Membaca banyak ulasan tentang hadiah untuk guru yang bermacam-macam saat kenaikan kelas, menuntun ingatan saya pada tradisi berpuluh tahun lalu yang sekarang sudah hilang.Â
Tradisi itu mungkin sekarang menjadi sesuatu yang aneh.Â
Dari artikel Mbak Martha Weda tentang amplop untuk guru yang bisa mencapai 3 jutaan, hadiah puisi untuk guru, hadiah makanan, pakaian, foto, atau barang-barang unik untuk guru dan lain-lain, dari yang setuju, tidak setuju, menghargai sampai menganggap sebagai gratifikasi, saya memilih netral.Â
Ibu saya juga seorang guru. Saat menjadi wali kelas, beliau sering mendapat hadiah dari murid-muridnya, tapi bukan perorangan.Â
Kalau tidak salah, satu kelas mengumpulkan iuran atau menggunakan uang kas kelas untuk membeli hadiah bagi wali kelas.Â
Ibu sering berkata, tidak usah memberi hadiah, sebab guru atau wali kelas lain tidak ada yang diberi. Tapi murid-muridnya memaksa, sehingga ibu menerimanya.Â
Hadiahnyapun bukan sesuatu yang mahal, tapi berkesan. Pernah ibu dihadiahi lemper, lontong, atau arem-arem raksasa. Terus jam dinding kalau tidak salah. Sudah lama sekali, jadi tak ingat.Â
Anakkupun saat mengikuti kegiatan PIRNAS juga membelikan kain batik untuk wali kelasnya.Â
Saya sih setuju saja, sebab suamikupun pernah mendapat hadiah dari murid-muridnya saat menjabat sebagai wali kelas.Â
Terkadang hadiah-hadiah itu juga bisa berubah menjadi gratifikasi ketika hadiah yang diberikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan atau mempengaruhi pemberian nilai.Â
Kembali pada tradisi kupatan, itu terjadi kira-kira 40 tahun yang lalu saat saya masih duduk di sekolah dasar.Â
Saat itu, rapor masih diserahkan langsung pada murid, tidak diambil oleh orang tua seperti sekarang.Â
Setelah rapor dibagikan dan disimpan, maka diadakan tradisi kupatan.Â
Setiap anak membawa ketupat lengkap dengan lauknya untuk dimakan sendiri, dan sebagian ketupat dan lauknya disetor sebagai hadiah, biasanya dikumpulkan ramai-ramai di meja guru.Â
Nantinya meja guru akan di penuhi ketupat, dan beragam lauk yang dibawa murid-muridnya.Â
Ada abon, telur rebus, telur dadar, telur mata sapi, ayam goreng, kering tempe, srundeng, tahu tempe bacem, apa saja yang dibawa masing-masing anak disetorkan kepada bapak/ ibu guru secara sukarela.Â
Selanjutnya bapak/ibu guru makan bersama murid-muridnya, dan sisanya dibawa pulang, dibungkus taplak, eh...Â
Lucu kalau mengingat kejadian itu. Terkadang tradisi kupatan lebih ditunggu-tunggu daripada rapor nya. Namanya juga anak-anak jaman dahulu.
 Berbeda dengan anak-anak dan orang tua jaman sekarang yang menganggap nilai begitu penting. Mungkin era sudah jauh berbeda dan berubah.Â
Bagaimanapun, memberi hadiah untuk guru bukan sesuatu yang terlarang, sebagai wujud penghargaan, kecintaan dan rasa perhatian murid kepada guru selama tidak memberatkan dan diada-adakan.Â
Lebih baik hadiah diberikan kepada guru setelah pembagian rapor selesai di akhir tahun ajaran, sehingga untuk tahun ajaran berikutnya, sudah tidak diajar guru yang sama sehingga tidak memberikan efek negatif yang bisa berubah menjadi gratifikasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H