Tidak hanya pariwisata berkelanjutan, tapi kita juga harus hemat energi, terutama pemanfaatan air. Aku justru salut, pemilik penginapan menerapkan prinsip rumah hemat energi.
Idealnya memang untuk kamar yang disewakan, sebaiknya air dibebaskan. Tapi ternyata di sini termasuk daerah sulit air.
Sehingga program rumah hemat energi seperti ini memang harus diterapkan untuk menjaga ketersediaan dan sustainability air yang sangat vital untuk kebutuhan sehari-hari.
Selesai mandi, dan membersihkan diri, ayah juga sudah agak relaks. Aku membuka bekal. Nasi lengkap lauk dan sayurnya.
Tadinya mau memanaskan air dulu, tapi ternyata air panas di termos yang kubawa masih maksimal panasnya.Â
Jadi kupakai saja air termos bekal untuk membuat kopi.Â
Kebetulan ada 3 toples berisi kopi bubuk, gula, dan teh celup sebagai fasilitas kamar.
Sebenarnya aku dan ayah jarang sekali ngopi. Tapi tak ada salahnya mencicipi kopi Bromo.
Dua cangkir kopi Bromo yang istimewa menemani honey moon kami dalam wedding anniversary yang ke-27. Eh... hehehe.
Paginya suara lantunan ayat suci membangunkanku yang segera tergopoh -gopoh ke kamar kecil.
 Beruntung tempat urinoirnya lancar saat kutekan airnya menggelontor. Meski sprayernya terlalu lemah, sehingga tidak bisa dipergunakan sebagai mana mestinya.
Ternyata masih pukul 03.07. Belum waktunya adzan subuh , masih waktu tepat untuk shalat malam.
Sampai menjelang subuh, lantunan surat-surat pendek masih menghiasi keheningan pagi hari dari toa masjid. Sepertinya dekat banget karena terdengar keras dan jelasÂ
Sesuatu yang surprise bagiku menyaksikan toleransi di lingkungan Tosari, mengingat penduduk  asli Bromo adalah suku Tengger yang menganut agama Hindu.