Perjalanan yang menegangkan menuju negeri yang menakjubkan dan luar biasa indah, Bromo.
Kalau sendiri, pastilah ayah sudah menitipkan mobil di bawah, dan berganti alat transportasi lain.
Tapi kali ini ada Pak Mul dan Bu Mul yang memandu dengan berkendara paling depan.
Dan di belakang sendiri ada Mas Kelik dan Istrinya, Mbak Monik. Mas Kelik sudah biasa berkendara dan berpengalaman, sehingga siap berkendara dalam medan apapun.
Ayah berkendara di tengah, karena hampir tidak pernah berkendara di medan yang sulit.
Alhamdulillah kami akhirnya bisa beristirahat di Tosari. Wajah ayah sudah ditekuk dan terlihat tegang.
"Ini saya mau ke Tosari. Saya tidak ke Wonokitri. Teman-teman komunitas sudah membooking 1 rumah penduduk, nanti yang Ibu-ibu tidur di rumah, yang bapak-bapak buka tenda di luar. Pak Pri mau langsung ke Wonokitri, atau mau ikut ke Tosari, Monggo!"
Pak Mul membeberkan rencananya. Sedang kami sebenarnya berniat langsung ke Pendopo Wonokitri, sebab sudah sempat berkomunikasi untuk booking penginapan, meski belum jelas di mana lokasinya.
Akhirnya kami ikut Pak Mul saja. Sepertinya ayah butuh istirahat dan menenangkan diri setelah menempuh perjalanan tak biasa ini.
Melanjutkan perjalanan sendiri tentu sangat beresiko. Tidak mengenal medan, kurang berpengalaman, sedikit paranoid dan baru saja mengalami perjalanan yang menegangkan.
 Tentu tidak bijak kalau harus nekad melanjutkan ke lokasi registrasi yang baru dibuka besok pagi.
Akhirnya kami diantar Mbah Jo (bukan nama sebenarnya)menuju Polsek Tosari untuk memarkir mobil dan beristirahat.
Di sana sudah menunggu teman komunitas Pak Mul, untuk bersama -sama menyewa penginapan.
Tapi ada sedikit perubahan rencana. Ternyata penduduk yang biasanya menyewakan rumah membatalkan kesepakatan.
Pemilik rumah beralasan, sebelumnya rumahnya disewa oleh 10 orang, tapi ternyata yang datang 15 orang.
Setelah check out, ternyata kulkas rusak, dapur berantakan dan entah apalagi.
Akhirnya harus mencari rumah lagi dari awal.
Mbah Jo (sebut saja begitu) yang tadinya mencarikan parkir, dimintai tolong ayah untuk mencarikan  penginapan.
Akhirnya didapat penginapan di rumah penduduk yang satu kamarnya disewakan dengan tarif 250 ribu rupiah semalam.
Sepertinya sekarang sedang digalakkan pariwisata berkelanjutan yang memberi keuntungan ekonomi dan melestarikan tradisi di sekitar lokasi wisata.
Penduduk diberi pelatihan untuk menyediakan kamar dengan fasilitas standar yang bisa disewakan.
Penginapan yang sedang kami tuju, adalah sebuah kamar milik penduduk yang sengaja ditata untuk standar penginapan dan disewakan.
Wisatawan direkomendasikan oleh guide yang sekaligus menyeleksi wisatawan yang akan menginap di kamar yang disewakan penduduk.
Ayah langsung setuju, dan mengajakku ke penginapan.
Lokasinya di pinggir jalan, tapi harus naik ke atas. Lumayan. Sering-sering naik turun bisa membuatku langsing seperti nya. Hihihi
Kamarnya lumayan luas. Ukurannya 3x3 dengan Kamar mandi dan toilet luas dan bersih.
Satu bed besar dengan bed cover bermotif kotak-kotak. Sementara spreinya putih bersih dengan kasur empuk. Dan bantal dengan sarung berlogo wonderful Indonesia.
Ada meja kecil di sudutnya, dengan 2 botol air mineral, dan termos pemanas air, lengkap dengan stop kontak dan colokan 3 lobang.Â
Sementara di sudut lain ada rak kecil yang berisi toples-toples kecil, tisu dan 2 Cangkir cantik lengkap dengan nampannya.
Sayang Aku tidak sempat memfoto karena Hape lowbat dan langsung kucas.
Di ujung bed ada rak besar berisi 2 helai handuk, dan selimut sangat tebal.
Udara di Bromo sangat dingin. Airnya seperti air yang tersimpan di kulkas. Jadi jangan berharap memesan kamar ber AC.
 Yang lebih cocok justru kamar berpemanas. Hehehe..
Sudah kebiasaanku, saat sampai di penginapan, aku pasti langsung mandi dan membersihkan diri.
Alat mandi yang tersedia hanya handuk.
Oke, tidak masalah. Aku kebetulan membawa alat mandi lengkap, termasuk handuk.
Ternyata alat yang dihidupkan adalah alat penyedot air yang semula kukira pemanas airÂ
Di daerah ketinggian Bromo, ternyata air termasuk sulit didapat, karena itu perlu dihemat.
Kamar mandi dengan shower, tak jadi kugunakan, karena alirannya sangat kecilÂ
Jadi harus menampung air dari kran, dan itupun sepertinya hanya diatur dan dibatasi sepenuh ember.
Okelah, meski susah, kita harus berkompromi, sebab di daerah sini memang susah air. Kita harus bijak dan berhemat menggunakan air. Sesuai kebutuhan saja.
Tidak hanya pariwisata berkelanjutan, tapi kita juga harus hemat energi, terutama pemanfaatan air. Aku justru salut, pemilik penginapan menerapkan prinsip rumah hemat energi.
Idealnya memang untuk kamar yang disewakan, sebaiknya air dibebaskan. Tapi ternyata di sini termasuk daerah sulit air.
Sehingga program rumah hemat energi seperti ini memang harus diterapkan untuk menjaga ketersediaan dan sustainability air yang sangat vital untuk kebutuhan sehari-hari.
Selesai mandi, dan membersihkan diri, ayah juga sudah agak relaks. Aku membuka bekal. Nasi lengkap lauk dan sayurnya.
Tadinya mau memanaskan air dulu, tapi ternyata air panas di termos yang kubawa masih maksimal panasnya.Â
Jadi kupakai saja air termos bekal untuk membuat kopi.Â
Kebetulan ada 3 toples berisi kopi bubuk, gula, dan teh celup sebagai fasilitas kamar.
Sebenarnya aku dan ayah jarang sekali ngopi. Tapi tak ada salahnya mencicipi kopi Bromo.
Dua cangkir kopi Bromo yang istimewa menemani honey moon kami dalam wedding anniversary yang ke-27. Eh... hehehe.
Paginya suara lantunan ayat suci membangunkanku yang segera tergopoh -gopoh ke kamar kecil.
 Beruntung tempat urinoirnya lancar saat kutekan airnya menggelontor. Meski sprayernya terlalu lemah, sehingga tidak bisa dipergunakan sebagai mana mestinya.
Ternyata masih pukul 03.07. Belum waktunya adzan subuh , masih waktu tepat untuk shalat malam.
Sampai menjelang subuh, lantunan surat-surat pendek masih menghiasi keheningan pagi hari dari toa masjid. Sepertinya dekat banget karena terdengar keras dan jelasÂ
Sesuatu yang surprise bagiku menyaksikan toleransi di lingkungan Tosari, mengingat penduduk  asli Bromo adalah suku Tengger yang menganut agama Hindu.
Lima atau 10 tahun yang lalu, susah sekali mencari suara adzan untuk menentukan waktu shalat.
Suatu perubahan luar biasa yang mencerminkan kerukunan dan kedamaian saat keyakinan berbeda bisa nyaman hidup berdampingan.
Bahkan paginya Aku lebih kagum lagi, ternyata di sebelah penginapanku adalah mushola.
Begitu pula di sebelah barat yang juga relatif dekat. Ada Lagi masjid.Â
Berasa di kampung sendiri, tidak khawatir telat bangun pagi, karena suara adzan sangat jelas terdengar.
Sekitar pukul 07.55 Aku dan ayah berangkat ke Wonokitri. Berjalan dulu sampai pasar, lanjut ngojek ke pendopo Wonokitri.
Jalannya menanjak, lumayan bisa olahraga pagi dan jalan santai yang tetap saja membuatku ngos-ngosan. Untung hawanya dingin, jadi tidak terlalu menyiksa untuk berjalan di tanjakan. Sehat, bebas polusi kendaraan bermotor.Â
Siangnya ayah mendapat pesan dari Pak Mul untuk membelikan kopi Bromo, lupa tadi malam tidak membeli kopi Bromo.
Kopi Bromo ini merupakan kopi Arabica yang sudah diroasting, tapi belum digiling.
Kopi ini merupakan produk hulu dari Masyarakat Tengger yang diolah oleh industri hilir dengan label kopi Gondosuli. Namanya mirip dengan sebuah tempat di Madiun dekat Taman wisata nangka ijo. Hehehe..
Yuk Bungkus dulu kopinya. Kopi ini bisa dibeli di kafe Awan tengger kalau bermalam di sekitar Polsek Tosari.
Penutup.
Keindahan Bromo semoga selalu terjaga.Â
Tidak hanya alamnya yang lestari,tapi tradisi dan keseharian masyarakat Tengger bisa tetap lestari  juga.
Kehidupan masyarakat Tengger yang menjadi kekayaan budaya dan menambah Keaneragaman Indonesia yang berBhineka Tunggal Ika.
Salam lestari.
Salam wisata.
#pariwisata_berkelanjutan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H