Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Tidak Ada yang Salah dengan "Bahasa Anak Jaksel"

14 Januari 2022   22:14 Diperbarui: 16 Januari 2022   07:15 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan fenomena baru

Berkembangnya sebuah kebiasaan dalam berbahasa, seperti bahasa anak Jaksel yang sedang marak saat ini sebenarnya bukanlah fenomena baru.

Karena dari dahulu juga alih kode dan campur kode sudah biasa dilakukan oleh para penutur bahasa di dunia, tidak hanya berlaku untuk bahasa Indonesia.

Semua bahasa yang ada di dunia dalam perkembangannya, tentu saja mengalami beberapa perubahan. Ada yang berubah dalam makna, pelafalan, penulisan, dan situasi berbahasa. Hal itu sudah lumrah terjadi karena bahasa memiliki sifat dinamis.

Perbedaan perubahan bahasa pada zaman dulu dan masa kini tersebut terletak pada jenis dari bahasa yang di-alihkode-kan dan di-campurkode-kan saja. 

Kalau pada masa dahulu, sebelum masyarakat Indonesia banyak yang kuliah di luar negeri. Alih kode dan campur kode hanya terjadi antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia.

Sebagai contoh, "Inggih, matur suwun... terima kasih, nyonya", "Permisi, bapak, saya minta izin untuk pergi, mangga, Pak!", dan lain-lain. 

Nah, saat ini setelah masyarakat Indonesia melek teknologi dan pengetahuan. Banyak masyarakat yang menuntut ilmu di luar Indonesia. Maka, jenis bahasa yang dialih kode dan dicampur kode tersebut antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Bukan sesuatu yang tidak mungkin, bila suatu saat nanti, bahasa daerah juga dapat dicampur kode dengan bahasa asing. Mengingat banyak orang yang berasal dari daerah-daerah menuntut ilmu di mancanegara. Kita tunggu saja, ya.

Sebagai tanda 'hidupnya' sebuah bahasa

Fenomena bahasa anak jaksel yang populer saat ini. Seperti yang kita lihat dalam dialog-dialog film serial Layangan Putus atau dalam dialog keseharian para selebritis saat mereka syuting wawancara di podcast, Vickynisasi alias gaya berbicara Vicky di media TV, dan dialog-dialog remaja-remaja dan anak-anak Jakarta Selatan dalam lingkungan sosialnya.

Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan normal terjadi dalam sebuah lingkup bahasa. Bahkan, kita harusnya bersyukur. Karena, perubahan tersebut sebagai salah satu tanda bahwa sebuah bahasa masih 'hidup'.

Ilustrasi bahasa anak Jaksel | katapos.com
Ilustrasi bahasa anak Jaksel | katapos.com

Justru, kita harus khawatir, tatkala sebuah bahasa tidak berubah. Umpamanya bahasa Sansekerta dan bahasa Latin. Sudah tidak lagi mengalami perubahan dan perkembangan. Meskipun banyak kosakatanya digunakan dalam bidang keilmuan. Namun, penutur atau pengguna dari bahasa tersebut sudah tidak ada, alias tidak ada lagi orang yang berbicara dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Sansekerta dan bahasa Latin. 

Bila sebuah bahasa tidak lagi memiliki penutur, maka bahasa tersebut dapat dikatakan sudah 'mati'. Namun, walaupun begitu, bahasa Sansekerta dan Latin masih dapat dikatakan bahasa yang masih 'hidup' karena dua bahasa tersebut masih digunakan dan dipelajari, meskipun hanya kalangan terbatas, yakni ilmuwan dan para peneliti naskah kuno.

Sifat bahasa

Ada beberapa sifat bahasa yang menunjukkan jika bahasa adalah dapat berubah sesuai perubahan yang terjadi pada penuturnya. 

Bahasa dapat diidentikkan dengan makhluk hidup. Tentu saja, bahasa memiliki beberapa ciri mahluk hidup, umpamanya berubah dan berkembang.

Para ahli menyebutkan bahwa sifat bahasa adalah dinamis. Artinya bahasa akan selalu berkembang dan berubah sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi pada manusia sebagai penutur atau pengguna dari bahasa tersebut.

Bahasa juga bersifat produktif, artinya bahasa akan terus menghasilkan sesuatu, baik itu ke arah perubahan atau perkembangan. Meliputi penambahan jumlah kosakata, perubahan makna baik meluas dan menyempit, dan penambahan akronim.

Bahasa akan terus memproduksi kosakata dan akronim baru, serta mengalami perubahan makna dari suatu kata sebagai bukti bahwa bahasa berinteraksi dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Baik interaksi dengan bahasa daerah, maupun interaksi dengan bahasa asing.

Hasil dari interaksi tersebut akan memperkaya dan menambah perbendaharaan kosa kata dalam sebuah bahasa. 

Interaksi yang dimaksud adalah terjadinya proses alih kode dan campur kode dalam sebuah bahasa dengan bahasa lain. Baik alih kode dan campur kode intern antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Maupun alih kode dan campur kode ekstern antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

Dampak negatif

Harus kita pahami bersama, bahwa perubahan dalam hal apapun akan menghasilkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. 

Nah, dalam kasus munculnya bahasa anak Jaksel. Tentu saja yang harus diperhatikan dan menjadi perhatian kita semua adalah dampak negatif. Karena hal ini akan menjadi kendala bagi kedaulatan bahasa kesatuan kita, yakni bahasa Indonesia. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang timbul.

Pertama, EYD kehilangan kuasanya

Selama ini ejaan yang disempurnakan (EYD) selalu menjadi patokan, landasan, dan sumber hukum yang digunakan para pengajar bahasa Indonesia untuk mengarahkan dan memandu peserta didik dalam menulis, membaca, dan berbicara.

Para pengajar berjibaku mensosialisasikan hal ini, agar peserta didik menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar. Supaya amanat Sumpah Pemuda yang berbunyi "Kami putra-putri Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia" dapat terimplementasi dengan baik. 

Namun, dengan munculnya fenomena 'bahasa anak Jaksel' ini. Semua perjuangan tersebut seakan hilang makna. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) seakan kehilangan kekuasaannya.

Kedua, menghambat terciptanya kultur yang baik

Bahasa adalah cerminan bangsa. Artinya bahasa yang digunakan dengan baik dan benar oleh penuturnya. Akan menggambarkan baik buruknya citra dan harga diri sebuah bangsa. 

Ketika di sekolah, guru selalu berpesan untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan masyarakat dari beragam suku yang ada di Indonesia.

Semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mendapatkan edukasi yang sama tentang bahasa Indonesia. Tentu saja dengan buku sumber yang sama, buku EYD yang sama. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah paham dan miskomunikasi antar masyarakat yang berasal dari berbagai suku tersebut. 

Nah, dengan adanya fenomena 'bahasa anak Jaksel' tersebut akan menghambat terciptanya kultur baik, yang selama ini digembor-gemborkan.

Cara bijak menyikapi dampak negatif yang timbul

Munculnya fenomena baru dengan segala dampak dan permasalahan yang ditimbulkannya. Menuntut kita untuk dapat bersikap secara tepat, bijak, dan solutif. Berikut adalah cara bijak menyikapi fenomena 'bahasa anak Jaksel'.

Pertama, anggap ini adalah hal yang biasa dalam perkembangan sebuah bahasa. 

Fenomena bahasa anak Jaksel adalah hal yang wajar dan normal. Sudah saya sebutkan di atas bahwa perubahan pada bahasa adalah karena sifat bahasa itu sendiri. 

Bahasa bersifat dinamis, berkembang sejalan dengan perkembangan manusia sebagai penutur bahasa tersebut.

So, kita bereaksi secara biasa saja. Jangan terlalu reaktif. Karena, hal tersebut akan mengakibatkan rasa traumatik dan keengganan para penutur bahasa anak Jaksel untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Nanti mereka berbicara 100 persen dengan bahasa asing, bagaimana?

Kedua, yakini bahwa sebuah fenomena dalam bahasa bersifat sementara.

Sebuah gejala berbahasa baik itu campur kode maupun alih kode. Biasanya timbul karena perbedaan bahasa yang dikuasai oleh komunikan dan komunikator. Sehingga agar komunikasi tetap berjalan dengan baik. Mengharuskan mereka untuk melakukan alih kode atau campur kode. Yakini bahwa hal ini hanya bersifat sementara.

Atau bisa saja fenomena ini muncul karena adanya unsur kreativitas dalam berbahasa, kejenuhan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan itu-itu saja, dan sebagai aplikasi pengalaman berbahasa dari masyarakat yang telah berinteraksi dengan bahasa asing.

Akhirnya mereka mencoba-coba untuk campur kode. Lalu terasa nyaman, gaul, dan menyenangkan. Namun, jangan khawatir. Hal tersebut akan berlangsung dalam beberapa waktu saja. Ketika mereka mulai jenuh dan bosan. So, kita tunggu saja.

Ketiga, tetaplah berpegang pada prinsip berbahasa dengan baik dan benar.

Pengguna bahasa anak Jaksel adalah kaum-kaum sosialita, artis dan selebritis, serta anak-anak dan remaja 'gaul' di Jakarta Selatan. Tentu saja, bukan kita kan? 

Oleh karena itu, kita tetaplah berpegang pada prinsip berbahasa yang kita pegang. Bahwa kita adalah orang yang memiliki prinsip dan pendirian. Tidak mudah untuk mengikuti arus yang bersifat musiman apalagi dalam berbahasa, karena bahasa adalah cermin diri dan budaya.

Keempat, jangan lelah untuk tetap edukasi anak tentang bahasa yang baik dan benar. 

Sebagai pendidik dan orangtua, tugas kita adalah memberikan edukasi untuk peserta didik dan buah hati kita. 

Tanamkan kepada mereka, cara berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Jangan merasa lelah dan yakinlah bahwa ilmu yang bermanfaat dan diamalkan akan menjadi ladang pahala untuk bekal di akhirat. Semangat ya.

Selalu ada hikmah

Segala peristiwa yang terjadi menuntut kita untuk bersikap dengan benar. Fenomena berbahasa ala 'bahasa anak Jaksel' mengajarkan bahwa perubahan dan perkembangan bukanlah sesuatu hal yang tabu dan buruk. 

Perubahan dan perkembangan dapat saja menjadi jalan baru terciptanya kreativitas yang bermanfaat untuk banyak orang. 

Kita tidak boleh bersikap status apatis dengan munculnya fenomena baru. 

Meski fenomena tersebut menimbulkan dampak negatif.  Mari kita kawal bahasa persatuan kita bahasa Indonesia, dengan sikap yang bijak dan senantiasa selalu memetik hikmah dalam setiap peristiwa yang terjadi. Apapun itu. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun