Mohon tunggu...
Ina Agustina Isturini
Ina Agustina Isturini Mohon Tunggu... -

Dokter lulusan FK Unpad tahun 1998. \r\nMagister Kesehatan Masyarakat lulusan FKM UI tahun 2011.\r\nPNS di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanggapan untuk Wakil Ketua MK : Antara Montir dan Dokter

1 Desember 2013   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca gerakan solidaritas para dokter tanggal 27 November 2013 lalu, berbagai pro dan kontra bermunculan. Salah satu yang cukup menarik adalah pernyataan Wakil Ketua MK, Bapak Arief Hidayat yang mengatakan bahwa penanganan yang dilakukan dokter terhadap pasien lebih mudah daripada pekerjaan montir dikarenakan hasil kerja dua profesi itu direspon berbeda oleh orang-orang. Montir lebih sering menerima respon tak mengenakkan dibandingkan dokter. (sumber www.detik.com).

Harus diakui bahwa setiap profesi pasti akan ada suka dan dukanya serta memiliki tingkat kesulitannya masing-masing.  Kita pun hidup saling membutuhkan dan bersinergi, sehingga tidak ada satu profesi lebih tinggi dari profesi lainnya.  Hanya saja ada satu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa seorang dokter harus berjibaku dengan nyawa manusia, sedangkan montir berhadapan dengan mesin kendaraan.  Nyawa manusia hilang tidak ada gantinya, sedangkan mesin mobil rusak masih bisa dicari digantinya.  Sehingga perbandingan seperti itu terasa seperti “sindiran” dan bukan suatu pernyataan yang objektif, apalagi diungkapkan masih dalam kondisi hangat-hangatnya berita aksi solidaritas dokter yang menuai berbagai kontroversi.

Dalam negara demokrasi, siapa-siapa saja berhak untuk menyatakan pendapatnya dan siapa pun sah-sah saja untuk mengkritik aksi dokter tersebut.  Namun ketika seorang pejabat tinggi negara membuat pernyataan seperti itu, rasanya cukup menghentak.  Walau tidak secara langsung menyatakan kontra dengan aksi solidaritas tersebut, namun sindiran tersebut membuat para dokter merasa semakin terpojok.  Dan hal ini mengindikasikan bahwa pesan yang disampaikan oleh teman-teman dokter memang tidak tersampaikan dengan baik.

Seandainya Bapak Arief mau mencermati kekecewaan, kemarahan dan jeritan yang disampaikan, beliau dapat menangkap bahwa masalahnya ini bukan sekedar permintaan pembebasan dr Ayu maupun penolakan kriminalisasi terhadap para dokter.  Bila dirunut-runut sampai ke akar masalahnya, akan terlihat dengan jelas bahwa ada kesenjangan antara sistem yang ada dengan kebutuhan di lapangan dan buntutnya adalah keresahan serta rasa tidak aman dalam menjalankan profesinya.  Sistem tersebut dibentuk dari peraturan perundang-undangan serta kebijakan yang tidak tepat dan tidakharmonis satu sama lain.   Sebagai ahli hukum yang biasa berkutat dengan masalah konstitusi di Indonesia, tentunya Bapak Arief sudah paham benar dengan “system thinking”.

Secara logika,  terasa janggal ketika sebuah kasus yang telah diputuskan tidak ada pelanggaran disiplin oleh Majelis Kehormatan Disiplin Indonesia/MKDI tetap dapat diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung sebagai tindakan pelanggaran disiplin.  Padahal MKDI telah ditetapkan oleh UU No. 29 tahun 2004 sebagai lembaga yang bersifat independen untuk menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan.

Ada yang menyatakan bahwa belum ada standar nasional mengenai penanganan medis sehingga hasil keputusan  MKDI menjadi lemah karena orang lain bisa saja menggunakan standar yang berbeda dalam menilai.  Selain itu masyarakat juga tidak percaya pada MKDI karena dianggap akan melindungi dokter-dokter yang bersalah yang merupakan koleganya.  Kalau demikian masalahnya, mengapa kemudian peradilan kasus kedokteran yang memerlukan ilmu khusus dapat dilakukan oleh seorang hakim agung yang tidak memiliki latar belakang medis sama sekali?  Bukankah itu sama saja diragukan keakuratan hasil penilaiannya dan tidak lebih baik dari MKDI?  Seseorang yang berlatar belakang medis saja tapi bukan spesialis Obgyn belum tentu dapat menilai dengan tepat kasus tersebut, karena begitu kompleksnya ilmu kedokteran sehingga masing-masing subjek memerlukan kekhususan atau spesialisasi.

Saya menghormati dan menghargai proses hukum yang telah terjadi.  Bagaimana pun negara kita adalah negara hukum dan saya yakin Hakim Agung tentu punya dasar hukum yang kuat dalam memutuskan kasus seperti ini, apalagi sekelas Bapak Artidjo yang integritasnya sudah tidak diragukan lagi.  Hanya saja hakikat dibuatnya peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat menjadi “blurr” dan tidak sesuai sasarannya karena efeknya saat ini adalah ketakutan para dokter akan keselamatan dirinya dalam menjalankan profesinya secara profesional. Hal ini terjadi karena tidak ada perlindungan hukum bagi mereka yang telah menjalankan “standard operating procedure” namun gagal menyelamatkan pasiennya.  Selain itu tidak adanya fleksibilitas hukum bagi kondisi-kondisi tertentu di lapangan juga membuat ngeri, misalnya tidak jarang dokter menghadapi pasien darurat yang memerlukan pertolongan segera dan tidak ada pihak keluarga yang mendampingi.   Seperti makan buah simalakama, dokter berusaha menyelamatkan pasien namun gagal akan disalahkan karena tidak meminta Inform Consent. Sebaliknya, bila dokter menunggu keluarga pasien akan disalahkan juga, mengapa dokter tidak menolong secepatnya.  Kesimpulannya adalah yang paling rugi dalam kasus ini adalah masyarakat di negara ini.

Dokter-dokter adalah para ilmuwan yang karena tuntutan profesi harus terus meningkatkan kualitas mereka dengan mengupdate ilmu-ilmu terbaru serta memantau perkembangan permasalahan kesehatan terbaru.  Hal itu tentu saja dilakukan demi pelayanan terbaik untuk kepentingan pasien-pasien yang mereka layani.  Kebanyakan dokter bukanlah politisi yang pandai berkata-kata atau melakukan manuver-manuver untuk mencapai yang diinginkan.  Mereka hanya manusia biasa yang pada saat-saat tertentu bisa merasa kecewa dan terluka ketika usaha-usaha mereka untuk melakukan yang terbaik tersebut tidak mendapatkan perlindungan.  Kalaupun dalam menyatakan pendapatnya atau mengeluarkan aspirasinya terdapat beberapa kekurangan, silakan dikritisi, tapi jangan abaikan juga esensi yang mereka sampaikan.    Saat itulah keahlian seorang pemegang kebijakan (legislatif dan eksekutif) serta pengawas terlaksananya kebijakan (yudikatif)  dibutuhkan yaitu menangkap esensi tersebut yang merupakan aspirasi dari rakyatnya.  Dokter itu juga rakyat yang perlu dilindungi hak-haknya.

Saya tidak menutup mata terhadap keluhan sejumlah masyarakat terhadap pelayanan dokter yang tidak memuaskan, sulitnya menyalurkan pengaduan terhadap ketidakpuasan tersebut (rumah sakit cenderung akan selalu melindungi dokter), dokter yang bekerja sama dengan pabrik obat, dokter yang tidak komunikatif dan sebagainya.  Hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang profesional dari seorang dokter tentu harus dilindungi.  Untuk itu, keberadaan lembaga maupun pihak-pihak yang seringkali mengkritisi para dokter memang sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang.

Saran saya, untuk jangka pendek, Pemerintah dan DPR harus segera menetapkan formulasi peraturan mengenai posisi keputusan MKDI terhadap peradilan umum baik pidana maupun perdata. Seyogyanya keputusan MKDI harus bisa menjadi dasar pertimbangan hakim dalam peradilan umum.  Selain itu perlu ada jaminan bahwa pengaduan masyarakat akan ditindaklanjuti secara cepat dan transparan serta sanksi bila ada oknum MKDI yang terbukti melindungi dokter yang bersalah. Hal ini untuk menghilangkan rasa curiga masyarakat serta mencegah kecurangan dalam proses tindak lanjut penanganan pengaduan masyarakat.  Selanjutnya pemerintah harus menetapkan dan mensosialisasikan pada masyarakat mengenai hak dan kewajiban seorang dokter, hak dan kewajiban masyarakat serta hak dan kewajiban bagian struktural/manajemen kesehatan. Untuk jangka panjang tentu saja perbaikan sistem kesehatan serta sistem terkait lainnya secara keseluruhan  seperti pendidikan dokter yang mahal, penyebaran tenaga medis yang belum merata, fasilitas yang masih belum layak, belum adanya standard nasional penanganan medis dsb.

Analisa dan saran-saran saya tentu masih jauh dari sempurna.  Untuk itu, sumbang saran dari para ahli, termasuk Bapak Arief, bagi perbaikan sistem tentu sangat dibutuhkan.  Ketika Bapak Arief menunjukkan empatinya dan menganggap dokter adalah bagian dari rakyat yang harus dilindungi, serta menyumbangkan keahliannya dalam menilai serta menganalisa kebijakan/sistem, tentu canda Bapak mengenai montir dan dokter bisa benar-benar dirasakan sebagai candaan untuk mengakrabkan suasana.  :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun