Mohon tunggu...
Kelana Swandani
Kelana Swandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tiada Maaf Bagimu!

29 April 2023   18:17 Diperbarui: 29 April 2023   18:20 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mohon maaf lahir dan batin. Idulfitri 2023, 1 syawal 1444 H (dokpri) 

Pernah berpikir seperti itu? 

Atau malah sudah tercetus? 

Kalau saya sepertinya belum pernah! 

Apalagi pada Idulfitri 2023 ini, salah nggak salah, saya meminta maaf dan memaafkan. Hehehe.. 

Saya memang tidak suka memasukkan ke hati kata-kata yang toksik. 

Tidak juga membenci orang yang toksik. 

Apalagi seiring umur, tentulah kedewasaan emosi semakin mendorong kita untuk berpikir dan bertindak bijaksana. 

Ego mungkin sudah terkendalikan. 

Perasaan sudah lebih mudah memahami. 

Kebijaksanaan sudah lebih matang. 

Tidak lagi memandang sesuatu secara lahiriah semata, tapi lebih pada kedalaman pikiran dan rasa. 

Sebaiknya cerita mudik diisi dengan kesucian hati dan bermaaf-maafan. Tidak elok rasanya menyimpan dendam dan membawa sakit hati. 

Semoga hati ini terbebas dari sakit hati dan bersih suci. 

Apakah saya pernah tersinggung? 

Sering! 

Apakah saya pernah merasa tersakiti? 

Sering! 

Apakah saya sering merasa sebal pada seseorang? 

Sering! 

Waduh.... 

Intinya memang bukan seberapa sering dan seberapa menusuk hati, tapi bagaimana kita mengendalikan rasa tersinggung, rasa tersakiti, dan rasa sebal pada orang lain. 

Pernah saya sangat sebal, jengkel, tersinggung, terluka dan semua perasaan tak nyaman yang disebabkan seseorang. 

Apakah itu membuat saya benci setengah mati? 

Iya sih. Hehehe. 

Tapi saat emosi dan kemarahan mereda, perasaan saya justru berubah jadi kasihan. 

-Bagaimana bisa ada orang seburuk itu? 

-Bagaimana bisa ada orang yang memandang rendah dan melecehkan martabat orang lain, padahal dalam pandangan saya, dia jauh lebih buruk. 

-Saat berusaha mengingat si "big enemy" itu justru berakhir dengan istighfar dari mulut saya. 

Bagaimana bisa dalam pandangan saya orang itu justru penuh cela dan kekurangan, tanpa ada kebaikannya. 

Astaghfirullah! 

Kalau sudah sampai tahap itu, maka saya harus segera sadar. Justru ego, pikiran dan nalar saya yang sedang berada di titik terburuk. 

Adakah orang yang hanya mempunyai keburukan tanpa kebaikan? 

Kalau kita menganggap ada, sepertinya justru hati kita yang sedang sakit. 

Semakin bertambah usia, dan berkurang jatah umur, semakin dalam perenungan saya. 

Ada sebuah hadis yang saya ingat dan saya baca detailnya :

Dari hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda :

"Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. 

Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. 

Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya.

Bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai."

 [HR. At-Tirmidzi no.1997 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178]

Begitulah. 

Memaafkan orang lain bagi saya adalah perkara mudah. 

Tapi pandangan saya pada orang lain yang membuat saya susah memaafkan mungkin tidak bisa diubah. 

Misalnya ada orang yang kasar dan merendahkan saya. Mungkin saya tidak sakit hati dan memaafkan keburukan akhlaknya. 

Tapi saya akan selalu berpikir kalau orang itu kasar dan tak layak dijadikan teman karena kerendahan akhlaknya. 

Kalau sekedar kenal sih nggak masalah. 

Pernah juga, kenal dekat orang yang sombong. Menganggap dirinya hebat, dan berusaha mencari-cari kekurangan dan keburukan saya dan suami saya. 

Sepertinya kalau saya dan suami berbuat hal yang dianggapnya buruk dan salah, dia bahagia banget. 

Mungkin dia tidak sadar, saat dia berlaku seperti itu, orang juga bisa berlaku yang sama. 

Bahkan tanpa dicari-cari, keburukan akhlaknya justru terpampang nyata tanpa dikulik karena perilakunya sendiri. 

Saya jengkel? 

Iya, sih. Sebal dan mual. Apalagi tidak ada kelebihan pada dirinya yang bisa dilihat. Eh... Astaghfirullah! Tuh kan jadi ketularan. 

Ah, sekarang saya selalu berusaha melihat kebaikan-kebaikannya. 

Tapi jujur, agak susah. Justru kekasaran ucapannya dan keburukan perilakunya yang selalu terbayang. 

Akhirnya saya mengabaikannya, dan berusaha agar tidak pernah bertemu lagi dengannya. 

Mungkin itu kompromi terbaik untuk saat ini. Sebab setiap bertemu, maka saya harus berpura-pura ramah dan tersenyum. 

Itu sudah maksimal. Kalau untuk mengajak bicara, sepertinya mending mlipir. Eh.. 

Benci sih tidak. Cuma tidak suka saja. Mungkin juga karena prinsip dan gaya hidup yang berbeda. 

Saya malas bicara dengan orang yang congkak dan sombong. Apalagi jika kenyataannya memprihatinkan, tidak sesuai yang diomongkan. 

Begitu juga dengan orang-orang toksik yang biasa berprasangka buruk. 

Orang-orang yang memaksa orang mengikuti jalan pikirannya. 

Orang-orang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. 

Lebih baik dihindari. 

Go away from my life! 

Tiada maaf bagimu! Eh... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun