Ada jembatan yang bisa buat duduk.
Tapi sepertinya lebih enak duduk di rerumputan.
Di samping deru air yang melimpah.
Ah...petani pasti senang, Â sehabis hujan berlimpah air, padi menghijau dan subur.
Kuambil durian dari cantolan motor.
Waduh, gimana membukanya. Tadi penjualnya nggak mau membantu membuka.
Aha....
Banting saja ke tanah.
Yes...
Qadarullah pas busuk.
Kucoba belah juring yang lain.
Masya Allah...montok! Persis kamu yang lagi ditinggal suami ke luar kota. Seksi untuk digauli. Eh...itu mah kamu yang selingkuh!
Masya Allah...ini durian enaaakkkkk.... bingitz.
Kunikmati dengan mindful Eating.
Legit!
Manis!
Empuk!
Mirip kamu!
Kamu yang setia menemaniku berselingkuh.
Duh...jadi gemes pengin nyiumin kamu.
Eh...
Tapi ini durian. Bukan buat diciumin, tapi untuk dicicipi.
Yuk...mari!
Nyam..nyam...nggak peduli Pak tani yang lewat sambil melongo.
Nggak peduli sopir truk membunyikan bel liat orang makan durian di pinggir jalan.
Gue mah cuek.
Makan durian dikit-dikit, sambil menulis di tepi sawah. Berasa seniman lata sedang merangkai aksara.