Pak Bayan memanggil Bu Bayan untuk menemaniku ngobrol di rumahnya kalau aku tidak ingin ikut turun ke bawah. Â Aku sempat ragu, pastilah medannya lumayan sulit sampai Pak Bayan menyarankanku untuk menunggu di rumah beliau saja.
Keraguan sekaligus memperbesar rasa penasaranku pada lokasi yang kami tuju. Aku antusias untuk ikut karena memang sudah merindukan petualangan seperti ini. Paling tidak aku sudah pernah dikerjain oleh suamiku waktu di air terjun madakaripura dan kedung malem, dengan tanpa memberitahu sulitnya medan untuk mencapai lokasi itu. Tapi toh aku berhasil mencapai keduanya. Apalagi ini jaraknya dari perkampungan ke lokasi hanya beberapa ratus meter.
Dengan bismillah dan ketetapan hati aku ikut. Agak sungkan juga merepotkan  Mas Hendrik yang memainkan sabitnya untuk membuka jalan dan Mas Wasis yang membuat trap-trapan darurat agar aku lebih mudah turun ke bawah dengan kondisi medan dalam kemiringan sekitar 75 derajad. Di beberapa tempat aku lebih memilih duduk dan menggeser pantatku untuk turun.Â
Untung kulot jinsku mendukung keleluasaan bergerak, dan lututku yang pernah terkilir dan sering rewel kali ini begitu bersahabat. Pelan tapi pasti aku bisa mengikuti perjalanan para lelaki.Â
Alhamdulillah, akhirnya berhasil menerobos semak-semak dan sampai ke sungai dengan air yang tidak terlalu banyak. Membuat batu-batu yang bersembulan bisa kami gunakan untuk meloncat sehingga tidak perlu terbasahi oleh air sungai.
Mas Wasis dan Mas Hendrik membuat jalan di lereng sungai dengan cangkulnya, sehingga aku bisa menapak di situ, berjalan miring dengan berpegangan pada batu yang menonjol, akar pohon, maupun perdu yang tumbuh di tepi sungai. Suasana hening, karena memang hampir tidak pernah dilalui warga, begitu kata Mas Supri.
Akhirnya kami  sampai di delta sungai yang agak luas untuk berpijak. Ke kiri dan naik ke atas, terlihat bangunan tampungan air yang terletak di bawah mulut Goa bayem.
Untuk naik ke Goa harus membuat jalan sendiri. Mas Hendrik dan Mas Wasis kembali merintis jalan. Suamiku mengikutinya. Awalnya aku memutuskan untuk menunggu di bawah, tapi akhirnya aku tergoda untuk ikut naik, apalagi mereka bertiga sudah berfoto-foto di atas, akupun memutuskan untuk naik meski harus merangkak dan menggenggam akar pohon yang menggelantung.Â
Seru pokoknya. Akupun bisa menyaksikan sendiri mulut Goa Bayem yang mirip terowongan. Dengan mulut goa yang sempit tapi mungkin semakin ke dalam semakin luas.Â
Sayangnya kami tidak membawa peralatan yang memadai. Bahkan senterpun terlupa. Konon kabarnya pintu Goa ini tembus ke desa sebelah, tapi kami tidak berani menelusuri, karena pintunya sedikit tertimbun tanah, basah berair dan licin. Kami harus puas hanya mencapai mulut goa.