Mohon tunggu...
Ina Agustina Isturini
Ina Agustina Isturini Mohon Tunggu... -

Dokter lulusan FK Unpad tahun 1998. \r\nMagister Kesehatan Masyarakat lulusan FKM UI tahun 2011.\r\nPNS di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Where Are You “Unity In Diversity”?

26 Januari 2015   18:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan Anak Bangsa yang sedang Galau

Perseteruan, suasana panas dan saling menyalahkan yang marak di negara kita akhir-akhir ini sungguh membuat saya galau. Semua saling menunjuk bahwa kesalahan ini adalah milik orang lain.  Kumpulan para tersangka yang salah itu antara lain presiden, DPR , Polri ,  KPK, partai A-B-C, para koruptor dan bahkan banyak juga yang menyalahkan para pemilih presiden tertentu pada saat Pemilu.  Sungguh memusingkan.  Karena dari sekian banyak telunjuk yang mengarah ke orang lain tersebut yang terdengar hanyalah hujatan, celaan dan hina dina.  Di mata saya, sangat sedikit sekali yang menawarkan solusi maupun pendapat yang benar-benar objektif, membangun,  implementatif dan sesuai akar masalah.

Saya jadi ingat kunjungan saya pertengahan tahun lalu ke ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia).  Perjalanan yang semula saya kira akan sangat membosankan ternyata kenyataannya berbalik 180 derajat, sangat berkesan dan bahkan mengharu biru.

Berjalan menyusuri ANRI, mengupas kembali ingatan-ingatan saya tentang perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia hingga saat ini.              Mulai dari kejayaan kerajaan Majapahit, Padjadjaran, Sriwijaya dan sebagainya.  Hingga Belanda datang menjajah kita selama 3,5 abad dengan politik devide et impera.  Perjuangan para pahlawan daerah pun bermunculan untuk bisa lepas dari kolonialisme tersebut, seperti Sultan Hasanuddin, Nyi Ageng Serang, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan lain-lain.  Hingga akhirnya para cendekiawan bangsa bersatu padu dan memulai perlawanan melalui gerakan organisasi, diplomasi serta menumbuhkan semangat kebangsaan dan persatuan pada seluruh rakyat.  Puncaknya adalah lahirnya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sekaligus awal diperdengarkannya lagu Indonesia Raya karya WR Supratman.  Setelah melalui serangkaian perjuangan yang sangat panjang,  termasuk penjajahan Jepang setelah Belanda pergi dari Indonesia, akhirnya pada tahun 1945 kita bisa meraih kemerdekaan yang dicita-citakan.  Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara sedangkan UUD’45, NKRI maupun Bhinneka Tunggal Ika menjadi pilar-pilar kebangsaan kita.

Kemerdekaan Indonesia bukanlah akhir dari perjuangan.  Masih ada Belanda yang penasaran dan berusaha menjajah kembali serta gerakan-gerakan separatis yang menginginkan kemerdekaan di daerahnya.  Kemudian peristiwa kelam G 30 S dengan kisah Supersemar yang masih misterius dan jatuhnya kekuasaan Bung Karno dengan mengenaskan.  Selanjutnya tragedi Mei 1998 yang diikuti dengan lengsernya Soeharto dan dimulainya masa reformasi.

Cerita-cerita di atas menunjukkan bahwa kemerdekaan maupun menjaga keutuhan serta kedaulatan bangsa Indonesia setelah merdeka, diraih melalui perjuangan yang sangat berat.  Kedua, kemerdekaan diraih berkat kesungguhan dan kekompakan para cendikiawan yang merupakan pemimpin-pemimpin bangsa saat itu.  Mereka mampu menginspirasi rakyatnya dengan semangat kebangsaan dan persatuan, bukan hanya karena ucapan-ucapan mereka namun ditunjukkan melalui keteladanan dalam menyikap perbedaan serta keseriusan untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan bangsanya.

Hingga kini perjuangan untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara tidak pernah berhenti.  Sejumlah tantangan silih berganti datang.  Musuh tidak selalu hadir  melalui tentara-tentara asing dengan senjatanya.  Dan kenyataannya saat ini bisa kita lihat,  ketika para elite berseteru ternyata rakyatnya pun tidak mau kalah ikut berseteru dan begitu  mudahnya mengeluarkan kata-kata hujatan, celaan dan caci maki.  Informasi-informasi yang tidak jelas asal usulnya sudah dijadikan dasar hukum bagi kelompok yang satu untuk menyalahkan  kelompok lainnya. Semua sibuk bertengkar sehingga lupa siapa musuh yang sesungguhnya.

Saya mendukung penuh teman-teman yang terus berjuang menyuarakan kebenaran serta mengkritisi segala kebijakan maupun peristiwa yang terjadi di negara ini.  Hal ini menjadi positif ketika perjuangan tersebut menyepakati apa cita-cita bangsa ini dan siapa sesungguhnya musuh kita.  Presiden yang baru kah sehingga harus kita hujat terus hingga beliau diturunkan?  Atau DPR kah yang harus kita cela terus sehingga mereka diganti dengan orang-orang “sempurna”?   Atau kawan-kawan kita sendiri yang berbeda pendapat dan pandangan politik dengan kita?

Tengok saja kita masih berhadapan dengan tingginya angka korupsi (jauh lebih tinggi dibandingkan Brunei, Singapura dan Malaysia, sumber : Transparency Int’l website), kemiskinan (world bank : Indonesia termasuk low middle income economies), narkoba (BNN : 50 orang mati akibat narkoba tiap harinya).   Selain itu, sebagai bangsa yang jauh lebih besar dan merdeka lebih dahulu, Human Development Index Indonesia saat ini tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Brunei, Malaysia, Filipina dan Singapura (sumber : UNDP website).   Realitas tersebut merupakan keprihatinan bersama dan kewajiban bagi kita semua untuk bisa menanggulanginya.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah...”  Itu adalah pesan dari bapak bangsa kita, Bung Karno.  Dari sejarah kita bisa belajar untuk menghargai kebebasan yang kita dapatkan hari ini, karena semua itu diraih melalui perjuangan yang penuh darah dan air mata.  Dari sejarah kita juga belajar bagaimana untuk lebih mengenal kelebihan dan kekurangan kita sebagai bangsa dan tidak ragu-ragu untuk melakukan perubahan demi masa depan yang lebih baik.

Dari sejarah masa lalu, saya menyimpulkan bahwa masalah terbesar bangsa ini adalah begitu mudah dipecah belah dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bangsa dan negara.  Sejarah juga mengajarkan pada saya betapa pentingnya hadirnya para pemimpin yang mampu mempersatukan bangsanya untuk bersama-sama melawan musuh dan meraih cita-cita bersama.  Namun sekarang, ketika para elite berseteru, siapakah yang bisa diharapkan untuk mempersatukan semua ini? Ketika pemimpin yang ada dianggap belum cukup kuat untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada, apakah yang harus kita lakukan?  Mampukah kita berubah dan menunjukkan gigi kita sebagai bangsa yang besar dan berdaulat?  Bila jawabannya “ya”, maka  pertanyaan selanjutnya adalah,  di mana posisi kita?  Lebih spesifik lagi, di mana posisi saya?

Saya belum sehebat para pahlawan bangsa ini menjadi teladan bagi jutaan rakyat Indonesia, namun saya akan memulai dari lingkungan sekitar saya di mana saya bisa menginspirasi dan bahkan melakukan perubahan.  Maju selangkah demi selangkah adalah awal untuk melakukan 1000 langkah ke depan. Langkah awal yang paling mudah tentunya adalah mengubah diri sendiri.  Saya berjanji untuk menjalankan amanah yang menjadi tugas saya dengan lebih baik lagi.  Saya juga akan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat namun dengan cara yang baik, dengan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan dan dengan solusi yang membangun. Saya berjanji tidak akan mudah dipengaruhi oleh cerita-cerita yang belum jelas kebenarannya dan bisa membuat saya terpecah belah dengan teman-teman saya.  Saya berusaha untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan terhadap teman-teman yang berbeda pandangan politik dengan saya, bahkan saya berusaha untuk memahami mereka karena saya yakin kita semua punya cita-cita serta musuh yang sama.

Terakhir, saya mau berbagi satu poster di ANRI yang sungguh membuat saya terharu.  Mereka menggambar seseorang menanam pohon dan dituliskan : “anak cucu menanti buahnya”.  Sungguh luar biasa, kala para leluhur kita di masa lalu sudah mau berjuang keras dan mengorbankan banyak hal demi kebahagiaan anak cucu mereka yang mungkin tidak sempat mereka lihat.  Saya dan kita semua adalah bagian dari anak cucu yang ikut menikmati hasil pohon yang mereka tanam.  Hasil kerja mereka, bisa jadi tidak sempat mereka rasakan, tapi mereka ikhlas melakukannya.  Bagaimana dengan kita?  Apa yang akan kita wariskan bagi anak cucu kita  berpuluh-puluh tahun atau beratus-ratus tahun yang akan datang?  Ikhlaskah kita menanan pohon untuk mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun