"Masih kurang seperempat jam, Wuk!"
"Cukuplah, Mbak. Yuk nerabas lewat rel saja!" Tiwuk, adik kostku menyemangatiku yang nyaris putus asa.Â
Kami bergegas menuju stasiun Jebres. Stasiun kecil dengan bangunan kuno yang sepi. Tapi itu stasiun terdekat dari tempat kost kami di samping UNS, tempat kami menimba ilmu.
Biasanya kami mudik naik bis, dari Solo ke Jogja, dan lanjut ganti bis ke Purworejo. Saat itu tarif naik bis dan kereta api nyaris sama, 2200 rupiah. Kereta yang kami naiki adalah kereta Logawa yang melewati rute Solo-Kutoarjo, sehingga aku yang mudik Purworejo, dan Tiwuk yang rumah nya di samping stasiun Kutoarjo bisa bersama -sama naik KA Logawa .
Sebenarnya perjalanan dengan kereta lebih panjang, karena Aku harus turun Kutoarjo, dan berbalik ke arah Purworejo naik kopada. Tapi naik kereta api tentunya lebih menarik dan berkesan, tidak membosankan meski sekitar 3 jam harus tetap berada di dalam gerbong.
Dan salah satu hal yang membuat nyaman, naik kereta tidak pernah membuatku mual seperti yang kadang-kadang terjadi kalau naik bis. Mungkin karena perjalanan kereta relatif stabil, dan tidak bau bahan bakar.
Sebelum berangkat, biasanya kami mampir di warung anak kost yang harganya relatif murah, memesan nasi bungkus untuk dimakan di kereta bersama minumnya. Makanannya lebih enak, tapi jauh lebih murah. Kalau beli di kereta harganya bisa 2x lipat. Tentunya sangat tak ramah untuk kantong mahasiswa perantau seperti kami.
Sepertinya sampai sekarang tidak berubah, makanan di kereta masih tetap mahal, entah kenapa bisa begitu. Mungkin jauh lebih mahal, karena sekarang membeli makan di kereta disediakan oleh pramu kereta, dan biaya marginal lebih besar.
Kalau dulu masih ada pedagang asongan. Tapi harganya juga relatif mahal dan terkadang menipu. Seperti nasi bungkus yang dilabeli nasi daging, dagingnya hanya sebesar kelereng. Yang lauk telur hanya ada 3 irisan telur dadar sebesar korek api. Hahaha...
Itu kenangan saat mudik naik kereta api kelas ekonomi. Meski kondisinya saat itu belum sebersih sekarang, tetap saja naik kereta api terasa lebih nyaman dan istimewa.
Di era kepemimpinan Ignatius Jonan, terjadi perubahan besar pada moda transportasi kereta api, yaitu :
- Pedagang asongan tidak diperbolehkan naik ke atas kereta, bahkan dilarang masuk stasiunÂ
- Penumpang kereta harus mempunyai nomor kursi, sehingga pasti mempunyai tempat duduk.
-Kereta api ekonomi sudah ber AC.
Di era itu, Aku mempunyai pengalaman naik Kereta api Sri Tanjung dari Madiun dengan tujuan Banyuwangi.Â
Saat itu ikut trip bersama teman-teman MGMP suami. Sampai Jember atau Banyuwangi sudah malam, terlihat kerlap kerlip lampu yang menerangi kebun buah naga. Itu salah satu kenangan yang sangat mengesankan.
Lebih bagus lagi, Aku berkesempatan naik kereta ekonomi premium yang tempat duduknya mirip kelas eksekutif, tapi warnanya krem.Â
Sedang eksekutif kombinasi biru dan krem. Satu setengah tahun yang lalu, Aku dan suami mengunjungi si bungsu dan si sulung yang tinggal di Jakarta dan Depok, sekalian menghadiri acara keluarga di Cibubur.
Saat itu, Direktur Kereta api sudah dijabat oleh Bapak Didiek Hartantyo yang seperti dikutip dari laman resmi PT KAI, beliau merupakan pria kelahiran Jakarta, pada tahun 1961 .
Tak menyangka ternyata beliau se-almamater dengan saya pada  jenjang S1 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, meski berbeda masa. Sebab beliau lulus pada tahun 1985, sedang saya lulus tahun 1997 dari fakultas pertanian UNS. Sama-sama alumni UNS, nih. Hehehe...
Selanjutnya beliau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan menempuh pendidikan S2 di Daniels School of Business, University of Denver, USA pada 1993 dan lulus tahun 1995.
Perjalanan kariernya di KAI Â dimulai sejak 25 Januari 2016 dan saat itu menjabat sebagai Direktur Keuangan.
Pada Tahun 2020, Bapak Didiek Hartantyo  menggantikan posisi Pak Edi Sukmoro memimpin PT KAI  yang sebelumnya menjabat di posisi tersebut sejak 2014 lalu.
Peralihan jabatan ini telah tertulis dalam Surat Keputusan Menteri BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan PT KAI Nomor: SK-142/MBU/05/2020.
Didiek Hartantyo x Kompasiana , dan juga mendidiek jadi lebih baik.
Berarti saat menaiki kereta api ekonomi premium ini, Direktur KAI sudah dijabat oleh Pak Didiek Hartantyo yang saat ini bekerja sama dengan Kompasiana dengan hashtagKereta ekonomi premium ini juga sangat nyaman. Tapi saat berniat naik kereta ini lagi terakhir ke Jakarta, ternyata sudah tidak ada tempat duduk tersisa, sehingga kami, Aku dan Ayah membeli tiket Kereta Api eksekutif Gajayana.
 Sebagai lansia, untuk pembelian melalui KAI access, ayah mendapat potongan 20% seumur hidup. Alhamdulillah. Terima kasih PT KAI.
Tentunya naik kereta api eksekutif lebih nyaman lagi, karena mendapat fasilitas selimut gratis, dan fasilitas lainnya. Lebih banyak fasilitas tambahan dibanding kelas ekonomi.
Kereta Gajayana tiba di Stasiun Madiun pukul 18.30 tepat. Di setiap stasiun pemberhentian kereta disambut dengan lagu-lagu daerah yang terdengar nyaring tapi merdu.Â
Kami penumpang kereta menunggu kedatangan Gajayana dengan tertib. Kereta melaju kencang dan berhenti di Stasiun Madiun. Yuk ikuti perjalanan Kereta api Gajayana bersama saya.
18.37 Kereta Gajayana berangkat dari Stasiun Madiun.
Kereta Gajayana melaju kencang. Bukan ijagijugijagijug lagi, tapi wesss....wesss...wess...ditingkah suara angin malam.
Tentunya di dalam kereta api eksekutif fasilitas dan pelayanannya lebih bagus dan tempatnya lebih nyaman.
Ada dudukan kaki yang memungkinkan kita untuk menyandarkan kaki dengan santai, sehingga membuat posisi duduk lebih nyaman. Kami juga dipinjami selimut gratis yang harus dikembalikan saat turun, sehingga bisa lebih hangat menghadapi dinginnya AC kereta.
Dalam sekejap, Kereta Gajayana sudah sampai di Stasiun Balapan Solo.
19.39. Stasiun Solo BalapanÂ
Di Stasiun Balapan Solo, KA Gajayana berhenti cukup lama. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Wess...wesss...wessss.
20.27 Stasiun YogyakartaÂ
Pukul 20.27 KA Gajayana sudah memasuki Stasiun Yogyakarta.
Aku dan ayah mulai lapar, dan membuka bekal. Entah membawa makanan dari luar diperbolehkan atau tidak, tapi karena sebelum nya sudah ada yang makan bekalnya dan tidak ditegur petugas kereta, kami berkesimpulan kalau membawa makanan dari luar tidak dilarang.Â
Makan di kereta bisa tetap nyaman karena tersedia meja kecil yang tersembunyi dan bisa dibuka yang letaknya di dudukan tangan di kursi penumpang.
Aku sengaja membuat nasi goreng sendiri dengan lauk telur dadar dan galantin, serta  kukemas ala cafe terkenal di Madiun.Â
Kalau beli di kereta harganya bisa sampai 40-50 ribu untuk spec seperti yang kubuat. Semoga suatu saat harga makanan di kereta bisa lebih bersahabat kalau memungkinkan.
Ternyata kereta api Gajayana melewati jalur Selatan, jadi setelah Yogyakarta tidak lewat Semarang, tapi melewati Stasiun Kutoarjo. Di Stasiun ini biasanya perjalanan saya berakhir kalau mudik Purworejo.
21.14 Stasiun KutoarjoÂ
Stasiun Kutoarjo adalah stasiun saat saya harus turun jika mudik ke Purworejo. Dari Madiun pukul 18.37 dan pukul 21.11 sudah sampai stasiun Kutoarjo adalah waktu yang singkat. Tidak sampai 3 jam sudah sampai.
Padahal kalau baik bis atau naik mobil pribadi, waktu tempuhnya sekitar 7-10 jam perjalanan. Dari tercepat sampai terlama. Ini berarti perjalanan menggunakan kereta api sangat menghemat waktu.
Setelah Stasiun Kutoarjo, saya mulai mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Banyak stasiun terlewati, tapi saya sudah terlelap, meski sesekali masih mendengar keriuhan, tapi tubuh ini butuh menerima haknya untuk beristirahat dalam dinginnya AC kereta.
Tak terasa kereta sudah mendekati pemberhentian terakhir, Stasiun Gambir. Lagu Kicir-Kicir menyambut kedatangan kami memecah keheningan dini hari.
"Kicir-Kicir....ini lagunya." Eh, ternyata cuma instrumentalia, hehehe...
03.10 Stasiun Gambir
Kami mengecek barang bawaan kami yang cukup banyak, agar tidak sampai tertinggal. Meski begitu, jika ada barang bawaan yang tertinggal, padahal sangat penting dan berharga bisa dilacak melalui Contact Center KAI 121. Seperti dikutip dari cnnIndonesia.com,
Vice President Public Relations KAI Anne Purba menyebut jumlah temuan barang penumpang yang tertinggal tahun ini meningkat drastis dibanding 2023, yakni 5.434 barang dengan perkiraan nilai sekitar Rp6,6 miliar.
Anne menyebutkan, KAI memiliki sistem layanan Lost and Found. Jadi penumpang yang merasa kehilangan atau tertinggal barangnya di dalam kereta atau stasiun bisa melaporkan kepada petugas atau melalui Contact Center KAI 121 untuk ditindaklanjuti.
Laptop ayah juga pernah tertinggal di tempat duduk di Stasiun Madiun. Saat kembali mau diambil, ternyata sudah dibawa petugas. Tapi akhirnya bisa diambil di kantor dan dikembalikan.
Kami keluar menuju ruang tunggu penumpang sekaligus menunggu dijemput Si bungsu menuju penginapan di hotel yang sudah dipesan dan diurusinya.
Alhamdulillah, perjalanan yang lancar dan nyaman. Semoga dalam kepemimpinan Pak Didiek Hartantyo, KAI mendidiek jadi lebih baik dan lebih disukai pelanggan. Tentunya karena kualitas pelayanannya, akses, dan kenyamanan perjalanan menggunakan kereta.Â
Yuk kita nikmati perjalanan KA Gajayana dari Stasiun Madiun ke Stasiun Gambir dalam videoku ini .
Sumber : YouTube @Isti Yogiswandani channelÂ
Bahan referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H