"Malam tahun baru kok malah gitaran. Mbok ya melakukan hal-hal yang bermanfaat,"
Komen yang lugas, tanpa tedeng aling-aling. Membuatku tersenyum simpul. Marah? Tidak! Tersinggung? Tidak. Mungkin ucapan itu mewakili pendapat banyak orang. Entah yang secara lugas mengungkapkan, atau sekedar berkata dalam hati.Â
Saya tidak marah, sebab memang itu pendapat wajar ketika melihat suasana persiapan begadang yang biasa dilakukan menyambut tahun baru Jawa, yang biasa dikenal dengan malam 1 suro. Seharusnya saat seperti ini digunakan untuk tirakat, laku prihatin, apalagi di saat pandemi yang kian lama justru semakin mencekam untuk beberapa daerah dan beberapa suguhan berita.  Tirakat bagi masyarakat Jawa ini melambangkan sikap untuk "eling lan waspodo". Selalu terjaga di setiap keadaan. Yang pasti tidak hanya semalam suntuk, tapi setiap saat, setiap waktu, setiap kondisi dan di mana saja berada. Tirakat ini dilaksanakan dengan lek-lekan, mengurangi waktu tidur, begadang untuk lebih banyak berjaga, di samping itu juga dianjurkan untuk banyak berpuasa.Â
Sedangkan dalam penanggalan hijriah, malam 1 suro bertepatan dengan tanggal 1 muharram. Di era digital sekarang ini, sangat mudah untuk mendapatkan penjelasan amalan-amalan yang bisa dilakukan, membaca doa awal dan akhir tahun, memperbanyak puasa, memperbanyak amalan sunah dan banyak lagi yang mencontohkan hal - hal spesifik di bulan muharram. Mengerjakan hal-hal positif yang bisa dilakukan akan membuat kenyamanan dan ketentraman di hati kita.Â
Kebetulan akhir tahun bertepatan dengan hari senin, jadi awal tahun hijriah kali ini kita awali dengan berbuka puasa saat waktu maghrib tiba.Â
Paling tidak kita secara otomatis sudah mengawalinya dengan mengendalikan syahwat perut, diikuti dengan lebih banyak terjaga, yang tentu saja bagi yang sudah biasa terjaga di sepertiga malam, hal ini sudah biasa dilakukan.Â
"Ayo dek, lek-lekan malam suro, " Suamiku senyum-senyum ke arahku sambil mencangking lampu listrik sebagai sumber tenaganya. Dia segera membuka pintu belakang dan menggantung lampunya di gazebo pojok belakang rumah. Tak lama dia kembali masuk rumah. Aku segera menyeduh kopi dan memasukkannya ke termos alumunium berkapasitas 2 gelas.Â
Sedang termos satunya berisi air jahe. Sejujurnya kami sangat jarang minum kopi. Tak lupa kusiapkan juga camilan yang sudah tersedia, pisang rebus, kacang bawang, biskuit dan buah-buahan.Â
Tidak ada makan besar, karena kami sudah mengkonsumsi nya waktu tadi berbuka. Seiring usia, kapasitas perut kami semakin limit, jadi tanpa mengurangi makan pun aktifitas seputar perut itu berkurang dengan sendirinya.Â
"Dek, jangan lupa gitarnya dibawa", suamiku berteriak sambil asyik dengan gadgetnya. Ternyata dia lupa mengisi jurnal. Mungkin karena terlalu fokus mengisi amalan akhir dan awal tahun membuatnya lupa melakukan kewajiban kerjanya.