Gara-gara Kompasiana menawarkan topik pilihan tentang rekomendasi perpustakaan, saya jadi bongkar- bongkar koleksi buku dan majalah.Â
Mata saya terpaku pada majalah remaja, yang membuat ingatan saya melayang saat aktif menulis cerpen remaja di majalah kawanku.Â
Majalah yang tertata di rak buku ini, adalah majalah yang dikirim kepada saya sebagai tanda bukti pemuatan cerpen-cerpen saya yang lolos seleksi redaksi dan berhasil dimuat.Â
Menulis adalah hobi yang murah, nyaris tak butuh biaya. Bahkan bila kita beruntung, bisa menghasilkan cuan. Keuntungan materi. Meski prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan.Â
Awal tulisan saya dimuat, rasanya tak terlukiskan. Takjub dan bangga bisa menembus majalah yang dibaca anak-anak di seluruh Indonesia, berapa besarnya honor menjadi tak penting.Â
Ya, betul. Tulisan pertama saya dimuat di majalah anak-anak. Ananda. Dimuatnya cuma di kolom kecil tentang pengalaman lucu. Nama rubriknya saya lupa, "ada-ada saja" atau "tak disangka". Secara itu sudah sekitar 34 tahun yang lalu, sekitar tahun 1987-1989.Â
Honornya pun hanya 5 ribu, namun bisa untuk membeli 10-20 mangkok bakso. Kadang malah tekor, sebab juga saya pergunakan untuk membeli perangko.Â
Kalau tidak salah, saat itu perangko biasa harganya 110 rupiah. Sebab sahabat pena saya banyak, dari  saya yang menulis surat dulu sebagai perkenalan, sampai yang lebih banyak lagi para fans, ehm....
Setiap kali tulisan saya dimuat, akan diikuti surat-surat perkenalan dari anak-anak dari penjuru tanah air, sebab dalam tulisan yang dimuat selalu disertakan alamat lengkap.Â
Tapi biasanya mereka yang mengajak berkenalan, sebagian besar melampirkan perangko balasan, jadi semua saya balas. Jadilah saya mempunyai banyak sahabat, dari Papua, kalimantan NTB, Riau, Surabaya, Jember, Jawa Barat. Pokoknya banyak.Â
Saat masuk SMA, hobi saya menulis berhenti. Soalnya saya merasa bukan anak-anak lagi, sedang Ananda adalah majalah anak-anak. Tapi untuk menulis cerpen remaja, saya belum bisa. Maklum belum pernah jatuh cinta. (Hemm... Bohong ding. Sejak TK aja sudah jatuh cinta. Hahaha... Semoga tidak ada yang ngakak! Just kidding).Â
Saat itu kebetulan di ajak teman saya yang berbakat tulis menulis dan berjiwa seni tinggi. Namanya Oki Musume yang biasa saya panggil Mbak Oki.Â
Sebagai pimpinan redaksi majalah dinding (mading), Mbak Oki mengajak saya bergabung mengelola mading.Â
Saat kuliah, aktivitas menulis saya kembali terhenti. Meski surat menyurat dengan para sahabat masih terjadi, baik teman-teman SMA, maupun sahabat pena yang masih setia berkirim kabar.Â
Masa kuliah adalah masa istimewa dalam perjalanan hidup saya. Saat di mana kehidupan saya menjadi sangat religius. Masa yang sangat saya syukuri.Â
Saat menjalani kehidupan kampus sebagai anak kost, ada yang berubah menjalani hidup bebas tanpa kontrol orang tua. Tapi saya tidak.Â
Lingkungan kost religius dan agamis mewarnai kehidupan saya sebagai mahasiswi. Saya juga lebih dalam mempelajari dan mengamalkan kehidupan islami dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan pacaran, menyapa lawan jenis saja adalah barang aneh dan langka.Â
Jadi tak aneh, bila ide menulis pun menjauh. Mau mengirim tulisan di media agamis belum cukup ilmu, mau mengirim di majalah nasional kurang sreg. Serba canggung dan nanggung.Â
Masa pergulatan dan tarik menarik antara kehidupan bebas bertanggung jawab, yang orang tua ajarkan, dengan kehidupan agama yang serba ketat, dan mengikat.Â
Langsung saja ke saat saya mulai kembali menulis saja, ya.Â
Saat kuliah dan menikah di semester akhir, kemudian mulai menjadi istri, kemudian mengandung, melahirkan dan mengasuh 2 orang anak yang hanya selisih umur 1 tahun 2 bulan, bisa-bisa tulisan ini berubah jadi novel, hihihi..Â
Ceritanya, kedua anak saya mulai masuk dunia pra sekolah, di RA (TK, play group) Jadilah saya mulai mempunyai banyak waktu longgar. Mereka sudah relatif mandiri meski masih dalam pengawasan tentunya.Â
Kebetulan rumah(kontrakan) saya hanya sekitar 100 meter dari kantor pos. Otomatis mempermudah untuk pos naskah yang dikirim ke majalah.Â
Saat itu saya sudah mempunyai 2 buah hati, tapi jiwa saya masih muda (Eh...).
Nah, jalan di depan rumah saya, adalah jalan yang dilalui anak-anak SMP untuk menuju ke sekolahnya. Meskipun lokasi sekolah di gang sebelah, tapi banyak yang lebih suka lewat depan rumahku.Â
Nah, polah tingkah, kelucuan, kebandelan, senda gurau, bahkan pertengkaran anak-anak yang setiap hari lewat inilah yang memberi inspirasi untuk menulis cerpen remaja.Â
Pertama kali mengirim cerpen remaja, tulisan saya langsung dimuat. Wow.. Ini jelas membuat kepercayaan diri saya tumbuh, bangga, bahagia, dan menjadi mood booster untuk karya selanjutnya.
Selain mendapat paket kiriman majalah sebagai tanda pemuatan, juga dapat honor yang lumayan. Saat itu, tahun 2002, 20 tahun yang lalu honornya 200 ribu untuk sebuah cerpen yang dimuat.Â
Bahagia banget. Si sulung dan si bungsu yang kutraktir dan ku suruh pilih sendiri. Masing-masing cuma memilih 2 cup es krim. Sungguh anak-anak yang mirip emaknya. Sederhana banget keinginannya, hihihi..Â
Tapi tidak semudah itu, selanjutnya, berkali-kali naskah saya juga dikembalikan. Kemudian ada yang dimuat lagi. Pokoknya saat itu menulis cerpen menjadi hiburan tersendiri di samping aktivitas utama mendampingi dua buah hati saya tumbuh dan berkembang.Â
Pernah komputer kena virus, dan puluhan cerpen dan cerita bersambung tak terselamatkan. Membuat saya sempat putus asa. Tapi kembali cerpen saya ada yang dimuat, jadi semangat lagi.Â
Semoga suatu saat saya bisa menembusnya. Insya Allah akan berusaha, karena saat ini saya mempunyai banyak waktu luang untuk menulis. Tapi baru 2 buku yang saya tulis, yang pertama kumpulan cerpen, dan sebuah novel yang bercerita tentang pendakian.Â
Terima kasih Kompasiana, yang membuat saya kembali menemukan aktivitas yang sempat hilang.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI