Menurut Septian Dwita Kharisma Ketua Pegiat Sejarah Historia van Madiun, pada saat itu, warga Tionghoa dipusatkan di suatu daerah dan dilarang berpindah tempat  tanpa ijin yang dikeluarkan pemerintah Belanda. Kebijakan itu dinamai wijkenstelsel.Â
Atas kebijakan wijkenstelsel inilah, kemudian timbul kampung Pecinan.Â
Tujuan pembentukan Kampung Pecinan oleh pemerintah Belanda untuk memudahkan pengawasan terhadap pergerakan warga Tionghoa. Tidak hanya di Madiun, tapi di seluruh Indonesia.
Hal ini juga dimaksudkan agar warga Thionghoa tidak bisa berbaur dengan pribumi.Â
Total warga yang tinggal di kawasan Pecinan Kota Madiun itu secara umum di tahun 1845 sekitar 527 jiwa.
 Tapi ketika Kota Praja Madiun dibentuk pada 20 Juni 1918, jumlah warga Tionghoa di Kota Madiun mencapai 3.100 jiwa.
 Pecinan itu ada sampai saat ini. Dan seiring berkembangnya zaman, orang pribumi dan Tionghoa mulai membaur sehingga istilah pecinan mulai pudar.
Sampai saat ini, saya bisa menyaksikan sendiri, warga Madiun berduyun-duyun mengunjungi Festival Kuliner Kampung Pecinan ini, tidak terbatas warga Tionghoa saja. Tapi seluruh lapisan masyarakat.Â
Setelah memarkir motor, saya dan suami segera menyambangi lapak-lapak kuliner khas Madiun.Â
Paling ujung, ada panggung seni dengan Amoy yang sedang bernyanyi. Tapi lagu-lagunya bukan lagu Mandarin. Lagu yang dibawakan adalah lagu pop.Â