Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Geliat Literasi dan Nasib Penerbitan Buku, Apa Kabar?

26 Maret 2022   20:52 Diperbarui: 28 Maret 2022   20:30 3264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja merayap, ya Guys! Meniti tangga malam yang beranjak perlahan. Hujan masih saja turun malu-malu, rintiknya membuat hati mengaduk rindu. Oh, ya sambil memandangi secangkir kopi yang mengepul, di tanganmu mungkin tergenggam sebuah buku. 

Entah, novel, kumcer, chicklit, buku motivasi, dan lain-lain. Pemandangan ini terasa seperti di luar negeri, ya. Kala membaca menjadi sebuah tradisi. 

Bahkan saat naik bis, menunggu di halteu, duduk di peron, berada di ruang tunggu, dan lain-lain. Masyarakat di luar negeri memanfaatkan waktu senggang tersebut dengan membaca.

Tradisi membaca

Bagaimana dengan tradisi membaca masyarakat kita? Lihat saja nanti, ya saat kamu naik bis, duduk di ruang tunggu dokter atau rumah sakit, menunggu di halteu bis. Jangan tanya apa yang orang lain lakukan. Tapi apa yang kamu lakukan?

Jika kamu melakukan aktivitas membaca untuk mengisi waktu senggang tersebut. Maka, selamat! kamu adalah orang yang memiliki pemikiran yang maju. Karena, salah satu ciri masyarakat negara maju adalah angka melek hurup dan budaya literasi yang tinggi.

Artinya, saat masyarakat di sebuah negara, memiliki tradisi membaca. Baik membaca secara online melalui gawai, atau offline membaca buku. 

Dapat dipastikan tingkat melek hurup dan literasi di negara tersebut akan meningkat. Hal tersebut turut pula menaikkan status sebuah negara. Dari negara terbelakang, berkembang, kemudian menjadi negara maju.

Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara tradisi membaca, jumlah toko buku, trend penerbitan buku, dan tingkat jumlah penjualan buku.

Membaca di dalam bis |Pexels.com/Artem
Membaca di dalam bis |Pexels.com/Artem

Saat geliat literasi sudah mulai menjadi tradisi, dimana-mana orang berkawan dengan buku dan bacaan. Tidak lagi merasa risih dan malu saat membuka buku di tempat umum. 

Tidak juga takut dibully dianggap so asyik dengan menenteng buku kemana-mana. Ketika itu, diskusi dan bedah buku menjadi sesuatu yang lumrah, di dalam bus, di pangkalan ojeg, di poskamling, di pasar, di ruang tunggu, orang-orang berdiskusi tentang buku yang dibacanya. Bedah buku tidak lagi menjadi sesuatu yang eksklusif, sakral, dan sepi peminat.

Nah, saat itu juga toko-toko buku akan banyak kita jumpai di negara tercinta ini. Diisi dengan berbagai buku yang bagus, berkualitas, tapi harganya terjangkau. Bukan seperti saat ini, toko buku yang hanya satu, di sudut kota pula, tampak seperti mati segan, hidup tak mau.

Trend penerbitan buku akan ramai, para penerbit dan usahawan penerbitan sibuk mendulang rejeki. Para penulis berlomba-lomba menghasilkan karya, menulis ilmu, laporan perjalanan, tips yang mempermudah kehidupan, sastra, dan lain-lain.

Grafik penjualan buku akan meningkat tajam, karena permintaan masyarakat akan buku-buku yang bermanfaat naik drastis. Wah, asyik sekali, ya jika semua itu terjadi lagi saat ini.

Mencari ilmu dari buku, Nyiar luang tina daluang

Anda tentu pernah mendengar pepatah Sunda yang mengatakan, Nyiar luang tina daluang? Luang dalam basa Sunda memiliki arti pengalaman hidup, ilmu pengetahuan. Sedangkan daluang artinya sejenis kertas yang tebal dan kasar, dibuat dari jerami atau bahan lain, biasanya digunakan untuk jilid buku. 

Daluang juga bisa diartikan sebagai buku. Nyiar luang tina daluang artinya menggali informasi, ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup dari buku yang kita baca.

Sebenarnya, sejak beratus tahun yang lalu, nenek moyang kita sudah memberi contoh, bagaimana memanfaatkan buku sebagai sumber pengalaman hidup, sumber ilmu pengetahuan dan sumber informasi. 

Bahkan mereka tidak hanya aktif sebagai pembaca tapi juga sudah menghasilkan tulisan yang lumayan produktif.

ilustrasi menulis |Pexels.com/Pixabay
ilustrasi menulis |Pexels.com/Pixabay

Contoh itu bisa kita lihat dan buktikan sendiri. Pada Akhir abad ke-16 Masehi naskah Sunda Carita Parahiangan yang berbahasa Sunda kuno dibuat oleh orang Sunda. 

Naskah ini salah satu bukti bahwa karuhun kita sudah mengenal tradisi tulis menulis pada saat itu. Naskah carita parahiangan terdiri dari 47 lembar daun lontar berukuran 21 x 3 cm, tiap lembaran daun lontar itu berisi empat baris tulisan. 

Naskah ini menceritakan sejarah kerajaan Sunda, dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun hingga runtuhnya Pakuan Pajajaran akibat serangan kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.

Selain naskah carita parahiangan, masih banyak naskah lainnya yang menjadi tonggak sejarah perbukuan di daerah Sunda diantaranya, Amanat Galunggung, Naskah Bujangga Manik, Sanghyang Siksa Kandang Karesian.

Lima buah naskah klasik karya Kai Raga, Carita Ratu Pakuan, Carita Purnawijaya, Kawih Paningkes, Gambaran kosmologi Sunda, Darmajati, naskah karya Buyut Ni Dawit dan lain-lain.

Momentum hari buku nasional

Meskipun masih lama untuk diperingati, momentum hari buku nasional, yang akan jatuh pada tanggal 17 Mei. Namun, saya ingin mengatakan bahwa peringatan hari buku seyogyanya menjadi kilas balik bagi kita. 

Bagaimana potret literasi bangsa ini, dilihat dari jumlah buku yang diterbitkan setiap tahunnya, nasib penerbit dari masa ke masa, apakah lebih baik atau malah memburuk. Kondisi toko-toko yang menjual buku, apakah lebih meningkat grafik penjualannya, atau jangan-jangan malah banyak yang gulung tikar?

Tujuh belas Mei ditetapkan sebagai hari buku nasional, bukan tanpa alasan. Tetapi, karena di tanggal ini juga perpustakaan nasional diresmikan untuk pertama kalinya, yakni pada tanggal 17 Mei 1980. 

Lihatlah juga, tengok sejenak bagaimana kondisi perpustakaan di sekolahmu, di kotamu, di kampusmu akhir-akhir ini. Apakah debunya semakin tebal, kondisi buku yang rusak dimakan rayap semakin bertambah, koleksi buku yang semakin berkurang karena beberapa tahun belakangan belum ada penambahan buku baru lagi.

ilustrasi perpustakaan |Pexels.com/Mentatdgt
ilustrasi perpustakaan |Pexels.com/Mentatdgt

Hari buku nasional ditetapkan oleh pemerintah. Tentu saja, dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca pada masyarakat Indonesia. 

Lain dari itu dengan diperingatinya hari buku nasional diharapkan dapat melestarikan budaya membaca di kalangan masyarakat, meramaikan kembali penerbitan buku-buku yang bermanfaat dan meningkatkan grafik penjualan buku.

Bukan rahasia, kalau jumlah penerbitan buku di Indonesia memang masih rendah dibanding negara lain. Rata-rata dicetak 18 ribu judul buku saja tiap tahunnya. 

Jumlah tersebut sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan Jepang yang mencetak empat puluh ribu judul buku pertahunnya. Negara Cina lebih dahsyat lagi, mampu mencetak 140 judul buku pertahunnya.

Geliat literasi

Banyak sekali karya-karya fenomenal yang dihasilkan oleh para karuhun kita pada zaman dulu. Namun, anehnya kebiasaan membaca dan menulis yang dicontohkan oleh mereka tersebut tidak menular dan terwariskan pada generasi berikutnya.

Buktinya, data UNESCO pada tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia, hanya 0,001. Artinya, dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang mau membaca buku dengan serius. Ini berarti diantara penduduk Indonesia yang berjumlah hampir dua ratus lima puluh juta, hanya dua ratus lima puluh ribu yang mempunyai minat baca.

Data terbaru dari World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, dari 61 negara yang diteliti, Indonesia berada di peringkat ke-60. Peringkat ke-61 adalah Bostwana, negara yang berada di kawasan selatan Afrika. Bukankah hal itu sangat memprihatinkan?

Jumlah diatas berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88,1 juta pada tahun 2014. Keadaan ini membuat kita semua khawatir. 

Bagaimana tidak, kenyataannya memang begitu. Bangsa kita malas untuk membaca. Coba kita perhatikan, apa yang bangsa kita lakukan ketika menunggu bis di halteu? 

Menunggu antrian di klinik kesehatan, nongkrong di depan cafe, bahkan ketika bengong dan duduk-duduk di pinggir jalan? Yang kita lakukan adalah sibuk melototin gadget, pencat-pencet hand phone, main game online, dan hanya sebagian kecil yang mau membaca artikel di internet.

Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia 2016 mencatat 132,7 juta atau lebih dari separuh penduduk Indonesia atau 51,8 persen telah menggunakan internet. Sebenarnya, ada apa dengan masyarakat Indonesia?

Menurut wakil ketua komisi X DPR RI, Sutan Adil Hendra mengatakan bahwa faktor yang menjadi penyebab rendahnya minat baca masyarakat Indonesia diantaranya karena minimnya koleksi buku dan rendahnya SDM pengelolaan perpustakaan. 

Lebih dari itu daya beli masyarakat Indonesia terhadap buku juga sangat minim. Mereka lebih mementingkan membeli gadget dan barang elektronik daripada mengeluarkan uang untuk membeli buku. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya daya beli dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi atau membaca buku.

Selain beberapa faktor diatas, sistem pendidikan di negara kita juga belum mewajibkan siswanya untuk menamatkan beberapa buku sebagai bukti telah lulus sekolah. 

Di beberapa negara maju seperti Jerman, mewajibkan siswa menamatkan 22-23 buku. Malaysia dan Singapura juga telah melakukan hal tersebut, mewajibkan siswanya menamatkan enam buku.

Rendahnya minat baca akan mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia di masa depan. Bangsa kita akan kalah bersaing dengan bangsa lain. 

Apalagi di era perdagangan bebas seperti sekarang ini. MEA (Masyarakat Ekonomi Eropa) sudah di depan mata. Bila kita tidak bisa membaca peluang, kurang ilmu pengetahuan, minim kreatifitas. Maka bagaimana kita akan bersaing dengan negara lain?

Rendahnya minat baca juga akan mengakibatkan generasi bangsa ini mudah terpancing isu hoax atau berita bohong. Buktinya tawuran antar pelajar, tawuran antar kampung, tawuran antar kelompok pemuda sering terjadi di negara ini. Itu karena para pemuda kurang membaca, tidak memiliki ilmu yang memadai tentang menyelesaikan masalah tanpa pertikaian.

Untuk menanggulangi masalah rendahnya minat baca ini, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menggagas sebuah gerakan membaca yang dikenal dengan Gerakan Literasi Indonesia, yang bertujuan untuk menumbuhkan budi pekerti anak melalui budaya literasi (membaca dan menulis). Aplikasi dari gerakan literasi ini adalah membaca, mengkonstruksi, dan menulis kembali hasil bacaan.

Hal yang membahagiakan mulai terlihat dari gerakan literasi yang dicanangkan pemerintah ini. Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat (kesra) Badan Pusat Statistik, Gantjang Amanullah mengatakan bahwa minat baca pelajar di tiga daerah di Indonesia sangat tinggi. 

Kepulauan Riau berada di posisi pertama 94,01 persen, DKI Jakarta di posisi kedua 93,10 persen, Provinsi Bali di urutan ketiga 92,44 persen. 

Minat baca pelajar terbagi dalam beberapa jenis bacaan, seperti: Surat kabar atau majalah, artikel elektronik, buku pelajaran dan buku non-pelajaran. Dilihat dari jenis bacaan tersebut, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kota yang memiliki minat baca cukup tinggi secara nasional.

Dalam rangka hari buku nasional yang akan diperingati pada tanggal 17 Mei 2022 ini, kita semua berharap semoga dunia perbukuan di Indonesia semakin sukses dan berjaya. 

Kabar baik tentang bergeliatnya kembali semangat literasi di negeri ini, semoga saja membawa angin segar juga bagi dunia penerbitan buku. 

Penerbit bisa kembali rutin mencetak buku-buku yang berkualitas untuk bangsa. Akhirul kalam, Buya Hamka mengatakan, “ Membaca buku yang baik berarti memberi makanan yang baik bagi rohani”. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun