Marhaban ya Ramadan.
Ramadan ya karim.
Ramadan adalah bulan penuh ampunan.
Ramadan adalah bulan penuh berkah.
Ramadan adalah bulan penuh amal Sholeh.
Begitu banyak, bahkan mungkin semua dari kita yang muslim begitu mengagungkan bulan Ramadan.
Salah satu hadis menjelaskan pembagian keutamaan bulan Ramadan menjadi tiga, yaitu :
1. sepuluh hari pertama rahmat,
2. sepuluh hari kedua adalah ampunan, dan
3. sepuluh hari ketiganya adalah terbebas dari api neraka.
Meski begitu, Ramadan bukanlah alasan untuk meminta privilese.
Aktifitas sehari-hari seyogyanya berjalan seperti biasa.
Kecuali hal-hal yang membatalkan puasa, tidak boleh dilakukan. Justru amalan yang banyak menuai pahala harus ditambah.
Tadarus dan shalat tarawih dilaksanakan di malam Ramadan.
Amal sedekah juga lebih diperbanyak.
Bus AKAP itu melaju dengan kecepatan sedang.
Saya menjadi salah seorang penumpangnya. Perjalanan ke purworejo memakan waktu sekitar 7-10 jam.
Jarak Madiun (Jawa Timur) dan Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia adalah 239 km, atau 148 mil.
Biasanya saya ganti bus di Yogyakarta.
Madiun-Yogyakarta sekitar 5 jam.
Sedang Yogyakarta-Purworejo sekitar 2 jam.
Itu estimasi waktu jika perjalanan lancar, dan tidak rehat untuk ishoma.
Perjalanan kali ini istimewa, karena saat ini sudah memasuki bulan Ramadan.
Meski bagi saya, menempuh perjalanan selama 7-10 jam itu hal biasa, dan tidak perlu membatalkan puasa, tapi saya mencoba berselancar di internet untuk mengetahui hukum musafir di saat Ramadan.
Musafir diperbolehkan untuk membatalkan puasa.
Siapa yang disebut Musafir?
Dalam KBBI, kata “musafir” diartikan sebagai:
-orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih)
- pengembara.
Dalam pandangan hukum Islam, musafir adalah seseorang yang bepergian untuk mencapai tujuan tertentu dengan jarak perjalanannya tidak kurang dari 85 km.
Menurut Imam Syafii, jarak minimal musafir boleh tidak berpuasa adalah 83 kilometer.
Seorang musafir juga tidak memiliki rencana menetap di daerah tersebut selama lebih dari 4 hari.
Seorang musafir mempunyai privilese atau rukshah (keringanan), antara lain :
1. Meringkas (mengqashar) sholat
2. Menjama (mengqada') sholat
3. Berwudhu dengan hanya menyapu muzah, khuf atau sepatu.
4. Meninggalkan sholat Jumat, lalu menggantinya dengan sholat dhuhur seperti biasa.
5. Berbuka puasa atau membatalkan puasa wajib ketika Ramadhan
6. Sholat di atas kendaraan.
Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak mau membatalkan puasa dan tidak mau mengqashar shalatnya meski jadi musafir?
Coba perhatikan hadis berikut.
Dalam hadits lainnya, Aisyah berkata:
“Aku pernah keluar melakukan ibadah umrah bersama dengan Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan,
"beliau, Rasulullah SAW berbuka dan aku tetap melaksanakan puasa,"
"beliau Rasulullah SAW mengqashar shalat sedangkan aku tidak."
Maka aku berkata:
"Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku,"
"Anda berbuka puasa dan aku berpuasa, Anda mengqashar sedangkan aku tidak."
Beliau menjawab:"kamu baik, wahai Aisyah" (HR. Al-Daruquthuny)
Jadi bisa disimpulkan bahwa keringanan berbuka puasa tidak harus diambil.
Kebetulan, saya dan saudara-saudara saya melakukan perjalanan jauh semua untuk sampai ke rumah di Purworejo, tapi tidak ada yang membatalkan puasa.
Alhamdulillah, berkah tak terhingga kami bisa bersilaturahmi dan bukber bersama setelah menempuh perjalanan jauh tanpa membatalkan puasa.
"Buka.. Buka..! Kata adek saya yang baru datang dari Bandung. Membawakan kopyor untuk berbuka.
Saya juga sudah masak nasi lengkap dengan sayur dan lauknya.
Sementara adek saya baru datang dari Semarang saat adzan maghrib berkumandang.
Sungguh ini adalah buka puasa istimewa saat kami bersaudara bisa berkumpul semua.
Ramadan adalah bulan istimewa dan penuh berkah.
Terima kasih.
Selamat berbuka puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H