Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Jalan kaki 400 m Mampir Warung Sate Gule, Njuk Piye?

16 Oktober 2022   14:00 Diperbarui: 19 Oktober 2022   15:29 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sate gule kambing 400 m.

Jam di gawaiku menayangkan angka 10.02. Tak heran perut sudah meronta-ronta minta diisi. 

Sebenarnya sudah sejak pukul 06.03 saya dan suami berniat cari sarapan, sekalian dolan. Tapi karena suami malah sibuk manasin mobil dan ngelap mobil yang sebenarnya tidak kotor, jam 06.47 kami baru bisa berangkat. 

Itupun karena aku memaksa berboncengan naik motor saja, sebab aku belum hafal medan yang akan ditempuh, kalau nanti medannya berat, aku bisa-bisa malah disemprot suami. 

Benar saja, ternyata jalannya sempit, meski sudah beraspal. Sampai di lokasi, sempat nyasar, karena aku cuma menemukan tempat tujuan dari Google map. Itupun GPS tidak ku hidupkan. 

Berhubung tempatnya mengasyikkan dan juga asyik ngobrol dengan pengelolanya, jadilah kami telat sarapan. 

Jam 10 baru selesai mengunjungi Brumbun. Embrio Desa Wisata Dalam Geliat Keterbatasan.  Tapi rahasia ya, biar surprise kalau suatu saat kutulis, hehehe... 

Suamiku sudah kelaparan, kuajak saja cari Warung sate gule kesukaannya. Kebetulan aku pernah baca di grup lokal, di sekitar sini ada sate gule yang rekomended. 

Sampailah di tulisan yang terdapat di pinggir jalan itu, sate gule 400 m. 

"Duluan saja, Mas. Aku nyusul jalan kaki. Kalau itu cuma PHP, cepat balik. Kalau betulan, tunggu saja di situ! "

"Oke! "

 Suamiku segera meluncur dengan sepeda motornya, sedang aku berjalan kaki. Santai saja. 

Agak panas aku, orang Indonesia masuk dalam negara yang rakyatnya malas jalan kaki. 

Olala, saking semangatnya aku lupa, kalau dicapai dengan jalan kaki, jarak 400 meter itu lumayan jauh. Syukurin Kau, pakai berlagak. Eh.... 

Ternyata Warung sate gule itu memang ada. Syukurlah, paling tidak tulisan di pinggir jalan itu bisa dipercaya. 

Sebab aku pernah hunting depot aneka masakan kambing dari Google, yang ternyata tidak ada. Sampai bolak-balik muter kaya seterika nggak ketemu. #$@&$#@"

Dari tampilan ala pikulan tempat menyimpan sate gule dan nasi, sepertinya maknyuss (dokpri) 
Dari tampilan ala pikulan tempat menyimpan sate gule dan nasi, sepertinya maknyuss (dokpri) 

Warung Sate Gule di Persawahan 

Warung sate gule ini tempatnya cukup nyaman, dengan tempat makan beragam.

Tempat makan di dalam dengan meja kursi (dokpri) 
Tempat makan di dalam dengan meja kursi (dokpri) 

 Di dalam restoran dengan tempat duduk lesehan, dengan meja kursi, dan ada tempat makan di pinggir sawah dalam bangunan seperti pendopo. 

Tempat menikmati sate gule di luar, berbentuk seperti pendopo (dokpri) 
Tempat menikmati sate gule di luar, berbentuk seperti pendopo (dokpri) 

Setelah memesan makanan, saya minta ijin pada penjualnya untuk makan di pendopo. 

"Mbak, saya ke pendopo saja, ya! " Boleh kan, makan di sana? "

"Boleh, Bu. Silakan! "

Suamiku langsung menuju ke sana, aku mengekor di belakangnya. 

Di pendopo masih kosong, mojok aja berdua (dokpri) 
Di pendopo masih kosong, mojok aja berdua (dokpri) 

Sambil menunggu aku buka kompasiana. Membalas komen beberapa teman dan membaca karya terbaru yang baru tayang. Terkadang melirik artikel utama.

 Tapi biasanya di artikel utama sudah saya baca sejak menjadi artikel terbaru. Meski kadang ada yang terlewat karena saya tidak membuka Kompasiana setiap waktu.

Tak lama kemudian ada rombongan satu keluarga yang ikut memilih duduk di pendopo. Dari neneknya yang sepuh, sampai cucunya yang masih kecil. 

Rombongan keluarga yang memilih duduk di pendopo (dokpri) 
Rombongan keluarga yang memilih duduk di pendopo (dokpri) 

Sambil menunggu, pesanan minum kami dilayani dulu. 

"Dek, minumnya lagi! " Suamiku minta tambah minum. Biasanya segelas saja tidak habis, itupun teh pahit. Kali ini ikut-ikutan aku pesan es jeruk, malah minta 2 gelas. Hihihi.. 

"Ini aku bawa air mineral, di tas". Jawabku. 

"Es jeruk saja. Aku nggak mau air mineral. 

" Ya sudah, nanti kalau makannya diantar, pesan minum lagi saja. 

"Ya! "

Tak lama pesanan diantar, suamiku pun menambah pesan minuman. 

Nasi gule (dokpri) 
Nasi gule (dokpri) 

Aku pesan 2 nasi  gule dan seporsi sate berisi 10 tusuk. 

Sate (dokpri) 
Sate (dokpri) 

"Dek, pesan gule lagi semangkok! "

Suamiku melirik pengunjung sebelah yang memesan semangkok gule dan nasi putih. Sedang pesanan kami nasi gule yang dicampur. 

"Sudah, nanti nggak habis. Ini saja cukup, semoga bisa habis. Kalau di luar negeri, kalau pesan makan nggak habis, didenda lho! "

 Jawabku berargumen. Agak heran juga, kenapa hari ini suamiku minta makan dan minum lebih dari biasanya. Semoga bukan karena diabetes nya kumat, dan gula darahnya naik. 

"Nasi gule nya kebanyakan, " Kata suamiku sambil memindahkan sebagian nasi gulenya ke piringku. 

"Tuh, kan.. Gitu mau minta tambah lagi! "

Suamiku diam. Sebenarnya memang sudah kebiasaannya tidak pernah habis kalau makan di luar. Aku sudah hafal, makanya tadi keinginannya tidak kuturuti. 

"Enak..! " Kata suamiku. 

"Alhamdulillah..! "Jawabku. 

Sejujurnya, bagiku memang enak, bahkan tanpa tambahan apapun, sebab aku kurang suka asin. Tapi tadinya kukira suamiku akan sibuk mencari garam seperti biasanya, dan bilang kurang asin.Ternyata malah makan dengan lahapnya dan lebih dulu habis daripada Aku. Aku hanya tersenyum. 

" Tambahin kecap biar enak, kalau tidak di kasih kecap tidak ada rasanya, kata pengunjung sebelah pada putrinya. 

Ini versi pengunjung lain. Tadi aku juga menambahkan kecap, sebab aku juga suka manis. Tapi over all, semuanya enak. Kenyang dan puas. 

Sebelum ke kasir aku mampir ke toilet. Suamiku menunggu di luar. Lumayan, toilet adalah salah satu fasilitas yang harus dipunyai rumah makan. Meski terkadang ada yang menarik uang pembayaran, tapi ini gratis. 

Aku mengeluarkan dompet sambil melirik list harga yang tertempel di dekat kasir. 

Harganya standar, relatif murah. 

Bisa dijadikan langganan kalau sedang berada di situ. 

"Kapan-kapan ke sini lagi ya, kata suamiku. 

"Oke, Ay (ayah) asal jangan sering-sering, berbahaya, hihihi.. 

Semoga jalan kaki tadi bisa sedikit mengeliminasi pengaruh mengkonsumsi daging kambing yang mungkin berbahaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun