Gara-gara salah mengenali dawet, saya jadi berminat menulis tentang perdawetan.Â
Ceritanya, beberapa hari yang lalu saya pergi ke Lapangan batik. Nah, di situ saya melihat ada penjual dawet jabung. Terbersit untuk membelinya, tapi saat itu sedang asyik mencari angle yang bagus untuk memfoto lapangannya, jadi keinginan menikmati dawet jadi terlupakan.Â
Tergesa memacu sepeda motor, di jalan kebetulan melihat penjual dawet di pinggir sawah, sekaligus pinggir jalan. Mampirlah saya.Â
"Dawet nya satu mbak! "
"Diminum sini? "
"Ya, mbak! "
Saya segera mengambil tempat duduk di lincak yang disediakan, sambil memandang sawah yang sedang diolah.Â
Tak lama pesanan dawet saya disajikan.Â
Sambil mencicipi rasa dawet yang manis,otak saya berpikir.Â
"Masak sih ini dawet jabung? "
Manisnya sirup gula dan santan dengan filling tape ketan, Â janggelan(cincau hitam) cendol dari tepung tapioka dan batu es membuat tenggorokan saya terasa segar.Â
Tapi dawet jabung yang saya kenal sepertinya tidak seperti ini.Â
Tak terasa mangkok dawet dari kreweng(tanah liat) ini sudah kosong.Â
"Sudah, Mbak! " Aku menghampiri penjualnya.Â
"Cuma dawet saja, Bu? "
"Iya, mbak, " Jawabku. Di meja tadi sebenarnya tersedia gorengan juga, tapi aku tak mengambilnya karena sedang pengin yang segar-segar dan lagi tidak berminat makan gorengan.Â
"Empat ribu saja, Bu! " Jawab penjualnya.Â
"Murah, batinku.Â
" Ini dawet jabung ya, Mbak? "
"Bukan, ini dawet Sala(Solo). Kalau dawet jabung ada gempolnya Bu, terus cendolnya dari tepung beras, "
"Owh... Pantas. Saya kira dawet jabung, kok beda dengan yang saya tahu.Â
" Namanya siapa, Mbak? "
"Widji, Bu, "
"Mbak Widji asli Sala? "
"Tidak, saya nglandung Bu. Yang Sala dawetnya, " Mbak Widji tertawa.Â
"Sudah lama jualan dawet Sala, Mbak? "
"Baru 5-6 bulan, Bu.Â
" Banyak pembelinya Mbak? "
"Alhamdulillah lumintu, Bu! "Â
"Alhamdulillah.. Laris terus ya Mbak Widji.. "
"Bu, kembaliannya " Teriak Mbak Widji.Â
"Sudah, ambil saja," Kataku sambil melajukan motor.Â
"Maturnuwun, "
"Sami-sami..! "
Hahay, ternyata saya salah. Itu bukan dawet Jabung, tapi dawet Sala(h).Â
Dawet, minuman segar yang biasanya berisi cendol dengan sirup gula merah dan bersantan itu ternyata banyak macamnya.Â
Coba kita kulik macam dawet yang saya tahu.Â
1. Dawet Jabung.Â
Dawet ini berasal dari daerah jabung, ponorogo. Tak heran diberi nama sesuai nama tempatnya. Dawet jabung terdiri dari cendol, gempol, tape ketan, terkadang ditambahkan nangka.Â
Ada yang unik dari dawet jabung ini. Saat disajikan, jika penjualnya menyajikan dengan tatakan, cukup mangkoknya saja yang diambil. Tatakannya biar tetap dipegang penjualnya.Â
Awal saya di Madiun, dan membeli dawet Jabung, sempat tarik menarik tatakan dengan penjualnya.Â
"Mangkoknya saja," Kata suami saya.Â
Penjualnya yang kebetulan perempuan hanya tersenyum. Setelahnya suami saya menjelaskan, kalau mengambil tatakannya, berarti ingin menikahi penjualnya.Â
Hohoho... Apa ketentuan itu masih berlaku sekarang? Untuk penjualnya perempuan, kalau laki-laki terus aku disuruh menikahi, gimana, hihihi..Â
Sebenarnya dawet jabung juga menyimpan legenda, tapi kapan-kapan saja saya tulis. Heee...Â
2. Dawet Sala (Solo)Â
Dawet ini seperti yang dijual Mbak Widji. Saya agak kurang paham, takut diprotes orang Solo. Tapi begitulah klaim Mbak Wiji, bahwa dawet yang dijualnya adalah dawet Sala (Solo).Â
3. Dawet Ireng Purworejo
Kebetulan, Mas Agus Roy, teman saya di facebook, sekaligus teman sekampung halaman sama-sama orang Purworejo, mengembangkan dawet ireng.Â
Sesuai dengan namanya, dawet ini menggunakan cendol berwarna hitam.Â
Tampilannya sangat menarik dan menggoda dengan cendol hitam, sirup gula merah, putih santan, tape ketan hijau dan kuningnya nangka.Â
Mas Agus Roy tinggal di Gresik, tempatnya  membuka usaha dengan label "Dawet Ramingkem".
Sedang dawet ireng di Purworejo, yang terkenal adalah Dawet Ireng Jembatan Butuh, Kecamatan Butuh.Â
Butuh adalah nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Dawet Ireng ini mungkin terkenal karena keunikan dawet nya dan namanya yang disingkat.Â
Pada waktu saya kecil, ada dawet legend yang tidak seperti dawet biasanya.Â
Dawet ini dijual oleh seorang lelaki bernama Lek Girun, dengan memikul tempayan berisi dawet yang dijual ke sawah-sawah yang sedang panen.Â
Keunikan dawet ini, tidak memakai santan, hanya berupa cendol berwarna putih, dan nira asli yang dimasak sampai mendidih, kemudian didinginkan.Â
Dijual nya tanpa es. Rasanya istimewa dan berbeda. Tapi sayangnya dawet Lek Girun ini sudah nyaris punah karena tidak ada penerusnya.Â
Dawet ini saya dapati di dekat tempat tinggal saya. Kebetulan suami saya tadi membeli 2 bungkus dan dibawa pulang.Â
Dawet ini terdiri dari cendol, kolak, dan bermacam jenang atau bubur.Â
Cendol nya berwarna hijau, bubur mutiara berwarna merah, bubur ketan hitam, bubur sumsum, bubur garut dan kolak pisang.Â
Rasanya nano-nano, manis asam asin, hehehe. Perpaduan antara cendol dawet, kolak dan bermacam jenang atau bubur.Â
Harganyapun sangat terjangkau, hanya 5 ribu rupiah sudah komplet.Â
5. Dawet Ayu Banjarnegara
Dawet ini berasal dari Banjarnegara. Warnanya cantik, merupakan perpaduan cendol beras berwarna hijau lumut, sirup gula merah berwarna coklat, dan putihnya santan.Â
Banyak yang mengira nama dawet ayu karena penjualnya cantik (ayu). Tapi pada kenyataannya, ada juga penjualnya laki-laki. Jadi jangan terkecoh, yaa...Â
Bagaimana dengan dawet di daerah pembaca dan kompasianers? Apa keistimewaannya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H