Pendanaan pendidikan lebih difokuskan pada program wajib belajar 12 tahun yang mencakup pendidikan SD, SMP, dan SMA (Nadiem Makarim, Mendikbud ristek)
Gonjang-ganjing dunia pendidikan kembali terjadi saat UKT Mahasiswa naik berlipat dan dianggap mahal.
Mahasiswa menjerit dan memprotes kenaikan UKT yang fantastis, nyaris mendekati nilai dolar yang melambung saat terjadi reformasi.
Grup alumni Kampus kami di Kota Solo yang biasanya sepi dan unggahannya bisa dihitung dengan jari tiba-tiba membuat saya tertinggal ratusan chat. Tentunya membuat saya penasaran dan segera membuat ku membuka grup WA bersangkutan.
"UKT anakku cuma sekitar 4 juta, tapi di sekolah swasta".
"Di kampus kita sekarang gila-gilaan. Kedokteran dan Kebidanan IPI (uang pangkal)nya naik 5-8 kali lipat. Jadi ratusan juta!"
"Semua naik drastis, Mbak!"
"Waduh, jadi takut menguliahkan anak di kampus kita dulu!"
"Padahal dulu kampus kita terkenal murah mau masuk lewat jalur mandiri sekalipun!"
"Jadi tidak ada kebanggaan kuliah di PTN!"
"Iya, cuma anak-anak berduit yang bisa masuk PTN!"
"Betul, persaingan semakin sulit, kuota jalur mandiri sekarang 50%!"
Obrolan itu membuat saya nyengir. Dulu, saat saya kuliah di kampus tercinta, tahun 90 an, UKT yang saat itu masih bernama SPP, besarnya cuma 180 ribu/semester. Ditambah pembelian Buku Pegangan Kuliah yang disediakan kampus, paling total sekitar 300-an. Tapi itu dulu. Puluhan tahun yang lalu.
Dilansir dari liputan6.com, Menurut Pasal 1 ayat (3) Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, UKT ditentukan berdasarkan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa sesuai kemampuan ekonominya
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013, UKT adalah besaran biaya kuliah yang harus dibayar mahasiswa untuk tiap semester di Perguruan TinggiÂ
Beberapa tahun yang lalu, saat anak saya kuliah, SPP sudah diganti UKT, dan jalan masuk PTN juga semakin beragam.Â
Si sulung sebenarnya diterima di kampus tercinta, tapi untuk program D3. UKT nya cuma sekitar 4 juta lewat jalur mandiri.Â
Tapi di hari terakhir, dia diterima juga di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya lewat jalur mandiri sesuai jurusan yang diinginkan, D4 Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
UKT nya 9.750.000 per semester. Dua kali lipat dari UKT jalur mandiri di D3 Hyperkes. Tapi Si sulung yang sudah sejak awal berminat masuk K3, memilih di Kampus yang UKTnya tinggi dibanding perguruan tinggi lain.Â
Sedang Si Bungsu yang diterima di Universitas Negeri di Kota Bogor juga lewat jalur mandiri,tapi program D3, UKTnya 6,5 juta/semester.Â
Berat? Tentulah berat bagi kami saat itu, sebab hanya suami yang bekerja sebagai pendidik di sebuah SMA negeri di sebuah kota kecamatan di Kabupaten Madiun. Sedang saya hanya Ibu Rumah Tangga yang harus pandai mengelola gaji suami, meski saya Sarjana pertanian dan mempunyai sertifikat mengajar biologi. Sesekali saya mendapat penghasilan dari honor menulis. Saat itu 1 cerpen yang dimuat honornya 200 ribu sekitar tahun 2002 an. Jauh lebih banyak dibanding honor menulis sekarang yang dihargai berdasarkan views.
Tapi Alhamdulillah, dengan kedisiplinan dan pengelolaan keuangan yang ketat, anak-anak bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu. Dan Si Bungsu melanjutkan kuliah kembali untuk transfer ke S1, setelah sempat terjeda. Sekarang juga sudah lulus dan menunggu wisuda bulan juli nanti.
Untuk S2, kami membebaskan pada mereka untuk melanjutkan atau tidak. Tapi mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor swasta. Jadi pengalaman lebih penting dari pendidikan. Tentunya berbeda jika mereka ingin menjadi Dosen atau PNS. Melanjutkan kuliah ke S2 atau S3 adalah wajib. Sebab untuk PNS bahkan Dosen, pendidikan formal sangat menentukan jenjang karir, jadi wajib melanjutkan ke S2 dan S3.
Sementara dilansir dari  nasional.tempo.co, di tengah maraknya kenaikan UKT yang fantastis, Universitas Terbuka(UT) menegaskan tidak ada kebijakan untuk menaikan uang kuliah tunggal (UKT) pada tahun  2024 meskipun kini UT telah berstatus sebagai perguruan tinggi berbadan hukum (PTNBH).
 Rektor UT, Ojat Darojat, menyatakan, keputusan ini dengan mempertimbangkan UT sebagai pendidikan tinggi yang dapat dijangkau semua pihak, dengan biaya yang relatif terjangkau dan tidak memberatkan mahasiswa.
Lalu, bagaimana dengan pernyataan bahwa kuliah tidak wajib?
Seperti dikutip dari kompas.com, Pelaksana Tugas Sekretaris jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek  Tjitjik Tjahjandarie, menyatakan bahwa pendidikan tinggi atau kuliah bersifat tersier.
Pernyataan ini untuk merespon mahalnya UKT di sejumlah PTN yang naik fantastis sehingga berkesan sangat mahal.
Hal ini menimbulkan polemik dan dianggap bukan jawaban atau solusi atas mahalnya UKT pada beberapa PTN.
Pernyataan bahwa kuliah bersifat tersier berkaitan dengan kebijakan pemerintah wajib belajar 12 tahun. Yaitu SD, SMP dan SMA. Jika anak-anak berniat menjadi Wira usaha, mungkin selepas SMA yang menerapkan kurikulum merdeka, tentunya mereka dibekali dengan berbagai ketrampilan. Atau mungkin memilih SMK agar lebih siap terjun di dunia Wira usaha.
Pendidikan itu penting. Tapi tidak melulu pendidikan formal. Pendidikan yang diperoleh dari pengalaman dan terjun langsung mendalami bidang yang diminati adalah cara bijak dan tepat untuk belajar.
Jadi apakah kuliah wajib?
Kuliah atau belajar dalam jenjang lebih tinggi itu wajib, tapi tidak harus dalam lembaga formal. Itu pendapat saya.
Bagaimana pendapat anda?
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H