Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mbah Wagimin Penjual Othok-othok dan Dunia Anak Digital

23 Juli 2022   16:56 Diperbarui: 23 Juli 2022   17:20 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi menjelang siang tadi saya berjalan-jalan di alun-alun Ponorogo yang sedang punya gawe dengan judul grebeg suro Ponorogo 2022.

Sambil membaca beberapa artikel di Kompasiana, saya duduk-duduk di pendopo alun-alun sambil melihat suasana alun-alun yang penuh lapak-lapak pedagang tapi belum buka. 

Saya merinding ketika membaca salah satu artikel kompasianer tentang perundungan di Tasikmalaya. 

Sebuah kebiadaban yang dilakukan anak-anak terhadap anak lainnya, sungguh membuat pembacanya beristighfar dan mengelus dada. 

Membaca kasusnya, sepertinya para pelaku perundungan itu telah teracuni oleh dunia digital yang mempertontonkan sesuatu yang tidak senonoh. 

Anak-anak yang berada taraf meniru itu pastilah terinspirasi dari tayangan video yang ditontonnya. 

Para pelaku, memaksa dan memukul korban, serta memaksanya untuk menyetubuhi seekor kucing, kemudian videonya disebarkan para pelaku. Astaghfirullah hal adziem.... Na'udzubillahi Mindzalik....

Fitnah tekhnologi itu bisa menghancurkan anak-anak dan generasi masa depan dengan penyimpangan perilaku dan meracuni pikiran-pikiran polos dengan bermacam keburukan. 

Semoga anak-anak kita tidak mengalami hal-hal seperti itu. 

Korban kemudian merasa malu, tersiksa dan depresi sehingga mengalami sakit fisik dan akhirnya meninggal dunia. 

Usai membaca artikel itu, mata saya tertuju pada seorang penjual mainan anak-anak jadul yang menggelar dagangannya di depan kantor pemerintah Ponorogo. 

Othok-othok, mainan tradisional yang dipergunakan orang tua untuk membantu batitanya belajar berjalan, sambil bermain (dokpri) 
Othok-othok, mainan tradisional yang dipergunakan orang tua untuk membantu batitanya belajar berjalan, sambil bermain (dokpri) 

Dulu, anak-anak bermain di dunia nyata dengan kepolosannya. 

Bergembira bersama teman sebaya sesuai umur. 

Bermain kelereng, gobak sodor, boy boy an, semutan, Sunda manda, lompat tali, dan permainan-permainan yang melibatkan aktifitas fisik, sehingga tanpa olah raga secara formal, lebih sehat, bugar dan jarang sakit meski mungkin badan dekil dan berkulit gelap. 

"Sugeng Siang, Mbah! "(Selamat siang, Mbah) Saya menyapa penjual mainan anak-anak jadul yang menggelar dagangannya di depan kantor pemerintah Ponorogo. 

"Sugeng siang, " Mbah penjual tersenyum. 

"Mbah, kersa kula foto? "

(Mbah, mau saya foto? ") 

"Monggo, (silakan!)" Si Mbah langsung beraksi. 

Saya memotret nya sambil tersenyum. Sebenarnya saya lebih suka mendapatkan foto natural tanpa setingan. Tapi kalau candid, takutnya tidak sopan. 

"Panjenengan, asmanipun sinten Mbah? 

(Namanya, siapa Mbah?) 

" Wagimin! "

"Sejak kapan jualan di sini Mbah? "

"Sudah 2 hari ini, Bu, "

Akhirnya saya berbahasa Indonesia, karena si Mbah menjawab pakai bahasa Indonesia, hihihi.. 

"Rumahnya dekat-dekat sini saja Mbah? "

"Saya Magetan, Bu! "

"Lho, dari sana jam berapa Mbah? Pulang nya tidak kemaleman? "! 

" Saya tidak pulang. Ya tidur di sini saja di tempat jualan, tinggal berbaring saja! "

"Oh, begitu ya Mbah? " Saya agak terbengong, tapi rasanya tidak etis mengomentari hal ini. Saya mulai menfoto lagi ketika Mbah Wagimin mulai rileks. 

Saat pertama foto, Mbah Wagimin berdiri dengan sikap tegak. Sekarang sudah lupa sambil membenahi dagangannya. 

"Banyak yang membeli, Mbah? 

" Alhamdulillah banyak, Bu. Ini biasanya saya membawa sekitar 200 an biji, tinggal segini, "

Saya lihat dagangan Mbah Wagimin tinggal sedikit. Sekitar limapuluh an. Tentunya menggembirakan bisa laku sekitar 75% dalam waktu 2 hari. Meski agak mengherankan. 

"Anak-anak banyak yang suka mainan seperti ini ya, Mbah? " Tanyaku sedikit sangsi. 

"Orang tuanya, Bu. Ini.. (Mbah Wagimin mengambil mainan sambil mempraktekkan cara memainkan Othok-othok, dijalankan sambil dodorong, kemudian berbunyi thok.. thok.. thok.. sehingga dinamai Othok-othok). 

" Ini biar anak-anak terangsang bisa cepat jalan. Gembira bermain, kalau baru berjalan dan mau jatuh, bisa dijadikan tumpuan seperti tongkat! "

"Owh... Excellent! " Batinku. Pantas saja mainannya laku banyak, tentunya banyak orang tua terinspirasi mendampingi tumbuh kembang anak. Sambil latihan berjalan, anak-anak juga menikmati mainannya. Pengrajin tradisional pun kecipratan cuan. Kehidupan jadi terasa adil. 

Othok-othok (dokpri) 
Othok-othok (dokpri) 

"Ini satunya dihargai berapa Mbah? "

" Othok-othok nya limabelas ribu per buah, kalau balonnya 5 ribu. "

"Ini Mbah Wagimin membuat sendiri? "

"Tidak, Bu! " Saya mengambil dari Wonogiri. 

"Owh, keliling terus ya Mbah? "

"Iya, Bu. Nanti habis ini saya pindah ke Ngawi, "

"Grebeg juga Mbah? "

"Hari Jadi Kota Ngawi! ".

" Owh.. Selamat ya Mbah, semoga dagangannya cepat habis dan segera berkumpul dengan keluarga, "

"Anak saya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Tapi saya bisa mandiri dengan berjualan seperti ini, malah bisa ngasih uang saku ke cucu, ".

" Hebat Mbah, salut kagem panjenengan. Maturnuwun nggih Mbah, sampun ngrusuhi. "

(Hebat Mbah, salut buat Mbah. Terima kasih ya, sudah mengganggu.) 

"Sama-sama, Bu! "

Saya bergegas menemui suami yang sudah menunggu di Masjid Agung Ponorogo. 

Perkembangan jaman memang tidak bisa dicegah, tapi sebagai orang tua, hendaknya kita selalu memperhatiksan tumbuh kembang buah hati kita. 

Untuk ibu pekerja, mungkin sulit kalau harus selalu membersamai sang buah hati, tapi kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan untuk memantau dan memberi perhatian pada keluarga. 

Meski begitu, teknologi digital bisa menjadi pisau tajam bermata dua. Di satu sisi mempermudah membantu persoalan dan melancarkan kehidupan, tapi di satu sisi bisa menusuk dengan pengaruh buruk yang bisa menghancurkan peradaban. 

Semoga kita menjadi orang-orang yang bijak memanfaatkan tekhnologi. Dan keluarga kita, anak-anak kita bisa terhindar dari fitnah jaman. 

Semoga bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun