Pagi masih terlena dalam nyamannya malam. Tapi sudah banyak orang berolah raga, dari jogging maupun jalan santai. Pelan aku mengarahkan motor ke arah jalan baru.
 Suasana sedikit sepi, membuatku ragu untuk meneruskan langkah. Tapi saat kutemui lapak pecel pincuk aku tak ragu memarkir motor di pinggir sawah.Â
Penunjuk waktu di pojok atas ponselku menunjuk 06.03. Masih pagi ternyata. Aku memang sengaja berangkat pagi-pagi untuk menikmati hari yang cerah ini.Â
Tujuan pertama ku adalah jalan baru. Apalagi kalau bukan berburu sarapan. Sudah lama aku tidak menikmati nasi pecel.
Ibu penjual sedang melayani pembeli yang minta dibungkuskan pecel untuk sarapan keluarga nya.
"Beras sekarang tembus 16Â ribu/kg," kudengar Ibu penjual pecel berkeluh kesah.Sementara mbak pembeli hanya tersenyum.Â
"Jadi sekarang nasi pecelnya naik?"Â
"Nggak naik sih, tapi porsinya aku kurangi, " jawab Bu Harti. Sebut saja begitu namanya(bukan nama sebenarnya).
Bu Harti sibuk melayani pembeli sambil sesekali membolak balik gorengannya. Heci dan tempe goreng. Selesai melayani pembeli yang memborong heci, aku memesan nasi pecel pada Bu Harti.
"Nasi pecel, Bu. Pakai pincuk. Pesanku. Lauknya tambah telur nggak?" Tanya Bu Harti.
 Kulirik ada telur dadar di situ.
 "Telur ceploknya ada, Bu?"
" Nggak ada". Adanya telur dadar. Tadi semua bawa dari rumah, jadi telur mentahnya ditinggal. Kalau terbawa, saya ceplokin di sini, Bu."Â
"Ya, sudah, nggak papa,Bu." Kataku.
 Bu Harti meracik pesananku, nasi pecel dengan lauk tempe goreng yang masih panas.
"Itu tadi tempenya saya goreng lagi, Bu. Soalnya kalau bawa dari rumah, sampai sini sudah lemes, letoi tempenya. Tidak krispi lagi."
 "Iya, Bu. Ini enak, hangat dan renyah. " Kataku sambil menikmati nasi pecel lauk tempe yang lezat.Â
Enaklah, soalnya memang ini sarapan yang kuinginkan.
"Satu lagi?" Tanya Bu Harti. "Satu saja, saya cuma sendiri,kok!" Jawabku sambil celingukan, jangan-jangan Bu Harti melihat ada sosok lain di sisiku. Pertanda apa nih. Hihihi ..
"Sendiri lebih enak, Bu. Tidak mungkin dikhianati!"
"Hahaha...!" Bu Harti tertawa.
"Ibu, lucu!"
"Kadang -kadang!" Kataku ikut tertawa.
Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan porsi nasi pecel yang dikurangi, sehingga Bu Harti menganggap, mungkin kalau orang sepertiku tidak cukup kalau cuma makan seporsi? Hahaha...
Justru porsi kecil ini pas buatku. Seberapapun porsi makanan yang kubeli selalu pas buatku. Sedikit cukup, banyakpun kuhabiskan.Â
Itu sudah menjadi way of life, food pattern. Cara hidup frugal living yang tanpa sadar sudah dibiasakan orang tua sejak kecil dan terbawa sampai dewasa.
"Minum teh hangat,Bu?" Tanya Bu Harti. "Iya,Bu. Minumnya teh hangat saja." jawabku.
"Kalau jualan di sini membayar nggak,Bu?"Â
Sambil menikmati pecel, aku mengobrol dengan Bu Harti.
 Sedikit mengabaikan Mindful Eating. Tapi ini memang sudah kusengaja, dan aku juga sudah mengamati porsinya. Bahkan rasanyapun  aku perhatikan dengan penuh seksama dan senikmat -nikmatnya. Eh...
"Kalau membuat lapak permanen itu, ijin,Bu. Ke desa.Tapi kalau cuma pasang meja dan menggelar dagangan, tidak perlu ijin."Â
"Seperti itu, lho Bu. Yang di seberang itu, tidak perlu ijin. Itu asalnya dari Solo, jadi jualnya tidak permanen."
"Kalau ijin ke desa, juga harus punya KTP desa sini," Bu Harti menjelaskan.
 Sementara aku mendengarkan sambil menikmati nasi pecel. Nasinya tidak terlalu pulen, tapi balance sama pecelnya yang legit sehingga agak tersamar.
 Enaklah, buktinya kusantap sampai ludes. Bumbunya pas. Tidak terlalu manis, berpadu dengan tempe goreng terasa harmonis.
 Eh...memangnya keluarga. Keluarga saja banyak yang dihantam perselingkuhan. Kalah deh sama nasi pecel bisa harmonis. Hohoho...apa hubungannya ya?
"Sepertinya hari ini tidak terlalu ramai, ya Bu?" Tanyaku.Â
"Hari Minggu, Bu ramainya."
"Banyak yang olah raga, ya Bu?"
"Bukan. Kalau Minggu biasanya penuh bakul, Bu. Malah tidak bisa buat olahraga. Orang-orang yang datang bukan untuk olah raga, tapi untuk kulineran."Â
"Oh, begitu ya,Bu?"
 "Iya!"
"Kalau tanggal merah seperti ini tetap seperti hari biasa," jawab Bu Harti lagi.
"Ini Alhamdulillah, hari ini dagangan saya lumintu. Itu heci hampir habis, soalnya yang membeli nasi pecel buat dibungkus, biasanya juga memborong heci, padahal maksud saya sebenarnya buat lauk,"
"Membuat hecinya yang banyak,Bu. Apalagi kalau banyak yang suka."Â
"Ya, itu Bu. Tapi takutnya nanti kalau membuat banyak, pas nggak ada,Bu."
 "Bismillah saja,Bu." Kataku sambil tertawa.
 "Iya!" Hehehe..
"Sudah,Bu."Â
"Tambahnya apa?"Â
"Ini nasi pecel sama teh hangat. " Nasi pecel nya 5 ribu, teh hangat 3 ribu. Jadi semuanya 8 ribu."
Aku segera membayar sarapanku, dan mau melanjutkan perjalanan.Â
Enaknya kemana, ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H