Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"Anjay" dan Bahasa Gali

1 September 2020   07:30 Diperbarui: 25 September 2020   09:40 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Urutan aksara jawa yang menjadi dasar terbentuknya bahasa gali/senibudayaku.com

Lutfi Agizal, seorang youtuber, menyampaikan keresahannya mengenai kata "anjay" yang sedang viral beberapa hari ini. Awalnya dia hanya bermaksud menyindir  seorang artis yang sering menggunakan kata-kata itu. Tapi,dia menjadi prihatin ketika kata-kata itu yang dianggapnya kurang pantas diucapkan oleh anak kecil. Komnas perlindungan  anak pun mengambil langkah cepat dengan melarang penggunaan kata-kata itu jika dimaksudkan untuk mempermalukan, melukai perasaan atau merendahkan harga diri orang lain.

Beragam tanggapan muncul atas fenomena ini. Dari pakar bahasa sampai kaum mileneal angkat bicara. 

Beberapa ahli bahasa menyoroti hubungan kata "anjay" dengan kesantunan berbahasa, yang dianggap kurang pantas karena "anjay" dianggap berasal dari kata anjing yang diperhalus. Padahal selama ini anjing merupakan hewan berkaki empat yang sering dipergunakan untuk mengatai secara kasar. 

Ada juga ahli lain yang lebih santai dengan mengatakan bahwa kata "anjay" timbul dari keragaman bahasa dan budaya yang berkembang pesat di lingkungan masyarakat khususnya kaum milineal.

Yang lebih radikal justru datang dari kaum mileneal, di saat kata "anjay" dilarang penggunaannya, ada seorang remaja  yang justru mengunggah video dengan mengucap kata"anjay" sebanyak 100 ribu kali.

Sebagai seorang ibu, sebenarnya saya juga kurang suka dengan penggunaan kata "anjay" dan bahasa alay lainnya yang biasa dipergunakan anak saya. Seperti misalnya ketika menjawab WA saya, dia hanya menjawab "njirr" atau "njrit". Bisa jadi kalau kata-kata itu diucapkan pada suami saya, beliau akan sangat marah, karena kata itu dianggap sangat kasar dan tidak sopan dengan menganggap asal kata njirr dan njritt itu dari kata anjing.

Tapi saya lebih kompromis, karena saya paham kata-kata itu ditujukan anak saya untuk menggantikan kata " njih" atau nggih, yang artinya iya dlm bahasa jawa krama alus. Meski bisa memaklumi, saya tetap tak bosan mengingatkan anak saya yang biasa berbahasa seenak sendiri, sebagaimana dia juga kadang-kadang saling menyapa dengan kata cuk(dancuk) pada teman-temannya, yang secara umum maknanya sangat kasar bila diucapkan dalam keadaan marah, tapi di antara teman akrab maknanya justru menggambarkan keakraban orang yang menyapa dan yang disapa. Terkadang berbahasa selalu santun dan tertata dalam pergaulan justru sangat membosankan.

Ada seorang ahli bahasa yang pendapatnya saya sukai.

Kata itu netral, Manusia membuatnya memihak," kata Ivan Lanin di Twitter miliknya, Sabtu (29/8/20)

Seperti halnya kata "anjay" bisa bermakna banyak kata.

"Anjay....kok bisa begitu? (astaga)

" Anjay...keren banget lu ye...(kagum)

"Anjay, sudah capek-capek, gagal! ( sialan)

Dan tentunya ada banyak makna anjay yang lain yang biasa digunakan oleh kaum mileneal untuk mengekspresikan maksudnya.

Tapi lebih jauh lagi tentang makna kata, ada hal yang juga kontroversial di saat saya muda, sekitar tahun 80'an. Juga tentang penggunaan bahasa. Yaitu bahasa gali(gabungan anak liar). Kalau ditinjau dari asal munculnya bahasa ini, tentu para orang tua akan resah dan miris bila anak-anaknya menggunakan bahasa slank seperti ini. Sebab gali yang terkenal di sekitar tahun 80'an dan berkembang di yogyakarta itu memang sangat meresahkan, bahkan sempat dihubungkan dengan petrus (penembakan misterius) di kala itu. 

Padahal bahasa ini juga bisa menjadi bahasa sandi, yang diajarkan pada saat kegiatan pramuka untuk pokok bahasan sandi. Sebab bahasa ini berasal dari urutan huruf jawa yang dijodohkan. Ha dengan pa, na dengan dha, ca dengan ja dan seterusnya. Itulah awal mula nama saya menjadi Pib. 

Dan karena terdengar menarik, sampai sekarang sahabat-sahabat yang akrab dengan  saya masih sering memanggil saya dengan nama itu. Saya tidak keberatan, bahkan terkadang saya sendiri yang suka menggunakan nama itu. Tapi untuk orang yang paham tapi selalu berpikiran negatif, bahasa seperti itu akan mengasosiasikan pada hal-hal yang buruk. Padahal bagi saya dan teman-teman yang sepaham, bahasa itu sekedar bahasa gaul di masa saya muda dan bangga sebagai anak muda yang mempunyai keunikan dan ciri khas sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun