Saya Buka Google Maps dan mengetikkan kata Lapangan Candirejo. Nama yang diberikan Pak Fajar.Ternyata langsung ketemu dan bisa memulai rute.Â
"Pak, kalau ke lapangan Candi enaknya lewat mana? " Suamiku bertanya pada Pak Tukang parkir. Kulirik di google maps, waktu tempuh ternyata hanya 9 menit.Â
" Ini keluar, belok kanan menuju alun-alun, ke barat, lewat masjid agung, terus bangjo ke kiri arah jembatan. Sudah terus saja nanti sampai ada tulisannya, Pak! " Jawab Bapak tukang parkir panjang lebar.Â
" Terima kasih, Pak! "
"Sama-sama."
Suamiku melajukan mobil keluar lapangan parkir. Kulirik Google maps menunjukkan arah berlawanan dengan yang ditunjukkan Pak tukang parkir.Â
"Ikuti arah yang ditunjuk Pak Tukang parkir saja, Mas. Sepertinya kalau pakai Google maps harus putar-putar keluar masuk gang dulu, "Â Aku memberi inisiatif.Â
Setelah lewat jembatan, barulah Google maps ku hidupkan. Ternyata kali ini rutenya lurus terus, bahkan saat melewati bundaran, dan waktu tempuh cuma tersisa 5 menit.Â
Saat tiba di tujuan, tulisan yang pertama kali terbaca, ternyata Sarlondo. Agak bingung sebenarnya, kenapa bukan lapangan Candirejo? Tapi melihat banyak motor dan mobil terpakir, sepertinya kami tidak salah tujuan.Â
Sambil bertanya-tanya dalam hati, saya mengikuti langkah orang-orang yang menuju ke tempat yang sama, sebuah lapangan. Tidak terlalu luas, tapi cukup luas untuk tempat menata meja dan kursi sebagai tempat menikmati hidangan yang disediakan bagi semua pembeli berbagai makanan tradisional yang tersedia.Â
Sworo angin
Angin sing ngreridu ati
Ngelingake sliramu sing tak tresnani
Pengen nangis
Ngetokke eluh neng pipi
Suwe ra weruh
Senajan mung ono ngimpi
Ngalemo
Ngalem neng dadaku
Tambanono roso kangen neng atiku
Ngalemo
Ngalemo neng aku
Ben ra adem kesiram udaning dalu. ..Â
Suara nyanyian "Banyu Langit" Mengalun dari salah satu pengelola Sarlondo yang berdendang santai di lokasi pasar mengiringi kedatanganku(ge er, hehehe..)Â
Lapak-lapak penjual berjajar rapi meski sederhana tapi cukup artistik.Â
Penjualnya semua memakai kebaya. Ada yang kebaya lurik, ada yang memakai kebaya polos.Sebut saja Kebaya nusantara ,semua ada. Hehehe...Â
Berbagai makanan dan minuman tradisional tersedia. Tapi sayangnya saya datang terlalu siang, sehingga jualannya sudah banyak yang habis, tinggal sisa-sisa, semoga kalau sempat ke sini lagi, saya bisa menyaksikan full stok yang menarik.Â
Dari awal masuk, saya sudah bertemu ampyang dan carang mas, camilan khas Magetan. Ampyang itu kacang tanah yang dimasukkan gula kelapa cair, dibentuk bulat-bulat. Sedang carang mas ubi yang dipotong korek api, digoreng, dan dimasukkan karamel dan dibentuk bulat dengan karamel sebagai perekat.Â
Lanjut ada penjual jagung rebus dan grontol, hasil bumi penduduk asli.Â
Masuk ke lapak-lapak penjual makanan tradisional, saya mencari lopis, tapi sepertinya sudah habis.Â
Ada penjual nasi pecel, nasi bancaan, tahu telur,tepo tahu, tepo sayur, dll.Â
Kemudian ada aneka jenang, seperti jenang sumsum, jenang candil dan lain-lain.Â
Di penjual minuman ada nasgitel dan kopi tubruk.Â
Karena sudah banyak dagangan yang habis, akhirnya saya memutuskan untuk membeli minuman tradisional saja.Â
Ada bandrek, bajigur, wedang jahe, dan angsle.Â
Saya memilih bandrek, sementara suami saya memilih wedang angsle.Â
Pak Fajar sudah sampai di situ dan mengobrol bersama pengunjung dan pengelola pasar londo. Rumah Pak Fajar hanya beberapa ratus meter dari lapangan.Â
Kemudian bersama-sama menemani kami ngobrol sambil menikmati angsle dan bandrek.Â
"Ini kenapa dinamai Sarlondo sih, Pak? " Tanyaku pada Pak Fajar yang bergabung bersama kami.Â
"Sarlondo itu berasal dari kata Pasar Londo. Awalnya Sarlondo itu di dekat puskesmas. Itu banyak penduduk asli pada jaman penjajahan dulu, menjual bubur candil, bubur sumsum di dekat puskesmas itu. Nah, pembelinya rata-rata londo (Belanda) yang saat itu masih menjajah Indonesia.Â
Ternyata londo-londo itu suka kuliner bubur yang banyak dijual penduduk asli. Makanya pasar nostalgia itu kita hidupkan kembali.Â
Berhubung di dekat puskesmas tempatnya tidak memungkinkan, jadi dipindah ke sini.Â
"Oh,..! "Â Saya manggut-manggut. Ternyata begitu ceritanya.Â
Saya kembali asyik menikmati bandrek sementara Pak Fajar mengobrol bersama suami.Â
Bandrek ini terdiri dari minuman manis berkuah santan rasa jahe, dengan isi ketan putih, kacang ijo, mutiara, roti tawar, dan kacang bawang.Â
Enak dan mengenyangkan. Makanan asli Indonesia yang seperti nya perlu juga di daftarkan ke UNESCO. Hehehe..
Suami saya memilih wedang angsle. Wedang ini merupakan wedang jahe gula merah dengan tambahan SKM. Minuman tradisional yang tak kalah lezat. Di HUT 77 RI ini, tak ada salahnya membayangkan Para londo menikmati kuliner rakyat sambil mendengar lagu-lagu hiburan.Â
Sementara Mbok Darmi penjual onde-onde melantunkan "Lungiting Asmara" menyapa kami yang asyik mengobrol sambil menikmati bandrek dan angsle.Â
Seprene nggonku ngenteni janji
Janji prasetyaning ati
Kadung tresna mring sliramu, wong ayu
Ra eling dina lan wektu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H