Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kecewa dan Kemanusiaan Antara Bisnis dan Humanisme

13 Juni 2021   18:03 Diperbarui: 15 Juni 2021   05:16 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Botok tahu buatanku. Koleksi pribadi.

Hari minggu. Suamiku mengajak cari sarapan di luar. Katanya dia pengin bubur ayam jalan Diponegoro Kota Madiun. Sejujurnya aku  kurang suka bubur ayam, mengingatkanku biasa makan bubur di saat sakit. Pastilah rasanya tak enak, sekalipun sebenarnya lezat juga. 

Lagian sabtu kemarin kami  baru makan di luar, hunting  sate dan gule kambing di jalan Diponegoro juga atas rekomendasi salah satu akun instagram yang kufollow. Terlalu sering makan di luar, apalagi di saat pandemi sepertinya kurang bijak meski protkes tetap kami lakukan. 

 Tapi setelah kupikir lumayan juga aku bisa sambil belanja mingguan. Aku juga butuh membeli ember besar untuk menampung lele yang rencananya akan segera kami panen, bisa nebeng mobil suamiku, kalau belanja sendiri dan tidak belanja yang ribet aku lebih suka naik sepeda motor. Bisa sluman slumun Slamet, tidak ribet mencari tempat parkir, praktis, ekonomis, dan cepat. 

Di tengah perjalanan suamiku malah tergoda sarapan soto di depot langganan kami. Tapi tempatnya di seberang jalan satu arah yang kami lalui. 

"Nanti buryam nya dibungkus saja ya,Dek, kita sarapan di depot tower. Aku kok tiba-tiba pengin soto", (waduh, semoga bukan ngidam). 

Aku diam saja. Orang yang aneh. Tapi kemudian kujawab" Ya sudah. Kita sarapan di depot tower saja, tidak usah beli buryam. Nanti kalau tidak kemakan kan sayang".

Tapi suamiku tetap nekad menjalankan mobilnya ke arah kota. "Kita jalan-jalan dulu saja, santai sambil liat suasana kota. 

" Mampir balai kota saja, aku mau liat patung merlion kepala singa. Mo selfi sebentar kataku 

Suamiku setuju menuruti keinginanku. Tapi lagi-lagi  kesulitan mencari tempat parkir. Kulihat di sekitar balai kota juga banyak orang berjalan-jalan dan berwisata. Apalagi di sekitar kepala singa yang merupakan tiruan dari patung asli yang ada di Singapura. Sempat mendapat cemooh dan cibiran, tidak menyurutkan niat pak walikota untuk tetap membangun ikon-ikon negara lain di daerahnya. Bahkan suasana sekitar balai kota sudah sejak lama disulap ala malioboro . Di saat pandemi sepertinya hal ini justru menjadi langkah tepat untuk memberi hiburan yang murah, bahkan gratis, mudah dan dekat. 

Di saat aku asyik dengan pikiranku sendiri, suamiku justru semakin kencang melajukan mobilnya, tidak jadi mampir. Aku hanya menghela nafas dalam. Pasrah. Terserah lah. 

Selepas sarapan suamiku  mengajak  silaturahmi ke tempat temannya di Ponorogo, padahal tadi pagi aku belum sempat membenahi rumah dan memasak untuk siang. Tapi ya sudahlah. Sesekali mengabaikan rutinitas, tak ada salahnya menikmati hari libur sesuai keinginan kita. 

Sekitar jam 10.00 wib kami pulang dan berniat belanja. Sekitar jam 11.00 wib aku selesai belanja barang-barang yang kubutuhkan. Sambil menuju arah pulang,aku meminta suamiku mampir di grosir ayam. Asyik menikmati hari, sampai lupa kalau ada undangan pengajian jam 10.00 tadi. Membuat suamiku tak fokus dan malah memarkir mobilnya di depot prasmanan yang terlihat sepi, tak ada satupun pengunjung. 

Sejenak mataku menangkap tulisan rujak es krim dan bermacam es krim lainnya, aneka jenang dan aneka masakan. Aku mampir sebentar, ternyata penjualnya hanya sendiri, Kira-kira sebaya ibuku. Bahkan cara berjalannya, salah satu kakinya sedikit diseret mirip ibu. 

"Sebentar ya mbak, agak lama gak papa? Soalnya aku cuma sendiri".

" Iya, bu. Gak papa. Kalau begitu, sambil ibu menyiapkan pesanan saya, saya tinggal beli ayam di grosir sebelah ya, bu. 

"Ya, mbak".

Selesai beli ayam, pesananku ternyata belum siap. Aku agak heran sebenarnya, kenapa lama sekali, biasanya rujak es krim langganan ku, kalau melayani tinggal mewadahi rujak dan di scoop esnya. Tapi sang ibu sepertinya justru sedang repot menyerut es batu. Sambil menunggu pesanan mataku beredar melihat bermacam lauk yang ditutup kain atau tisue, ada juga nampan berisi tum-tum an daun pisang seperti botok, garang asem, pelas, dll. 

Botoknya mbak. Garam asem juga ada, beliau menawarkan. 

"Iya bu, " Aku mengambil 4 bungkus botok, lumayan murah untuk ukuran depot, meski biasanya di pasar aku bisa mendapatkan 6 bungkus untuk harga 5 rb. Sepertinya enak dan bungkusannya besar-besar. Kuambil itu saja, biasanya suamiku suka. Kalau garang asem, takutnya ayam potong, suamiku  tidak suka. Aku tadi belum sempat memasak untuk siang, meski di kulkas ada mangut patin dan tumis sawi telur puyuh. Tinggal manasin, tapi biasanya suamiku rewel kalau tidak ada masakan baru. 

Suamiku baru pulang shalat dhuhur dari masjid, untunglah aku sudah selesai manasin dan menatanya di meja. Benar saja suamiku mengernyit, sadar kalau menunya sama dengan tadi malam. 

"Nyobain botok di warung prasmanan tadi, kayanya enak", kataku sambil tersenyum manis. 

" Mau es krim rujak Mas? Ternyata di situ juga ada es krim rujak lho. Kayanya juga enak. Tidak perlu jauh-jauh kalau kepengin. Kuambil 2 bungkus es krim yang tadi kubeli. 

"Es krim apa ini? Tidak menarik blas. Warnanya kok coklat browning gitu? "

"Rujak nya mungkin, Mas" Kataku sambil membuka tutup segel nya dan langsung kuicip. Sejenak aku nyengir, rasanya hambar, meski ada toping meses dan susu coklatnya. Ku aduk mencari es krim nya, tapi tak ada, hanya serutan es batu dan rujak. Emm... Sebentar, sepertinya bukan rujak, tapi hanya buah yang diserut. Melihat aku hanya mengaduk-aduk 'es krimku', suamiku kembali berkata. 

'Wong es krim kok ditaburi es batu sama gula pasir". 

Owh..  bener seperinya ini bukan es krim, tapi serutan buah, serutan es batu, ditaburi gula pasir, meses, dan susu coklat. 

"Ya sudah, sini es krim nya buat aku semua", kuambil punya suamiku yang belum dibuka dan ku masukkan freezer lagi. . Punyaku yang sudah terbuka ku tambah sirup dan air, jd es sirup serut buah adakadabra, hihihi.. 

Suamiku sudah beralih menyendok nasi dan membuka botoknya. Lagi-lagi dia mengernyit dan melirik ku tajam. 

"Hadeuh, ada apa lagi nih? " Batinku. Seperti bisa membaca pikiranku, suamiku berkata, " Kamu coba sendiri sajalah! "

Dengan antusias dan penasaran kubuka. Taraaa..! Aneh, botok biasanya terdiri dari bermacam bahan, ini seperti cuma ada irisan batang sawi hijau dan sedikit parutan kelapa. Kuicip tak ada rasanya,dengan sedikit rasa pahit yang dominan tapi samar, bahkan bumbunya sama sekali tak terasa. Ku lirik suamiku yang mengaduk-aduk botok dengan masakanku. "Semoga jadi enak, "batinku. 

Masih ada 2 bungkus, tapi rasanya aku sudah tak berselera apalagi suamiku. Mungkin sang ibu penjual memasak menu diet versi dirinya sendiri. Bisa jadi kalau dilabeli " menu diet sehat lansia" malah bisa laris. Dengan sangat terpaksa sepertinya aku harus mengikuti pemikiran Gus Baha'. Yang penting dibeli, masalah nantinya jadi rejekinya bakteri dan miroorganisme pengurai, itu tak masalah, yang penting kita sudah berbagi  terhadap sesama makhluk. Nggih Gus... Kali ini terpaksa setuju. Biasanya gak tega buang-buang makanan

Sebagai pengobat kecewa, untuk makan malam ku buatkan suamiku bakso, tahu bakso, dan botok tahu kemangi dengan bahan dan bumbu yang lengkap. Beruntung bahannya tersedia semua di kulkas. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun