Tidak semua lulusan SMA mengikuti SBMPTN 2022, dan melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Ada beberapa diantara mereka, bahkan mungkin banyak, jika dilakukan pendataan, yang memutuskan untuk tidak ikut SBMPTN.
 Ada alasan yang patut diapresiasi di balik keputusan tersebut.Â
Seperti dilansir dari databoks.katadata.co.id, bahwa tingkat penyelesaian jenjang SMA masih sangat rendah dibanding jenjang SMP dan SD.Â
Badan Pusat Statistik (BPS) memperoleh data jika penyelesaian sekolah jenjang SMA pada 2020 saja, berkisar antara 63,95% artinya persentase tersebut lebih rendah dibandingkan jenjang SMP yang mencapai 87,89 %, dan jenjang SD lebih tinggi lagi persentasenya, yakni 96 %.
Hal tersebut mungkin disebabkan karena SD dan SMP didukung oleh program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Berbeda dengan jenjang SMA, meskipun sudah ada program rintisan wajib belajar 12 tahun, melalui Permendikbud No. 19 tahun 2016 dalam program Indonesia Pintar. Namun demikian, gaungnya masih belum terekam jelas dalam data di biro pusat statistik.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan jika tingkat penyelesaian sekolah jenjang SMA lebih kecil dibanding jenjang-jenjang lainnya, yakni SD dan SMP. Tentu saja, ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Sehingga hal tersebut, nantinya akan berpengaruh juga pada tingkat keikutsertaan SBMPTN dan penyelesaian jenjang kuliah di perguruan tinggi.
Apa saja hal-hal yang menjadi alasan, mengapa lulusan SMA memutuskan untuk tidak mengikuti SBMPTN?
Faktor kemiskinanÂ
Terdengar kliseu, ya. Tapi, itulah faktanya. Bagaimana berpikir untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jika, untuk makan sehari-hari saja kesulitan. Pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, hanya menjadi mimpi indah di kala tidur. Karena, ya masalah ini terjadi jalin kelindan, bagai lingkaran setan. Entah, di mana kan berakhir. Kemiskinan menciptakan tingkat pendidikan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kemiskinan. Terus saja begitu, bagaimana masyarakat kurang mampu akan dapat meningkatkan derajat kehidupannya?
Meskipun, orang yang dapat mengenyam pendidikan di universitas juga tidak dijamin untuk kaya dan sukses. Pada beberapa kasus, banyak juga sebenarnya masyarakat kurang mampu yang bisa menaikkan taraf kehidupannya. Walau tanpa harus mengenyam pendidikan tinggi. Bagaimana caranya? keuletan, kerja keras, mau meng-upgrade diri, belajar dari orang-orang yang sukses, dan mau berubah ke arah yang lebih baik adalah cara yang dapat ditempuh untuk menaikkan kualitas diri dan ekonomi.Â
Bukankah, Jack Ma pernah berkata, "Ikutlah dengan seorang pengusaha sukses, meskipun kantornya kecil saat kamu berusia 20 tahun, maka kamu juga akan memiliki mental seorang pengusaha".Â
Dalam realitanya, pepatah tersebut memang banyak terjadi. Beberapa contohnya pernah saya temui. Sebut saja A adalah pengusaha gorden, hari itu dia memasang gorden di rumah saya. Ketika saya bertanya, bagaimana perjuangannya bisa menjadi pengusaha gorden pada usia di bawah 40 tahun.Â
Dia menjawab, sejak usia 15 tahun, artinya saat dia lulus SMP ikut dengan tetangganya yang memiliki toko gorden di Bandung. Hampir sepuluh tahun, dia ikut bekerja bersama tetangganya tersebut. Pada usia 30 tahun, dengan berbekal tabungan yang dikumpulkannya, dia membuka usaha toko gorden di Sumedang.Â
Alhamdulillah, ia kini bisa hidup layak dan mampu menaikkan taraf ekonomi keluarganya. Bahkan, ia berencana akan menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Tidak seperti dirinya, karena keterbatasan ekonomi orang tua. Hanya bisa sampai tamat SMP. Namun begitu, dia tetap bersyukur. Meski tidak berpendidikan tinggi, dia bisa banyak belajar ilmu tentang berdagang gorden pada tetangganya.
Contoh kedua yang saya temui adalah, sebut saja B. Dia bahkan tidak lulus SMP, saat ini B berusia 20 tahun. Namun, pada usia yang dapat dikatakan masih belia tersebut, B sudah mampu membeli motor ninja seharga Rp. 32 juta dengan cash. B juga memiliki tabungan di rekening untuk biaya persiapan pernikahannya nanti. B juga tidak lupa untuk membantu merenovasi rumah orang tua, dan membiayai sekolah adik-adiknya.
Mungkin anda penasaran, apa gerangan pekerjaannya? B ikut dengan tetangganya dari usia 13 tahun, sebagai kuli bangunan. Pertama, ia hanya bertugas sebagai tukang aduk, pengantar aduk, dan tukang disuruh-suruh oleh tukang senior. Namun, kini di usianya yang ke-20 B sudah menjadi tukang yang serba bisa. Bahkan, dia sudah menjadi wakil dari kepala tukang yang pada awalnya ia ikut kerja.Â
Jadi, sebenarnya tidak ada hubungan antara kemiskinan dan tingkat pendidikan. Jika seseorang mau belajar, dan berusaha keras untuk merubah nasibnya. Maka, taraf ekonomi dipastikan akan berubah ke arah yang lebih baik.
Memiliki tujuan dan cita-cita kuliah di tempat lain, bukan jalur SBMPTN
Tidak mengikuti SBMPTN, bukan berarti tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, ya. Banyak juga diantara lulusan SMA yang memiliki beragam pilihan lain, diantaranya :
1. Memilih sekolah kedinasan seperti IPDN, STAN, STIN, STMKG, SSN, STIS, Poltekip dan Poltekin, dan sekolah kedinasan Kemenhub.
2. Kuliah di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, sehingga tidak mengikuti SBMPTN, namun seleksi PTKIN.
3. Kuliah di perguruan tinggi swasta
4. Seleksi Nasional Masuk Politeknik Negeri bagi yang ingin kuliah di politeknik.
5. Mengikuti seleksi tentara atau polisi kereta api
Nah, itulah 5 pilihan yang dapat diikuti tanpa mengikuti SBMPTN. Apapun yang menjadi pilihan para lulusan SMA ini. Tentu saja, hal tersebut merupakan passion, cita-cita, dan hal yang harus diperjuangkan dengan senang hati. Bukan karena pilihan dan keinginan orang tua, ya.
Bekerja setelah lulus SMA
Mayoritas lulusan SMA memutuskan untuk mencari pekerjaan. Ada beragam pilihan pekerjaan yang mereka coba mendaftar. Diantaranya : kasir di minimarket, toko, gerai, dan lain-lain. Menjadi penjual online shop, alias menciptakan usaha sendiri. Menjadi tenaga kebersihan di bank, kantor, rumah sakit, dan perusahaan-perusahaan. Menjadi Sales Promotion Girls (SPG) juga dapat dijadikan pilihan pekerjaan, bila anda lulusan SMA.
Mengutip databoks.katadata.co.id, bahwa Badan Pusat Statistik melaporkan, jumlah angkatan kerja pada tahun 2020 di Indonesia mencapai 138, 2 juta. 32 persen dari jumlah angkatan kerja tersebut mayoritas didominasi oleh lulusan SMA.
Selain lulusan SMA yang paling banyak. Ternyata, dalam urutan kedua, jumlah angkatan kerja diisi oleh lulusan SD. Jumlahnya sekitar 26,2 % dari jumlah angkatan kerja. Lalu, di urutan ketiga, ada lulusan SMP, mencapai persentasi sekitar 18,2 %.
Pada hakekatnya mencari ilmu, belajar adalah kewajiban setiap manusia. Dari sejak dalam buaian hingga liang lahat. Sejatinya belajar sebenarnya bisa dilakukan di mana saja, tanpa harus merasa terkendala biaya dan keuangan. Seperti kata pepatah yang tertulis dalam buku yang berjudul Rusdi dan Misnem.Â
Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah. Artinya, kita bisa belajar kepada siapa saja, orang tua, guru, dokter, petani, bahkan kepada orang gila sekali pun. Dari orang-orang yang berada di sekitar kita, berbagai ilmu, hikmah, dan pembelajaran dapat diambil sebagai bekal hidup. Setiap tempat yang kita singgahi, dan tempati adalah sekolah kehidupan. Di dalamnya kita dapat mempelajari semua hal yang dibutuhkan dalam kehidupan ini. Karena pengalaman adalah sejatinya guru dalam kehidupan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H