Di sana.... Tempat lahir beta.Â
Dibuai, dibesarkan bunda,Â
Tempat berlindung di hari tua,Â
Sampai akhir menutup mata...Â
Siapa yang saat kecil suka main lumpur? Mungkin di era sekarang, sudah jarang anak-anak yang suka main lumpur.Â
Dunia anak-anak lebih banyak terkontaminasi gadget daripada lumpur. Anak-anak mandi di sungai, menangkap ikan, beramai-ramai dengan teman sebaya, mengakrabi alam semakin langka.Â
Kalaupun ada, seringkali sudah menjadi acara settingan wisata, atau acara khusus yang mungkin beberapa tahun baru terulang.Â
Di Kecamatan Kebonsari, ada beberapa desa yang mengadakan lomba tangkap lele. Di antaranya di desa Gantrung.Â
Lomba ini mengingatkan akan masa kecil yang nyaris hilang.Â
Bermain lumpur sawah, menangkap ikan, mandi di sungai, adalah kenangan masa kanak-kanak yang tak terulang.Â
Di desa Gantrung ini, semua perlombaan diadakan di atas kolam buatan. Sehingga basah dan kotor menjadi biasa bagi semua peserta lomba. Yang penting semua gembira.Â
Lomba panjat pinang yang dahulunya memakai batang pinang sungguhan yang diolesi olie, kini diganti dengan bambu.Â
Lomba panjat pinang, di saat jaman kolonial, dianggap penghinaan bagi pribumi. Karena perilaku mereka saat berusaha mendapatkan hadiah dengan memanjat pinang tapi berkali-kali terperosot karena batang pinang nya licin itu, sangat menghibur para pejabat Belanda yang duduk-duduk santai sambil menonton.Â
Itulah sebabnya lomba panjat pinang menjadi kontroversi. Tapi kini masyarakat semakin cerdas. Tidak sudi di dekte oleh pendapat negatif. Pendapat seperti itu cenderung diabaikan, sebab jaman sudah berubah.Â
Kini panjat pinang justru menjadi simbol kemerdekaan. Karena peserta dan penonton sama-sama ikut gembira dan bemusyawarah menetapkan ketentuan lomba.Â
Panitia, penonton dan peserta sama-sama menikmati lombanya. Tidak ada siapa yang berkuasa dan siapa yang terhina.Â
Sedang lomba tangkap lele ini mendatangkan kegembiraan semua kalangan. Sejenak memerdekakan diri dari kerutinan dan pekerjaan.Â
Beramai-ramai menangkap lele yang baru ditebar dalam kolam buatan.Â
Peserta yang mendapat lele diberi tanda pita merah dan diberi hadiah 50 ribu rupiah untuk setiap 1 ekor lele yang tertangkap. Sedang bila yang tertangkap ikan lain, seperti nila, peserta dihadiahi 20 ribu rupiah.Â
Yang penting bersenang-senang.Â
Di samping hadiah utama lomba, ada juga hadiah doorprize bagi peserta yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan panitia.Â
Pada akhir perlombaan, masih banyak ikan lele yang belum tertangkap, sebab kulit lele begitu licin.Â
Tapi tips menangkap ikan lele adalah tangkap kepalanya. Dengan patil yang bisa dipergunakan untuk membela diri, justru di situ pula kelemahannya, karena bisa untuk pegangan, jadi meski licin tidak mudah lepas jika sudah tertangkap.Â
Di Sekawes, tangkap lele diberlakukan untuk semua umur. Acara berlangsung sore hari, akhirnya bendungan kolam dibuka biar lele mudah ditangkap.Â
Bergembira bersama sudah menjadi barang langka. Manusia disibukkan dengan aktifitas mengisi pundi-pundi. Bekerja bagai robot, perlu mengistirahatkan dan menghibur diri.Â
Di desa fasilitas untuk menikmati kemerdekaan masih terbuka lebar, memanfaatkan lahan yang masih luas untuk mendukung acara lomba dan bergembira mengakrabi alam terbuka.
 Apakah para pembaca dan kompasianer sudah merasa merdeka? Atau semakin terjajah oleh gadget dan tekhnologi?Â
Yang penting kita bisa bebas menikmati, itu kemerdekaan sejati.Â
Merdeka!!!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI