Seragam yang bagus adalah memenuhi kriteria kepatutan dan kelayakan. Patut dilihat dari bahan pakaian yang digunakan, warna yang dipilih, dan outfit tambahan yang serasi dengan warna seragam. Kelayakan dilihat dari nilai dan makna yang diperoleh saat seragam itu dipakai. Apakah menjadikan pemakainya gagah, keren, garang, berwibawa dan disegani atau sebaliknya.
Penuh perjuangan untuk mendapatkannya
Teringat kembali, cita-cita saya sejak di sekolah menengah pertama dulu. Ingin menjadi guru. Entah mengapa suka saja melihat seragam yang dikenakan oleh mereka, cara mereka berbicara di depan kelas, dan kehidupan mereka di masyarakat begitu dihormati dan disegani.
Dari beberapa alasan tersebut, saya tekadkan dalam hati, bahwa ingin menjadi guru. Saya tulis cita-cita tersebut di dalam buku diary kesayangan. Judulnya, 'Aku Ingin Menjadi Guru'. Saya juga menempelkan potongan foto ibu guru dengan setelan seragam PNS berwarna khaki, yang saya dapat dari sobekan Koran bekas bungkus makanan, di bilik kamar. Â
Saat bapak wali kelas bertanya, "Apa cita-citamu, ingin menjadi apa kamu ketika dewasa nanti?" dengan lantang dan tanpa ragu-ragu, saya acungkan tangan tinggi-tinggi dan menjawab dengan lantang, "Ingin jadi guru, Pak!" Bapak guru mengacungkan jempol tangannya dan berkata, "Bagus sekali, Bapak do'akan semoga cita-citamu tercapai, jadilah guru yang baik, menjadi suri tauladan dan panutan bagi anak-anak didikmu nanti."
Sejak pengumuman cita-cita tersebut di ruang kelas. Saya mulai berjuang untuk mewujudkannya. Dimulai dengan belajar bersungguh-sungguh, karena saya yakin seorang guru itu harus cerdas dan pintar. Tidak akan dapat menjadi guru, jika malas-malasan dan bebal dalam pelajaran. Saya berusaha untuk mendapatkan peringkat lima besar di kelas. Saya yakin dan percaya, jika peringkat tersebut hanya dapat dicapai dengan ketekunan dan rajin belajar.
Kedua, saya menabung setiap hari dari uang jajan yang diberikan orang tua, karena saya yakin jika ingin menjadi guru, maka saya harus meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas. Tentu saja, membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, saya berusaha meringankan beban orang tua. Sedikit demi sedikit menyisihkan. Saya memiliki waktu beberapa tahun untuk mengumpulkan uang, sebelum saya masuk kuliah.Â
Saya sadar diri, bila orang tua saya mungkin akan merasa keberatan untuk membiayai kuliah saya nanti. Ya, bapak dan ibu hanya petani kecil. Akan jadi beban yang berat bagi mereka, kalau saya memaksa minta pendidikan yang lebih tinggi. Tapi, saya tidak patah semangat. Foto ibu guru dengan seragam PNS itu selalu terbayang-bayang dalam benak saya. Betapa bahagia dan senangnya jika saya dapat memakai seragam seperti itu. Ketika, merasa terpuruk dan mustahil bila cita-cita akan tercapai, maka memandangi foto tersebut. Mampu menjadi booster yang mengembalikan semangat.
Ketiga meyakinkan orang tua bahwa sekolah bagi anak perempuan juga penting. Ini adalah hal tersulit yang saya alami. Bagaimana tidak? Orang tua saya lahir dari masyarakat berpikiran 'kolot' yang menganggap bahwa pendidikan tinggi bagi anak perempuan adalah tidak terlalu penting. Beberapa teman saya di sekolah, bahkan ada yang menikah saat kelas 4 sekolah dasar. Saya bahkan sempat merasa putus asa, cita-cita yang saya idamkan tidak mungkin tercapai. Saat bapak berkata, "Lulus SMP, kamu nikah saja, ya Nyi! Sudah ada laki-laki yang minta sama Bapak untuk menikahi kamu." Saya tidak memberi tanggapan apa-apa saat itu. Saya juga tidak berani, jika harus berdebat dengan Bapak.
Antara takdir dan usaha maksimal
Sebenarnya memakai seragam atau tidak memakai seragam adalah pilihan yang tuhan berikan kepada kita. Jika, memakai seragam adalah takdir yang sudah ditetapkan Ilahi, meskipun usaha yang kita lakukan hanya sedikit saja, maka seragam itu akan tersampir di badan kamu. Menjadi identitas diri yang menandai entitas kamu, dari lembaga mana, perusahaan apa.