Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bagaimana Mengatasi Empty Nest Syndrome Saat Anak Tinggal Jauh?

26 Juli 2022   12:02 Diperbarui: 27 Juli 2022   03:45 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebersamaan yang manis dengan anak-anak. Suatu saat harus ikhlas dan legawa jika mereka harus tinggal jauh dari kita (dokpri) 

Empty Nest Syndrome, atau Sindroma Sarang Kosong, adalah Kegalauan orang tua saat harus berpisah dengan anaknya karena kuliah, bekerja atau telah berkeluarga dan tinggal jauh dari orang tua. 

Ibu yang tidak pernah dipisahkan dari anak-anaknya, biasanya akan mengalami ketidak nyamanan ketika harus berpisah. 

Awal anak saya memasuki masa kuliah dan harus tinggal terpisah, perasaan itu juga menghampiri saya. 

Kekhawatiran bagaimana hidup jauh dari orang tua itu selalu menghiasi pikiran. 

Apalagi Si Sulung yang tidak terbiasa mengerjakan keperluan sendiri. 

Kesalahan saya saat itu, selalu mengerjakan keperluan anak-anak dan membereskan semuanya. 

Dalam beberapa hal, si bungsu mungkin lebih mandiri dan bisa mengurus diri sendiri. 

Sebagai Ibu yang sepenuhnya berada di rumah, saya hampir tidak pernah meninggalkan anak-anak dalam waktu lama, katakanlah sampai menginap, sampai mereka remaja. 

Tak heran, saat si sulung mulai memasuki dunia perkuliahan dan harus kost di luar kota, suami saya sempat menyangsikan kondisi mental saya. 

Tapi saat itu Insyaallah saya sudah siap mental dan material. Saya menyadari, suatu saat anak-anak akan tumbuh dewasa dan jauh dari orang tua. 

Kebetulan, pertama kali si sulung mulai tinggal di tempat kost, saya ikut mengantar. 

Saat itu rumah kost yang dipilih si sulung merupakan tempat kost baru yang merupakan renovasi dari rumah peninggalan orang tua pemilik kost. 

Si sulunglah  yang pertama kali datang ke tempat kost untuk menjalani perkuliahan. Sementara teman-teman kostnya belum ada yang datang. 

Si sulung pun sebenarnya masih seminggu lagi baru masuk. Tapi berhubung seminggu sebelumnya harus mengambil jaket, seragam praktek lapangan, dan atribut lainnya sekalian ada beberapa tes tambahan yang harus dijalani,maka si sulung datang lebih awal. 

Saat itu, saya memutuskan untuk menemani si sulung sampai mulai masuk kuliah dan ada temannya di tempat kost. 

Rumah kost yang berbentuk rumah dan tertutup, tentunya berbeda dengan rumah kost yang berbentuk paviliun dengan pintu sendiri-sendiri dan menghadap keluar. 

Di sini ada pintu ruang tamu, baru kemudian deretan kamar berhadap-hadapan yang dipisahkan lorong panjang. 

Sepertinya si sulung agak takut. Mungkin karena terlalu sering menonton film horor. 

Akhirnya saya menemaninya sambil mentraining, cuci baju manual, masak nasi di magic com, sekaligus mengenali tempat-tempat belanja dan warung-warung makan yang murah, hehehe... 

Untunglah si sulung cepat belajar, meski mungkin agak malas kalau harus mengerjakan hal-hal yang saya ajarkan. 

Hal paling praktis memang makan tinggal beli, dan baju di laundry. 

Tapi si sulung saya ajarkan hal-hal yang harus dikuasai sebagai anak kost. Anak-anak saya kompromis, tidak manja dan tidak sulit. 

Saya memang selalu mengajarkan untuk tidak terbiasa merepotkan diri sendiri dan orang lain, jadi harus bisa bersikap fleksible dalam setiap waktu dan keadaan.

"Setiap hari anak saya, saya telepon! "

 Seorang Ibu yang duduk di sebelah saya dalam pertemuan orang tua mahasiswa, bercerita. 

"Rumahnya mana, Bu? "

"Kediri, jawabnya. 

" Putranya jurusan apa, Bu? Laki-laki apa perempuan? "

"Jurusan K3, Laki-laki! "

"Oh, anak saya perempuan. Setiap hari saya telepon. Nggak tega rasanya melepas anak kuliah dan harus kost. Rasanya baru kemarin mengantar ke TK, "... 

Ibu itu terus bercerita. Saya tidak bisa membayangkan kalau harus ikut-ikutan menelpon setiap hari memantau anaknya. 

Saya berpikir, sudah saatnya mereka mandiri. Komunikasi tetap perlu, tapi tidak harus seperti absensi finger print km. Mungkin anak-anak justru merasa risih. 

Terkadang orang menganggap saya tidak perhatian pada anak-anak, padahal saya juga memantau dengan cara saya sendiri. 

Sekian lama saya selalu ada dan mendampingi tumbuh kembang anak-anak, kini saatnya mereka menapak dunia baru untuk melatih kedewasaan. 

Meski berat, saya mencoba melepas anak-anak kuliah dan kos di tempat jauh. 

Untuk menghilangkan kegalauan saat cuma berdua dengan suami  dan khawatir dengan kondisi anak-anak, biasanya :

1. Saya kirim pesan WA. Jika anak-anak sedang longgar dan tidak disibukkan tugas-tugas kuliah, saya akan menelepon. 

Mungkin sekedar menyapa dan menanyakan kondisinya dan kesulitan atau permasalahan yang dihadapi. 

Begitu yang saya lakukan sampai mereka mulai bekerja. 

2.  Mengetahui jadual perkuliahan/hari kerja dan liburan. 

Memintanya untuk mudik saat libur, kecuali jika saat liburan ada acara di kampus atau tugas praktek yang harus dijalani. 

Biasanya anak-anak yang aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, justru sibuk saat liburan karena menggelar acara yang berhubungan dengan organisasi di kampus, seperti mengadakan lomba, atau pertemuan himpunan mahasiswa, dll. 

3. Bercerita dan mengisi waktu luang dengan suami, refresing bersama, Jalan-jalan, piknik, melakukan hobi atau berkebun bersama. 

4. Menyibukkan diri dalam aktifitas yang disukai dan bermanfaat, seperti memasak, menjahit, dan menulis. 

5. Selalu mendoakan untuk kebaikan dan kebahagiaan anak-anak, serta menyerahkannya dalam lindungan Allah SWT, sebaik-baik pelindung. 

Intinya, kita harus ikhlas dan legawa saat anak-anak tinggal jauh demi kebahagiaan anak-anak dalam mencapai cita-cita dan tujuan hidupnya, sehingga semua bisa berjalan baik dan wajar. 

Terima kasih, semoga bermanfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun