Menjelang Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili, di Madiun diadakan Festival Kuliner Kampung Pecinan, Madiun. Acara yang dibuka oleh Wali kota Madiun, Maidi ini diadakan di jalan Barito yang terkenal sebagai gang tengah.Â
Acara yang digelar mulai hari Kamis, 19 Januari 2023 ini ditujukan untuk wisata kuliner beragam jajanan khas Madiun seperti bumbu pecel, brem, madu mongso, bluder, dll.Â
Sabtu sore, Saya berniat jalan-jalan dan berwisata kuliner di Festival kuliner kampung Pecinan, yang sudah dibuka sejak kamis ( 19/1/2023).
Cuaca mendung, tapi saya nekad pergi berboncengan suami. Sempat terhadang hujan, akhirnya berhenti sejenak sekalian menunaikan shalat maghrib.Â
Sehabis maghrib, cuaca sedikit terang dengan segaris warna merah di langit barat.Â
"Ayo lanjut, " Kata suami saya.Â
Ternyata halangan masih harus kami hadapi saat sampai di Jalan cokro. Sepeda motor seperti oleng, kemungkinan besar bocor halus. Akhirnya kami diberi tahu tempat tambal di depan Pasar Gede.Â
Beruntung kebocoran tidak parah, bisa ditambal dengan harga murah dan mudah, motor bisa dipakai kembali.Â
Akhirnya jadi juga kami meluncur ke Jalan Barito, yang lokasinya kurang lebih di belakang Klenteng Hwie Ing Kiong.Â
Jalan Barito di Kelurahan Pandean Kecamatan Taman Kota Madiun dulunya merupakan salah satu pemukiman warga Tionghoa. Tepatnya, saat era Kolonial Belanda.Â
Menurut Septian Dwita Kharisma Ketua Pegiat Sejarah Historia van Madiun, pada saat itu, warga Tionghoa dipusatkan di suatu daerah dan dilarang berpindah tempat  tanpa ijin yang dikeluarkan pemerintah Belanda. Kebijakan itu dinamai wijkenstelsel.Â
Atas kebijakan wijkenstelsel inilah, kemudian timbul kampung Pecinan.Â
Tujuan pembentukan Kampung Pecinan oleh pemerintah Belanda untuk memudahkan pengawasan terhadap pergerakan warga Tionghoa. Tidak hanya di Madiun, tapi di seluruh Indonesia.
Hal ini juga dimaksudkan agar warga Thionghoa tidak bisa berbaur dengan pribumi.Â
Total warga yang tinggal di kawasan Pecinan Kota Madiun itu secara umum di tahun 1845 sekitar 527 jiwa.
 Tapi ketika Kota Praja Madiun dibentuk pada 20 Juni 1918, jumlah warga Tionghoa di Kota Madiun mencapai 3.100 jiwa.
 Pecinan itu ada sampai saat ini. Dan seiring berkembangnya zaman, orang pribumi dan Tionghoa mulai membaur sehingga istilah pecinan mulai pudar.
Sampai saat ini, saya bisa menyaksikan sendiri, warga Madiun berduyun-duyun mengunjungi Festival Kuliner Kampung Pecinan ini, tidak terbatas warga Tionghoa saja. Tapi seluruh lapisan masyarakat.Â
Setelah memarkir motor, saya dan suami segera menyambangi lapak-lapak kuliner khas Madiun.Â
Paling ujung, ada panggung seni dengan Amoy yang sedang bernyanyi. Tapi lagu-lagunya bukan lagu Mandarin. Lagu yang dibawakan adalah lagu pop.Â
Lapak pertama adalah nasi liwet dan nasi bakmoy halal. Tapi kami melewatkannya, sebab masih ingin melihat-lihat lapak lain.Â
Ada juga lapak warung kopi yang secara alami sudah ada di situ sejak lama. Tapi diperbolehkan membuka warung seperti biasanya. Cuma tempatnya agak gelap dan mepet atau malah di atas trotoar, tapi saya foto, hasilnya kurang jelas.Â
Berhenti di penjual dimsum, ternyata macamnya banyak. Bukan dimsum saja, malah ada topoki, dan makanan lain seperti otak-otak, dan yang dibentuk mirip sushi.Â
Saya agak galfok. Ini makanan korea atau Chinese food. Apa malah Jepang?Â
Daripada penasaran, saya beli saja. Ternyata harganya tidak murah. Jajanan sekecil itu harganya 5 ribu/biji. Ada juga yang 4 ribu, 3 ribu, 2 ribu dan seribu. Tinggal pilih.Â
Sayapun memilih beberapa, ternyata habis 30 ribu. Ya sudah, meski mahal gapapa. Pengin tahu rasanya saja.Â
Jalan-jalan berlanjut. Suami saya tertarik pada cara bikang. Ternyata kue tradisional ini enak dimakan hangat-hangat. Harganya cukup murah, 5 ribu dapat 3 biji. Yang jual para amoy, hihihi..Â
Sebenarnya saya menginginkan makanan tradisional dan Chinese food halal. Tapi sepertinya yang dijual masih bermacam-macam dan belum terpola. Sepertinya justru jajanan modern yang saya kurang tahu yang ada. Juga aneka minuman.Â
Ada juga sate ayam. Sate tahu. Tapi harganya lumayan mahal. Bahkan ada yang jual rambutan. Ada lumpia juga sih, sama pangsit goreng. Mungkin keberagaman dan makanan tradisional, atau Chinese food kalau memang ditujukan sebagai Festival kuliner pecinan, perlu diperbanyak.Â
Ada juga takoyaki, nyang setahu saya kuliner Jepang kesukaan Dora emon. Eh..Â
Saya menyempatkan membeli minuman segar karena haus. Harganya serba 10 ribuan.Â
Saya pilih original saja, chocolate drink. Suami saya memilih tiramisu Chocolatte Mirip-miriplah.Â
Akhirnya perjalanan sampai ke ujung. Cumi bakar. Gurita mungkin, karena berukuran besar. Atau sotong.Â
Tapi judulnya cumi bakar. Aroma bakarnya begitu menggoda, tapi rasanya hambar, seperti tidak dibumbu. Jadi sampai rumah cumi bakarnya malah saya permak jadi cumi lombok ijo. Eh..Â
Cuminya tinggal yang besar, harga 45 ribu dan 60 ribu satu tusuk, berisi seekor cumi besar yang dipotong-potong.Â
Hujan mulai reda. Lapak banyak yang tutup karena hujan. Tapi hujan banyak yang menunggu. Pak tani yang butuh perairan untuk sawahnya, daerah yang kekeringan saat kemarau, dan semua butuh air. Semoga hujan membawa berkah sesuai yang dibutuhkan umat manusia. Bukan hujan yang berlebihan dan membuat banjir.Â
Siap mengunjungi spot kuliner yang banyak terdapat di Madiun.Â
Selamat tahun baru imlek bagi yang merayakan.
Semoga tahun depan lebih baik dari sekarang, dan semua selalu diberi kesehatan. Aamiin...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H