Hari sabtu, suamiku libur. Rencananya mau ke kolam pemancingan yang berlokasi di tetangga desa. Tapi ternyata sepi tanpa ada pemancing sama sekali, padahal biasanya dipenuhi para penghobi mancing.Â
"Sana tanya mbak e yang punya warung, kata suamiku.Â
" Tanya apa? " Tanyaku oon.Â
"Ya kenapa sepi, biasanya kan ramai.Â
" Oh.. ! " Aku turun dari boncengan motor dan mendekat ke mbaknya.Â
"Mbak, pemancingannya kok sepi, apa biasanya memang begitu? "
"Ini sedang disteril Bu, hari ini dan kemarin, soalnya besok mau dipakai lomba memancing. Jawab mbaknya.Â
" O, ya sudah. Terimakasih mbak.Â
"Sama-sama, Bu.
Ya, sudah. Pulang saja, lombanya besok, kataku.Â
Sampai di dekat perempatan aku menepuk punggung suamiku.Â
" Mas, mau sate? " Itu di pojok perempatan ada penjual sate ponorogo. Â Sate ayam, kataku.Â
"Ya sudah, ayo! " Tumben suamiku setuju, biasanya suamiku tidak mau makan daging ayam potong, sukanya ayam kampung. Jadilah mampir ke situ.Â
"Monggo, silakan! " Mbah penjual sate ponorogo, yang ternyata pemiliknya sendiri, bernama Mbah Narto.Â
Tertulis di spanduk Sate Ayam ponorogo Mbah Narto (Kithit).Â
"Satu saja", kata suamiku.Â
Dibungkus apa dimakan sini? " Tanyaku.Â
"Bungkus saja! "kata suamiku.
"Lontongnya ada? " Tanya suamiku.Â
"Ada, Pak! " Jawab penjualnya.Â
"Ya, sudah, makan sini saja!", kata suamiku.Â
" Makan di sini apa bungkus? " Tanyaku. Suamiku diam, antara bingung dan ragu-ragu.Â
"Satu dibungkus, satu dimakan sini saja Mbah," Akhirnya aku yang memutuskan. Tidak telaten menunggu jawaban yang gak jelas, hihihi...Â
Sambil menunggu, untuk menghilangkan jenuh, kuambil gawaiku dan mulai beraksi. Memangnya mau ngapain, hehehe...Â
" Ya! " Kata suamiku yang lebih memilih duduk menunggu di dalam.Â
"Pak, saya foto ya! " Kataku meminta ijin memfoto Mbah Narto yang sedang membakar sate.Â
"Monggo, Bu! " Kathah kok sing remen foto-foto( Silakan, Bu, banyak kok yang suka foto-foto) . kata Mbah Narto.Â
"Sate Ponorogo niku keistimewaane napa Mbah? (Sate Ponorogo itu keistimewaanya apa, Mbah? ")Â
" Sakderenge dibakar pun kula bumboni, terus daging e, jerohane, kulit e, kula pisah piyambak-piyambak, " ( sebelum dibakar sudah saya bumbui, dan daging, jeroan sama kulitnya saya pisah sendiri-sendiri)Â
"Niku putrane Mbah? (Itu anaknya Mbah?) Aku bertanya pada Mbah Narto tentang perempuan yang menemani Mbah Narto membakar sate.Â
"Ini anak saya yang nomer 7," Jawab Mbah Narto.Â
"Putrane pinten to Mbah?" (Anaknya berapa to Mbah?) tanyaku lagi.Â
"Laki-lakinya 6, perempuannya 8," Jawab Mbah Narto tapi dalam bahasa Jawa.Â
"Wow... Aku takjub.Â
" Panjenengan sugih, no Mbah! "Â Kataku sambil tertawa.
Sukar membayangkan punya anak 14 orang. Sedang aku mempunyai anak 2 saja kalau lagi bertengkar atau berkelahi sudah kebingungan.Â
Sementara Mbah Narto terlihat enjoy dan sehat.Â
"Saya kelahiran tahun 43," Kata Mbah Narto tanpa kutanya.Â
"Sudah hampir 80 tahun. Cucu sudah pada menikah, cicit, canggah, saya lupa dan tidak hafal namanya, " Kata Mbah Narto sambil tertawa. Aku ikut tertawa.Â
Panjenengan luar biasa, Mbah, " Kataku.Â
Sambil memotret Mbah Narto dari depan. Ini orang istimewa. Hihihi.. 14 orang anak. Membayangkan saja aku tak sanggup. Mungkin kalau dijalani malah tak terasa.
 Aku malah jadi penasaran sama Bu Narto nya. Sayangnya saat itu tidak sedang berada di warung sate. Beliau biasa bantu-bantu memasak di desanya.Â
Sate nya sudah matang, beberapa sampai ada yang gosong. Hahaha..Â
Gak papalah, salahku sendiri mengajak ngobrol Mbah Narto sampai lupa membolak balik satenya.Â
Satenya besar-besar. Makan seporsi berdua berisi 10 tusuk sate ayam dan 1 buah lontong sudah membuat kami kekenyangan.
 Maklum perut jelita dan jenampu. Kapasitas terbatas, hehehe.. Untung yang satu dibungkus.Â
Sate Mbah Narto ini, seperti sate ponorogo lainnya, rasa manisnya dominan. Daging ayam biasanya dipotong tipis melebar. Sate Mbah Narto ini, sebelum dibakar sudah matang, karena diungkep sebentar bersama bumbu, kemudian ditusuk.Â
Sebelum dibakar, dicelup dalam larutan gula merah, madu, minyak zaitu dan bawang merah, kemudian baru dibakar.Â
Sate Mbah Narto ini manisnya tidak semanis sate ponorogo yang lain, dan rasa asinnya pas untuk aku yang mempunyai kecenderungan hipertensi. Tapi buat suamiku yang suka asin, mungkin ini rasanya sedikit kurang asin.Â
Bumbu kacangnya juga enak. Ditambah kecap yang enak, pastilah rasanya jadi pas banget.Â
"Mbah, nama aslinya siapa sih Mbah, kok ada nama Kithit nya, " Tanyaku iseng.Â
"Nama asli saya Sunarto, tapi waktu masih muda dipanggil Narto Kithit, ...soalnya pacar saya namanya Titik, nah anak-anak dulu suka membalik nama, Titik jadi Kithit, " Hahaha... Mbah Narto tertawa.
Â
"Owh.. Hahaha, " Aku ikut tertawa.Â
"Tapi apa Bu Narto mboten cemburu Mbah, masak nama pacarnya masih dipakai sampai sekarang, " Tanyaku kepo.Â
"Tidaklah, wong sudah sama-sama menikah, hehehe..." Jawab Mbah Narto mantap.Â
Sip Mbah. Cocok. Memang harusnya begitu. Pernikahan itu benteng untuk selalu berjalan di jalur yang benar, sudah tidak perlu menengok masa lalu dan tengok kiri kanan. Yang kelihatan cuma suami atau istri yang ada di depan mata.Â
Nyam.. Nyam.. Satenya enak. Sudah kenyang, Alhamdulillah...Â
O, iya. Yang pengin mencoba sate Mbah Narto, lokasinya di pojok perempatan Doho, sebelum pemancingan kalau dari utara via jembatan tawang. Monggo, silakan...Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI