Kucing dan kehamilan
Kehamilan saya berjalan mulus dan sehat. Si kecil dalam perut sudah mulai bermain bola. Tendang sana, tendang sini.
Dikiranya perut emaknya itu lapangan bola kali ya? Penyakit asma saya cukup bersahabat dengan Loli. Tidak ada megap-megap, tidak ada bersin. Pokoknya, aman damai dan terkendali.
Menginjak usia delapan bulan kehamilan. Saya mengalami perdarahan. Masih ingat pagi itu hari Jum'at. Suami tampak sangat khawatir. Wajahnya pucat dan keringat dingin berkilatan di dahinya. Maklum ini anak pertama kami.
"Mama sih, pakai pelihara kucing segala. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan calon bayi kita." Ucapnya ketika mobil melaju pelan menuju tempat praktik Dr. Isfihanny --Dokter kandungan yang terkenal di daerah kami.
"Enggak apa-apa Pa, insyaalloh ini bukan karena Loli kok! Papa tenang saja. Menurut artikel yang Mama baca, perdarahan di usia ini wajar kok." Ucapku berusaha menenangkannya. Walau jauh di dalam hati, sebenarnya jantungku dag dig dug der juga.
Setelah di USG, kondisi janin dalam keadaan sehat. Dokter memberi resep penguat kandungan dan vitamin. Saya dan suami berucap lega. Tiba di rumah saya langsung istirahat dan nonton acara TV kesayangan.
Apakah kucing mati menyebabkan 'kesialan'
Saat suami sedang membersihkan mobil, tiba-tiba, dia berteriak, "Maaaa! Si Loli ma!" tergopoh-gopoh saya keluar. Hati terasa berdesir, saat suami memangku badan Si Loli. Kepala kucing itu terkulai, ekornya kaku. Darah beku mengalir dari kepala dan telinganya.
Loliku yang cantik berbulu tiga warna, yang bulunya halus bagai sutera, ekornya gelendotan di kaki. Yang setiap hari selalu setia, menemani hari-hari saya menjalani kehamilan ini. Sekarang dia telah pergi. Dengan cara yang begitu tragis. Oh My God.
Mungkin saat saya dan suami berkemas pergi ke dokter. Diam-diam Si Loli masuk ke mesin mobil. Entah apa yang ada di pikirannya. Apakah dia ingin mengantar saya. Merasa khawatir dengan keadaan saya? Entahlah.