Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengintip Perawan di Ujung Selatan

11 Desember 2020   17:39 Diperbarui: 11 Desember 2020   21:21 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Wasis berusaha mengukur kedalaman kedung (Dokpri)

(Goa Bayem dan Kedung Maling)

Dhuhur baru saja menyapa. Cuaca tidak terlalu cerah, tapi sepertinya hari ini tidak akan turun hujan. 

Selepas shalat dan santap siang, suamiku memintaku menemaninya survey lokasi yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekstrakulikuler di alam.

Tak menunggu lama aku sudah siap berangkat. Simpel saja,hanya tas selempang yang berisi dompet, gawai dan mukena. Kostum kasual yang bisa menyesuaikan untuk penelusuran alam. 

Sejujurnya aku belum paham kondisi medan yang akan kami tinjau. Begitu pula suamiku. Tapi menilik goa dan air terjun yang akan kami datangi, aku membayangkan jalan kaki yang cukup jauh dan membutuhkan stamina, serta kondisi alam semak belukar dan pohon-pohon besar yang menjadi magnet tersendiri bagi semua orang yang suka menelusuri alam. 

Dari rumahku menuju jalan raya  madiun-ponorogo ke arah selatan. Sampai Mlilir, kami berbelok ke timur melewati jalan beraspal.

Sampai di depan pintu gerbang taman wisata "Raden Sekar Park", Mas Hendrik dan Mas Wasis sudah menunggu. Mereka adalah murid-murid suamiku yang sudah menjadi alumni. Dulu mereka adalah anggota pecinta alam saat suamiku masih menjadi pembinanya.

Tak menunggu lama, kami segera menuju lokasi, kira-kira masih sekitar 3 km lagi. Sayang sekali, jalan yang kami lalui sudah banyak yang rusak, aspalnya tinggal sebagian dan bergerowong, ditambah tanjakan dan turunan yang membuatku komat-kamit dan tahan nafas sambil memasrahkan diri pada sang pemilik kehidupan.

Di tanjakan dan turunan yang lumayan ekstrim, aku memilih turun dari sepeda motor. Awalnya suamiku memintaku yang mengendarai motor, tapi aku lebih memilih jalan kaki. Ternyata meski hanya sekitar 100m, tapi tanjakan dan turunan itu sudah mampu membuat nafasku tersengal-sengal. Menyadarkanku kalau  umur hampir setengah abad :p

Sampai di batas perkampungan, kami bertemu Pak Bayan dan salah satu alumni SMAN dolopo juga yang tinggal di dekat lokasi. Mas Supriyono, yang akan memandu penelusuran kami. Sebagai warga di situ, dia sudah sangat mengenal daerah itu. Sekaligus paham jarak terdekat untuk mencapai goa bayem dan Kedung Maling.

Pak Bayan memanggil Bu Bayan untuk menemaniku ngobrol di rumahnya kalau aku tidak ingin ikut turun ke bawah.  Aku sempat ragu, pastilah medannya lumayan sulit sampai Pak Bayan menyarankanku untuk menunggu di rumah beliau saja.

Keraguan sekaligus memperbesar rasa penasaranku pada lokasi yang kami tuju. Aku antusias untuk ikut karena memang sudah merindukan petualangan seperti ini. Paling tidak aku sudah pernah dikerjain oleh suamiku waktu di air terjun madakaripura dan kedung malem, dengan tanpa memberitahu sulitnya medan untuk mencapai lokasi itu. Tapi toh aku berhasil mencapai keduanya. Apalagi ini jaraknya dari perkampungan ke lokasi hanya beberapa ratus meter.

Dengan bismillah dan ketetapan hati aku ikut. Agak sungkan juga merepotkan  Mas Hendrik yang memainkan sabitnya untuk membuka jalan dan Mas Wasis yang membuat trap-trapan darurat agar aku lebih mudah turun ke bawah dengan kondisi medan dalam kemiringan sekitar 75 derajad. Di beberapa tempat aku lebih memilih duduk dan menggeser pantatku untuk turun. 

Untung kulot jinsku mendukung keleluasaan bergerak, dan lututku yang pernah terkilir dan sering rewel kali ini begitu bersahabat. Pelan tapi pasti aku bisa mengikuti perjalanan para lelaki. 

Alhamdulillah, akhirnya berhasil menerobos semak-semak dan sampai ke sungai dengan air yang tidak terlalu banyak. Membuat batu-batu yang bersembulan bisa kami gunakan untuk meloncat sehingga tidak perlu terbasahi oleh air sungai.

Mas Wasis dan Mas Hendrik membuat jalan di lereng sungai dengan cangkulnya, sehingga aku bisa menapak di situ, berjalan miring dengan berpegangan pada batu yang menonjol, akar pohon, maupun perdu yang tumbuh di tepi sungai. Suasana hening, karena memang hampir tidak pernah dilalui warga, begitu kata Mas Supri.

Akhirnya kami  sampai di delta sungai yang agak luas untuk berpijak. Ke kiri dan naik ke atas, terlihat bangunan tampungan air yang terletak di bawah mulut Goa bayem.

Rute menuju goa bayem (Dokpri)
Rute menuju goa bayem (Dokpri)

Untuk naik ke Goa harus membuat jalan sendiri. Mas Hendrik dan Mas Wasis kembali merintis jalan. Suamiku mengikutinya. Awalnya aku memutuskan untuk menunggu di bawah, tapi akhirnya aku tergoda untuk ikut naik, apalagi mereka bertiga sudah berfoto-foto di atas, akupun memutuskan untuk naik meski harus merangkak dan menggenggam akar pohon yang menggelantung. 

Seru pokoknya. Akupun bisa menyaksikan sendiri mulut Goa Bayem yang mirip terowongan. Dengan mulut goa yang sempit tapi mungkin semakin ke dalam semakin luas. 

Sayangnya kami tidak membawa peralatan yang memadai. Bahkan senterpun terlupa. Konon kabarnya pintu Goa ini tembus ke desa sebelah, tapi kami tidak berani menelusuri, karena pintunya sedikit tertimbun tanah, basah berair dan licin. Kami harus puas hanya mencapai mulut goa.

Di depan mulut goa bayem (Dokpri)
Di depan mulut goa bayem (Dokpri)

Goa ini nyaris belum pernah terjamah, boleh dikatakan masih perawan, meski ada pengakuan warga yang mengatakan, bila masuk terus ke dalam goa, maka mulut goa yang lain tembus ke desa sebelah. Misteri yang belum terpecahkan.

Menantang para petualang untuk mengeksplor dan menguak pesona goa Bayem. 

Satu lagi yang masih membuatku penasaran, kenapa goa ini dinamakan goa bayem, padahal tidak satupun tanaman bayem(bayam) tumbuh di sekitarnya. . Mungkin lebih tepat kalau disebut goa keladi, sebab di sekitar goa dan jalan menuju ke goa banyak tumbuh keladi, bahkan ada yang berukuran raksasa. Entahlah.....

Keladi raksasa. Berfoto di sini tak menyangka kalau untuk mencapainya butuh perjuangan dan stamina.  Tua-tua keladi, makin tua semakin  menikmati. (Dokpri)
Keladi raksasa. Berfoto di sini tak menyangka kalau untuk mencapainya butuh perjuangan dan stamina.  Tua-tua keladi, makin tua semakin  menikmati. (Dokpri)

Usai turun dari goa bayem, Mas Supri sudah menanti di sisi kanan untuk mencapai kedung maling. Menurut Mas Supri, tempat ini dinamai kedung maling karena dulu ada maling (pencuri)  yang melarikan diri, dan bersembunyi di situ. Tapi ketahuan karena tercebur di dalam kedung. Maka tempat itu dinamai kedung maling.

Rute menuju kedung maling (Dokpri)
Rute menuju kedung maling (Dokpri)

Beberapa puluh tahun yang lalu, anak-anak biasa main di kedung maling untuk mandi, berenang dan bermain, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi dikunjungi. Generasi Mas Supri kebanyakan sudah berkeluarga, dan anak-anaknya adalah generasi mileneal.

Mas Wasis berusaha mengukur kedalaman kedung (Dokpri)
Mas Wasis berusaha mengukur kedalaman kedung (Dokpri)

Kedung maling (Dokpri)
Kedung maling (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun