Bukan fenomena baru
Berkembangnya sebuah kebiasaan dalam berbahasa, seperti bahasa anak Jaksel yang sedang marak saat ini sebenarnya bukanlah fenomena baru.
Karena dari dahulu juga alih kode dan campur kode sudah biasa dilakukan oleh para penutur bahasa di dunia, tidak hanya berlaku untuk bahasa Indonesia.
Semua bahasa yang ada di dunia dalam perkembangannya, tentu saja mengalami beberapa perubahan. Ada yang berubah dalam makna, pelafalan, penulisan, dan situasi berbahasa. Hal itu sudah lumrah terjadi karena bahasa memiliki sifat dinamis.
Perbedaan perubahan bahasa pada zaman dulu dan masa kini tersebut terletak pada jenis dari bahasa yang di-alihkode-kan dan di-campurkode-kan saja.Â
Kalau pada masa dahulu, sebelum masyarakat Indonesia banyak yang kuliah di luar negeri. Alih kode dan campur kode hanya terjadi antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia.
Sebagai contoh, "Inggih, matur suwun... terima kasih, nyonya", "Permisi, bapak, saya minta izin untuk pergi, mangga, Pak!", dan lain-lain.Â
Nah, saat ini setelah masyarakat Indonesia melek teknologi dan pengetahuan. Banyak masyarakat yang menuntut ilmu di luar Indonesia. Maka, jenis bahasa yang dialih kode dan dicampur kode tersebut antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Bukan sesuatu yang tidak mungkin, bila suatu saat nanti, bahasa daerah juga dapat dicampur kode dengan bahasa asing. Mengingat banyak orang yang berasal dari daerah-daerah menuntut ilmu di mancanegara. Kita tunggu saja, ya.
Sebagai tanda 'hidupnya' sebuah bahasa