"Perokok nggak pensiun Bu, tapi cari yang murah! "Â
Jawab teman saya yang baru saja membaca judul artikel saya.Â
"Hehehe!"... Saya ikut ketawa.Â
Dalam sebungkus rokok terdapat gambar perokok yang lehernya bolong. Mirip sundel bolong, tapi yang bolong lehernya. Eh...Â
Apakah ilustrasi perokok yang mengerikan itu menurunkan jumlah perokok?Â
Mungkin iya, tapi sepertinya tidak signifikan.Â
Ada beberapa anekdot merokok :
1. Seorang kakek tua sedang asyik merokok. Kemudian datang seorang pemuda yang tidak merokok.Â
"Mbah, apa tidak takut mati? Sudah sepuh kok masih kecanduan rokok! "
"Kalau mati ya disulut lagi, " Kata sang kakek kalem (#@$*&)Â
2. Seorang dokter menghadapi pasiennya yang menderita TBC kronis, tapi tidak bersedia berhenti merokok. Karena itu dilakukan pendekatan lain, bukan dari segi kesehatan.Â
Dokter : Bapak sudah berapa lama merokok?Â
Pasien : Sejak saya kelas 5 SD Dok! "
Dokter : Sekarang umur bapak berapa  tahun?Â
Pasien : 41 tahun, Dok! "
Dokter : Berarti Bapak sudah kira-kira 30 tahun merokok. Bapak lihat mobil mewah di halaman tempat praktek saya? Kalau Bapak tidak merokok, bisa jadi mobil itu sudah menjadi milik anda, cash! "
Pasien : "Tapi Dok... "
Dokter : Bapak lihat bangunan hotel bertingkat yang bisa kita lihat dari sini? Kalau bapak tidak merokok, bisa jadi hotel itu sudah menjadi milik bapak! "
Pasien : Tapi Dok, mobil dan hotel itu memang milik saya! "
Dokter : ??!!Â
Kedua anekdot itu sekedar lelucon. Tentunya merokok tidak baik untuk kesehatan tubuh dan kesehatan kantong.Â
Namun, berhenti merokok bukan perkara mudah. Bagi perokok, merokok sama pentingnya dengan makan dan minum. Bisa jadi malah mereka memilih tidak makan dan minum daripada disuruh berhenti merokok.Â
Bagi perokok berat, sehari tanpa rokok mungkin bisa jadi siksaan dan menimbulkan penyakit psikosomatik.Â
Bisa berupa kepala pusing, emosi tak terkendali dan bahkan mungkin tubuh terasa lemas.Â
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2023 dan 2024 sebesar 10%. Menurutnya pemerintah perlu mengendalikan konsumsi rokok.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dalam menentukan kebijakan cukai ada empat aspek yang diperhatikan yaitu :Â
1. Aspek konsumsi dan kesehatan.
Aspek konsumsi yang memiliki kaitan dengan kesehatan. Saat konsumsi (rokok) makin naik, maka akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan Dunia.
2. Aspek Kepatuhan Hukum
Di sisi lain Saat Cukai Hasil Tembakau (CHT) naik, para pengusaha rokok menyampaikan keresahannya terkait peredaran rokok ilegal.
Suahasil menyebut, hal itu terkait dengan aspek kepatuhan Hukum.
3. Aspek Produksi dan Penerimaan Negara.Â
Pemerintah akan memastikan adanya balance atau keseimbangan di antara aspek iniÂ
4. Penyerapan Tenaga KerjaÂ
Suahasil menyebut produsen rokok atau Industri Hasil Tembakau (IHT) erat kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja.Â
Ia menyebut perlu melakukan mitigasi berkelanjutan atas kebijakan yang berpotensi mendorong hasil tembakau ilegal.
Persoalan cukai memang tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja.Â
Terdapat keterkaitan yang rumit antara bahaya rokok bagi kesehatan, kepatuhan Hukum, penerimaan negara dan keterserapan tenaga kerja.Â
Ketika keterkaitan ini memberikan efek berlawanan, tentunya dibutuhkan suatu kebijakan yang saling menguntungkan, di mana aspek kesehatan tetap diprioritaskan, tapi aspek lain juga tidak dirugikan.Â
Mungkinkah?Â
Dari pertimbangan keempat aspek itu diharapkan terjadi hal yang positif. Antara lain :
1. Meski dalam prosentase kecil, diharapkan kenaikan cukai yang otomatis meningkatkan harga rokok, akan mengurangi konsumsi rokok. Paling tidak perokok didorong untuk mengerem dan mengendalikan hasrat merokoknya, sehingga bisa meningkatkan taraf kesehatan.Â
2. Kenaikan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Tentunya ini tidak terlepas dari pengawasan rokok ilegal, agar Cukai Hasil Tembakau tetap masuk dalam penerimaan negara.Â
3. Negara harus berani menjamin kepastian dan kepatuhan Hukum,agar produsen mendapat keyakinan perlindungan produksi tanpa dirugikan oleh peredaran rokok ilegal.Â
4. Kenaikan harga rokok akan memicu gairah produksi pabrik rokok, sehingga keterserapan tenaga kerja akan tinggi. Ini akan menciptakan lapangan kerja bagi banyak tenaga kerja yang masih menganggur.Â
Terlepas dari upaya negara melakukan mitigasi untuk membendung rokok ilegal, kita bisa memulai dari diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar untuk membudayakan perilaku "no smoking".
Kita tuntun anak-anak kita untuk menjauhi budaya merokok sebelum kecanduan.Â
Are You ready?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H