Nah, sebelum era listrik itu, beduk menjadi salahsatu media untuk memberikan informasi kepada warga masyarakat terkait datangnya bulan puasa. Ketika, didapat berita bahwa esok hari adalah puasa.Â
Maka, merebot atau petugas pengurus masjid akan membunyikan beduk di masjid dengan irama yang khas. Dimulai dengan nada lambat, lalu perlahan berubah menjadi cepat.Â
Walau, masih kanak-kanak, saya sudah mengerti persis dengan irama tersebut. Itu karena, pengalaman dengan melihat apa yang dikatakan dan dilakukan orang tua saat mendengar bunyi tersebut.
Konon, pada jaman syekh Syarif Hidayatullah atau biasa dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Tradisi menabuh beduk atau drugdrag merupakan tradisi menabuh beduk yang dilakukan dengan cara membunyikan bedug menggunakan irama yang sudah ditentukan.Â
Irama tersebut adalah bunyi beduk yang dimulai secara lambat lalu beralih ke irama cepat. Jika masyarakat mendengar bunyi beduk dengan irama seperti itu, mereka sudah tidak asing lagi, "Besok, puasa!" Itu yang akan mereka katakan.Â
Lalu, hari itu juga masyarakat akan bersiap untuk menyambut puasa. Dari mulai menyiapkan bahan makanan untuk munggahan, dan untuk makan sahur.Â
Mereka akan menjala ikan di kolam, menyembelih ayam, memasak sayur, dan lain-lain. Hari itu juga, masyarakat akan melaksanakan keramas atau bersih-bersih diri dengan cara mandi di sungai.
Entah mengapa, saat ini saya merasa rindu sekali akan irama suara beduk tanda awal puasa tersebut. Ada kenangan masa kecil yang selalu saya ingat, hingga saat ini.Â
Saat beduk ditabuh, saya dan teman-teman berlarian menuju masjid, kami bekerja sama membersihkan masjid, menyapu, mengepel lantai dan kaca, lalu menjemur karpet dan menyikatnya.Â
Ada suara tawa, senda gurau, dan keceriaan saat kami melakukan itu. Tawa polos anak-anak yang masih suci. Sungguh, saya merasa masih terngiang dengan suara-suara riang nan kenes itu.