Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Hati Seorang Guru

27 November 2023   09:29 Diperbarui: 28 November 2023   05:32 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suara Hati Seorang Guru (dokpri)

"Itu berdua-duaan di kantin. Padahal ini jam pelajaran efektif!" Suara Bu Murni, sejawatku terdengar jengkel 

"Siapa,Bu?" Tanyaku tak bisa menyembunyikan pertanyaan yang muncul di benakku.

" Itu, anakku. Kelas XII IPA1. Nggak tahu matpelnya siapa, kok bisa-bisanya malah di kantin. Pacaran lagi!" Kali ini dia melirikku sinis. Bu Murni menyebut anakku, itu artinya kelas tempat beliau menjadi wali kelas.

Ya, Allah. Itu kelasku. Tadi kuberi tugas dan kutinggal sebentar. Ternyata ada yang bandel dan keluar kelas. 

Kalau hal ini terjadi saat aku masih muda dahulu, pasti sudah kudatangi dan kujotos. Saat-saat  awal menjadi guru 35 tahun yang lalu, darah mudaku gampang mendidih menghadapi siswa yang terkesan kurang ajar dan melecehkan seperti itu, kesabaran ku langsung terbang.

Tapi ini sudah beda masa. Semua memanjakan siswa. Pendidikan berorientasi pada siswa. Pendidikan harus mengakomodasi keinginan siswa. Pendidikan harus berpihak pada siswa. Kalau itu kulakukan, bisa-bisa aku harus berurusan dengan yang berwajib.

 Banyak sejawatku yang menjadi korban di era pendidikan merdeka  sekarang ini. 

Diketapel sampai hancur matanya oleh wali murid. Bahkan ada yang dibacok siswanya. Entah siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi kasus yang menimpa guru seperti itu. Resiko pekerjaan ???

Gegas aku ke kelas. Benar saja, ada satu bangku yang kosong. Ini pasti anak itu. Kusabarkan hati dan kuurai tanganku yang sudah terkepal.

Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus memberikan pelajaran yang tepat untuk siswaku yang satu ini.

"Pak, kemarin ada wali murid yang telepon saya, curhat kalau anaknya dimarahi Pak Hadjar," Bu Nana berkata padaku.

"Orang tuanya Si Boy?" Boy adalah siswa yang kumarahi karena keluar saat jam pelajaranku dan malah asyik di kantin bersama pacarnya.

"Iya, Pak. Ayahnya sudah lama meninggal. Dan ibunya yang single parents juga mengidap penyakit berbahaya yang tidak bisa disembuhkan!"

"Terus minta dimaafkan dan dimengerti?"

"Kira-kira begitu!"

"Aneh! 

Bukannya anak-anak seperti itu harusnya dididik disiplin dan tanggung jawab, bukan malah dikasihani dan ditoleransi?" 

Apakah aku guru yang kurang empati karena memarahi siswa yang kurang beruntung?

Mungkin eranya begitu. Membingungkan dan tak jelas. Mau dibawa ke mana sebenarnya  pendidikan sekarang?

Hari ini kembali kesabaranku diuji. Anak-anak yang kuberi tugas untuk diselesaikan di rumah, hari ini hampir tidak ada yang mengerjakan.

Emosiku terpancing. Padahal itu bahan materi hari ini. Kalau tugas yang kuberikan dikerjakan, mestinya hari ini mereka sudah siap menerima materi pelajaran. Tapi kalau belum, agak sulit karena materinya butuh pemahaman mendalam.

Ingin rasanya kurobek-robek halaman kosong yang mereka buka karena tugas yang diberikan tidak dikerjakan.

Ahaiii..kenapa Aku jadi emosi?". Mungkin sebaiknya kutinggal saja kalau begitu.

 Bukan karena ego dan mau menang sendiri, mentang-mentang jadi guru. Tapi ini sekedar shock terapy, sambil ingin kulihat, apa yang akan mereka lakukan.

Kutinggal pulang. Bukan lepas tanggung jawab, tapi ini bagian dari ide pembelajaranku. Pembelajaran merdeka, guru juga boleh berimprovisasi kan? 

"Kalau anak-anak melanggar peraturan, ya diingatkan. Diberi konsekuensi."

"Tapi jangan dimarahi dengan emosi. Mungkin anak-anak bersalah, tapi jangan ditanggapi dengan ego."

"Coba diajak diskusi, keinginan sebenarnya bagaimana, maunya gimana, siap nggak menanggung konsekuensinya, apakah siap mempertanggung jawabkan perbuatannya.

"Sudah begitu saja. Jangan memaksakan kehendak pada siswa!" Itu bagian guru. Selanjutnya biar menjadi bagian orang tua. Mau diarahkan ke mana putra-putrinya sesuai nilai yang dianut keluarga masing-masing".

Begitu jawab istriku kalau aku curhat tentang perilaku siswa. Membuatku semakin pusing. Aku tak bisa membiarkan perilaku siswa yang menurut ku salah. Pasti akan kutegur.

Tapi ada baiknya membiarkan siswa bertindak sesuai keinginannya. Toh nantinya, masa depan  mereka juga menjadi tanggung jawab nya sendiri. Begitu biasanya yang dilakukan banyak sejawatku. Untuk apa mengkhawatirkan mereka, jika mereka sendiri lebih suka bertindak semaunya.

Hari ini beberapa siswa menghadapku.

Mereka meminta maaf atas kejadian kemarin dan berjanji akan mengikuti pembelajaran dengan baik. 

Latar belakang mereka memang banyak dari keluarga yang kurang beruntung, tapi itu bukan alasan untuk minta ditoleransi. 

Justru mereka harus lebih tangguh dalam mempersiapkan masa depan dan belajar sungguh-sungguh. Bukan malah minta dimanja dan cengeng.

Aku bersyukur mereka mau meminta maaf dan mengakui kesalahan dengan jantan. Membuatku luluh dan kembali bersemangat mengajar.

Entah ada yang mengarahkan atau tidak. Aku memang membiarkan saja. Mereka sudah duduk di kelas terakhir. Sudah harus paham ke mana akan meniti masa depannya, dan bagaimana bertindak menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Beruntung mereka bertindak benar, tidak justru dendam dan membuat kerusakan.

Semoga semua siswaku survival menghadapi jaman yang semakin tidak karuan.

Pengabdianku sudah di ujung batas. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk menempa para siswa,anak didik ku.

Aku memang sangat peduli pada nilai moral dan etika siswaku di saat sekarang semua serba bebas dan nyaris tanpa norma.

Aku merasa terlalu tua untuk mengikuti perkembangan jaman yang kian tak terbatas

Mungkin aku memang tidak boleh memaksakan kehendak kepada siswa, tapi bukankah pendidikan yang sudah lama berjalan sudah kelihatan hasilnya?

Banyak siswa-siswaku yang menduduki jabatan penting dan tetap hormat dan menghargai gurunya.

Lalu, apakah pendidikan merdeka akan menghasilkan manusia yang berkualitas lebih baik?

Mungkin harus ditunggu 10-20 tahun ke depan......

Entahlah, bagaimana suara hati guru yang lain, aku tak tahu.

Ini suara hati guru yang sudah mengabdi di ujung batas. Bisa jadi generasi selanjutnya yang lebih tepat melanjutkan perjuangan yang kian berat dan beragam.

#Selamat hari guru nasional 2023. Semoga Guru semakin tabah dan trampil mengikuti perkembangan anak didik 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun