Di Bawah Temaram Lampion
Angin berhembus sepoi, ekor lampion menjuntai, Meliuk lembut bagai gemulai putri kedaton.
Gebyar mewah menyihir penghuni keraton.
 Tiada mekar bunga persik atau plum, apalagi wangi peony, tapi harum mawar, kantil dan kenanga.
Merah bukan darah, tapi indah diharap berkah. Berbahagialah, beri doa dan ucap harap yang berfaedah.
Merona langit senja, dalam bayang-bayang sakral nan asing.
Sejenak menjemput angan terbuai angin,
Nuansa jingga mewarna aroma senja.
Terbaur luruh budaya manca melebur, meski terasa kabur.
Bandeng utuh, menghias boga, tapi please... Jangan daging ayam, apalagi sayapnya.
Lumpia lezat, silakan... Tapi jangan telur rebus yang putih memucat.
Santap lah mie, suhu berkata, itu simbol panjang umur.
Singkirkan sayap ayam, tutuplah dengan salad buah.
Imlek tersenyum ceria, di bawah merah lampion.
Angpao angpao hilir mudik, memberi tapi menerima,
Berharap hoki, berbagi harta.Â
Suara barongsai mengetuk dada,
Gemuruh riuh sampai ke jantung.
Dengarlah suara mengaum, macan air mewujud shio.
Apakah mengaum tanda bahaya?
Apakah air memancarkan energi kehidupan?
Harap dan doa tentu yang terbaik.
Hanya kuangan libur dalam semarak dan meriah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H