Batak). Pada saat syukuran kelahiran putranya yang ketiga, dia berbagi makanan kepada kami para tetangga. Luar biasa etika dari tetangga saya ini, dia menyewa tukang masak khusus yang beragama Islam untuk memasak makanan yang akan dibagikan tersebut. Bahkan, kegiatan memasak pun dilakukan di rumah tukang masak tersebut. 

Saat ditanya alasannya, dia menjawab, "Kalau masak di rumah saya, khawatirnya ada peralatan masak bekas saya yang ada minyak babinya, kalian kan Muslim saya khawatir ada makanan yang tidak boleh kalian makan, jadi masuk ke tubuh gara-gara saya kasih makanan ini."

Ilustrasi toleransi dengan tetangga|katadata.co.id
Ilustrasi toleransi dengan tetangga|katadata.co.id

Sungguh, alasan yang sangat etis dan penuh rasa penghargaan menurut saya. Betapa dia sangat memikirkan apa-apa yang akan merusak dan membatalkan tauhid agama orang lain. Oleh karena itu, saya merasa sangat bersyukur dipertemukan Allah SWT dengan orang-orang yang baik di kehidupan ini. Baik di rumah, maupun di lingkungan kerja. Walaupun berbeda agama, ras, suku, dan lain-lain. Tapi, perbedaan tersebut menciptakan warna dan harmoni yang indah. Sehingga, hidup berjalan dengan serasi, selaras, dan penuh kerukunan.

Oleh karena itu, etika dan kemampuan menghargai orang lain. Siapapun mereka, berasal dari mana, agama apapun, suku apapun, kondisi finansial, kondisi badan, dan lain-lain. Mutlak dimiliki oleh setiap kita. Di dalam bermasyarakat, kita harus mengedepankan dua sikap tersebut. Jangan ada ego yang menjembatani hubungan indah itu. Karena, sejatinya saya selalu yakin, ada hikmah mengapa Allah SWT menciptakan keberagaman dan perbedaan dalam hidup ini.

Salahsatunya adalah perasaan indah saat kita mampu menekan ego, menampilkan etika terbaik kepada orang yang berbeda dengan kita, dan kemampuan menghargai keberadaan orang lain dengan segala perbedaan yang melekat kepada mereka.

Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kata mutiara dari Helen Keller, "Hasil tertinggi pendidikan adalah toleransi". Artinya, pendidikan kita, sekolah kita selama bertahun-tahun dari TK, SD, SMP, SMU, bahkan hingga perguruan tinggi akan dianggap berhasil, saat kita sudah mampu memiliki sikap toleransi. Yaitu secara bahasa toleransi disebut sikap tenggang rasa. Secara istilah, sikap menghargai dan menghormati perbedaan antarsesama manusia. (*)


#samber thr

#samber 2022 hari 6

#toleransi antar umat beragama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun