Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Qana'ah Sang Bakri

17 April 2020   12:24 Diperbarui: 19 April 2020   16:22 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari murung, wajahnya tak secerah biasanya. Mendung dan pucat, mengintip dari balik kerimbunan jati yg berpaut rapat. Bakri bersiul sambil mengelap sepeda jengki birunya yang kinclong, sekinclong dahinya yang melebar berhiaskan rambut yang mulai memutih.

"Umar bakri....umar bakri...jadi guru jujur berbakti memang makan nasi,............" 

mulutnya bersenandung dan pantatnya geal-geol, sambil tertawa sendiri ketika sadar dirinya telah mengubah kata terakhir lirik lagu yang baru saja dinyanyikannya.

 "Mas.....sarapan dulu," istrinya sedikit berteriak meski tidak keras.

"Iya, bentar. Sedikit lagi,"

 Bakri masih asyik mengelap sepeda kesayangannya. Bukan sepeda yang dinaikinya setiap pergi mengajar, sebab jarak rumah dan sekolahnya cukup jauh dengan lalu lintas yang ramai. Biasanya dia menaiki sepeda motornya. Sepeda onthel ini dinaikinya kalau pergi berjamaah shalat ke masjid yang jaraknya hanya sekitar 250 meter dari rumahnya.

"Mas....golongan 1v tidak dapat THR.." 

istrinya berteriak lagi. Tapi tidak keras. Bakri hanya tersenyum. Dirinya sudah tidak tertarik membahas THR. Wabah corona sudah memporak porandakan negara. Bahkan sekedar memberi THR guru-guru menjelang pensiun seperti dirinyapun tak mampu. Negara memikul beban yang terlalu berat untuk menghadapi wabah yang menerjang perekonomian negara yang memang sudah kembang kempis. Diam-diam dirinya bersyukur bisa menjadi bagian dari donatur korban wabah corona, disejajarkan dengan para pejabat negara dengan tidak menerima THR. Negara benar-benar bangkrut.

Tadi selepas subuh sempat dibukanya chat WA dari teman sejawat. Ada juga yang mengeluh, karena THR dan gaji ke 13 biasanya dicadangkan untuk biaya UKT dan biaya kost anak-anaknya yang masih kuliah. Umur seperti dirinya, apalagi yang menikah di usia tiga puluhan seperti dirinya, saat ini memang sedang repot-repotnya menguliahkan anak. Terkadang ada yang mencadangkan uang THR dan gaji ke-13 untuk memenuhi kebutuhan kuliah anaknya.

- Semoga UKT semester ini gratis untuk semua universitas :-D....

-Anak-anak suruh pulang semua, tidak usah kost, jadi gak butuh biaya kost.....

-Ngirit..ngirit..

-Siap Drop out...

Jawaban chat di grup WA teman sejawatnya sahut menyahut, ada juga yang menulis chat dalam grup agak sarkatis. Bermacam tanggapan teman-teman sejawatnya menanggapi tidak diberikannya THR pada golongan 1v. Ada juga yang masih ngeyel, entah salah tafsir atau terpengaruh adanya PHP yang memberi harapan palsu, atau memang kenyataannya guru golongan 1v masih menerima THR tapi dipotong.

- Golongan 1v masih menerima kok, yang tidak menerima itu yang esselon I dan Il.....

- Esselon...beritanya esselon...kita kan guru biasa....

- Tapi di beritanya yang dianggarkan cuma PNS golongan I sampai III.....

- Sudahlah, malu meributkan THR di saat negara pontang panting mengatur anggaran...

- Terima saja apa maunya pemerintah, dikasih syukur, gak dikasih tafakur...

Bakri hanya tersenyum. Dirinya sudah tak berminat menanggapi berita-berita tidak jelas seperti itu. Dirinya sudah merdeka. Tak terpengaruh dengan semua itu. Dirinya sudah terbiasa hidup secukupnya, semua serba cukup. Anak-anaknyapun telah dia didik seperti itu. Mereka masih bertahan di kost, tetap menikmati hidupnya. Meski semua laki-laki tak canggung memasak sendiri, sehingga tak terlalu terpengaruh ketika tidak ada atau jarang penjual makanan matang. Bakri yakin Allah akan selalu mencukupkan kebutuhannya jika dia selalu hidup secukupnya.

"Mas...sarapan enggak?"  Aku buatin bistik corona," 

istrinya berteriak lagi, lebih keras dari sebelumnya, membuat tetangga mungkin bisa mendengar suaranya. Bakri bergegas mencuci tangannya memakai sabun, membayangkan bistik daging yang lezat buatan istrinya. 

"Ah...di saat seperti inipun aku masih bisa menyantap bistik,"

 Bakri tersenyum sambil bergumam dalam hati.

" Mana bistiknya, Dek? Kok adanya tempe?" Bakri mengernyitkan kening.

"Kan bistik corona? Dagingnya diganti tempe," istrinya tersenyum jenaka.

"Alhamdulillah..." Bakri tersenyum...dan tertawa bersama istri yang sangat disayanginya, yang tidak pernah susah dan selalu gembira.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun