Cemoe di Warung Tahu Telor. Minuman Manis Berasa Opor.
Maksudnya?
Minuman apa masakan? Masak minuman berasa opor?
"Sebentar, dengar dulu penjelasanku, sayaaang...!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kamu sungguh terlalu. Dibelikan cemoe dibilang opor. Cukup! Kamu telah mengecewakanku!"
Eh, kok malah main drama sih. Hihihi...
Terkadang aku sering keliru membedakan antara cemoe dan ronde. Padahal sangat berbeda. Sebab kuah ronde itu air jahe bening manis tanpa santan.Â
Sedang cemoe, kuah jahe bersantan cukup kental dengan rasa gurih, jahe dan manis. Bahkan rasa gurihnya begitu nendang sebab terakhir ditaburi brambang goreng.Â
Nggak salah kan kalau aku bilang berasa opor?Â
Mencicipi  cemoe memang membawa ingatanku pada rasa kuah opor. Mirip. Cuma isinya yang beda.Â
Kalau opor berisi daging ayam, wedang cemoe berisi roti tawar, kolang kaling dan kacang bawang. Tapi sama-sama ditaburi brambang goreng yang menimbulkan sensasi khas masakan. Jadi jangan salahkan aku ya, kalau menganggap wedang cemoe seperti opor manis. Hehehe..Â
Sebenarnya aku mengenal cemoe sudah sejak lama. Mungkin cemoe adalah pangan lokal atau kuliner khas daerah yang tidak ditemui di daerah lain.
Meski berupa minuman, kuliner ini mengenyangkan, sebab pakai isian roti tawar.
Di dekat tempat tinggal ku,wedang cemoe bisa ditemukan di warung yang juga menjual lontong tahu telor.Â
Dulu, saat aku masih mengontrak rumah, warung ini berada tak jauh dari rumah kontrakan. Cukup jalan kaki beberapa menit sudah sampai.Â
Warung ini juga merupakan warung berjasa bagiku, karena menjadi solusi untuk menjamu tamu tanpa repot memasak.Â
Bagaimana ceritanya jadi warung berjasa?
Ceritanya saat itu kedatangan kakak sulung suami, malam-malam. Agak bingung mau masak apa, tidak ada persediaan.Â
Beruntung  beliau orang baik. Mengajak kami keluar cari makan. Bahkan berjanji akan mentraktir. Tapi jangan makan yang lauknya ikan, ayam apalagi daging. Sebab, sebagai orang kota beliau sudah bosan makanan seperti itu. Inginnya makanan yang ndeso.Â
Kutawari nasi pecel lauk tempe atau rempeyek, bilangnya juga sudah bosan. Sebab setiap ke Madiun selalu nasi pecel yang dibelinya.Â
Setelah Aku tawarkan tahu telor, ternyata setuju. Okelah, kita jalan kaki ramai-ramai bersama kakak ipar, suami dan anak-anak untuk menikmati tahu telor di situ.Â
Itulah, mengapa warung ini kuanggap warung berjasa.Â
Saat itu, warung ini masih berupa tenda yang didirikan di atas trotoar, dan berjualan hanya dari sore sampai malam hari.Â
Lokasinya di jalan raya Madiun-Ponorogo. Tepatnya di timur kantor pegadaian Dolopo, agak ke Utara sedikit.
Kali ini, setelah puluhan tahun berlalu, aku kaget sekaligus ikut senang dengan perkembangannya.Â
Warung ini kini menempati rumah di pinggir jalan yang cukup lapang dan luas.Â
Aku tak tahu tepatnya, apa nama warung ini.
Berhubung tulisannya "Sugeng rawuh". Sebut saja warung sugeng rawuh. Hihihi...Â
Dua porsi tahu telor pakai lontong, teh tawar hangat, dan wedang jeruk menemani kami makan.Â
Selesai makan, suamiku berdiri dan mendekati Bu Tatik, katakanlah namanya begitu(bukan nama sebenarnya)Â
"Sudah, Bu!Â
" Ya, Pak! Dua tahu telor 20 ribu.Â
"Minumnya jeruk panas sama teh tawar!"
"Teh tawar nya nggak usah, Pak. Jeruk panasnya 4 ribu.!
"Waduh, terimakasih. Terus tambah kerupuk 6!"
"Semuanya tigapuluh ribu, Pak!"
Ayah merogoh kantong baju kokonya, kantong celana, kantong Hape....
"Dek...! Sini!"
Aku yang masih duduk segera beranjak menghampiri ayah.
"Dompetku ketinggalan!"
"Lha Aku juga nggak bawa dompet!" Jawabku.
 Ayah membelalakkan mata. Kebingungan campur malu.
"Tapi tetap bawa uang!" Kataku sambil tersenyum. Hehehe....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H