Buya selalu mengingat pesan KHA. Ahmad Dahlan, "jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah, tapi hidupilah Muhammadiyah"Â
Bahkan penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak Kampung', yang telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).Â
Sedang Budi Munawar Rachman mengelompokkan Syafii termasuk ke dalam golongan neo-modernis Islam bersama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menentang pemberlakuan hukum Islam secara formal dalam kehidupan bernegara.Â
Buya mengatakan "Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap"Â
Wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra begitu negatif, sehingga jauh dari nilai sejatinya sebagai agama damai.Â
Mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya intoleran, kasar dan merasa paling suci, membuat hal-hal baik gagal ditegakkan.
Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbol-simbol saja dan menjauh dari esensi (Buya Ma'arif)Â
Agama dipakai tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada hal-hal yang lebih baik. Tapi sekedar simbol yang justru menumbuhkan arogansi.
 Orang memakai tasbih saja seakan-akan sudah Islam. Ini pembodohan," kata Syafi'i seperti dikutip Antaranews (22/10/2017).
Masih menurut Buya, hendaknya seorang Muslim di masa kini bisa membedakan antara Arabisme dan Islam.
Di masa Orde Baru, waktu masih ada lembaga prestisius bernama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), pergesekan antarumat beragama sulit ditemukan. Ini karena adanya tekanan dan pengaturan dari negara.Â