Keputusan merupakan salah satu hal yang mengarahkan jalan hidup seseorang. Pengambilan keputusan merupakan proses individu dalam menentukan alternatif pilihan pada situasi tertentu. Dalam mengambil sebuah keputusan, seseorang harus sangat berhati-hati. Emosi yang menyertai dalam pengambilan keputusan juga harus diperhatikan. Saat mengambil sebuah keputusan, kondisi emosi harus stabil agar pikiran dapat berfikir dengan jernih. Sehingga keputusan yang diambil tidak berdasarkan emosi saja namun merupakan hasil pemikiran yang matang. Hal ini dapat menghindarkan seseorang dari penyesalan.
Keputusan penting dari kehidupan seperti pendidikan, karir, pernikahan, dan lain-lain harus dipikirkan dengan matang dan berorientasi secara jangka panjang karena mempengaruhi masa depan. Keputusan yang didasarkan muatan emosi seringkali berujung penyesalan karena tidak disertai komitmen.Â
Contohnya, seorang laki-laki menghamili wanita di luar pernikahan namun tidak ingin bertanggungjawab dengan melakukan pernikahan. Keputusan untuk melakukan menghamili wanita tersebut didasarkan oleh emosi sesaat. Hal ini mengakibatkan penyesalan pada wanita karena membiarkan emosi cinta yang buta menguasai dirinya. Jika seseorang sudah mengambil keputusan, maka harus berani mempertanggungjawabkan konsekuensinya.
Dalam beberapa kasus, seseorang yang dalam emosi negatif seperti marah dan sedih cenderung mengambil keputusan dengan gegabah dan tidak berfikir dalam jangka panjang. Kasus lain, pengambilan keputusan yang disertai oleh emosi positif seperti terlalu senang/bahagia cenderung membuat janji yang sulit untuk ia lakukan. Hal ini dapat merugikan jika kita melakukan keputusan yang salah karena didasari oleh emosi.
Emosi yang terlalu berlarut-larut dibiarkan akan sangat mengganggu aktivitas keseharian. Hal ini terjadi karena emosi tertentu yang menyertai aktivitas memiliki dampak tersendiri. Emosi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Oleh sebab itu kita perlu mengetahui emosi itu sendiri agar kita senantiasa dapat mengkontrol emosi dengan baik sehingga saat mengambil keputusan akan terhindar dari penyesalan.
Emosi sulit untuk didefinisikan secara paten karena peneliti terdahulu cenderung memfokuskan pada satu dari tiga komponen emosi. Namun saat ini ada sebuah realisasi bahwa definisi harus terdiri dari tiga komponen, sehingga emosi dapat didefinisikan sebagai hasil koordinasi dari pengalaman subjektif, perilaku yang diekspresikan, dan pengaruh fisiologis/neurologis dengan berbagai durasi (Arne Vikan, 2017).Â
Ada tiga teori mengenai emosi menurut Weiten (2013) yaiu James-Lange, Cannon-Bard, dan Schachter's Two-Factor. Menurut teori James-Lange, pengalaman emosi dihasilkan dari adanya stimulus yang menimbulkan respon fisiologis sehingga adanya emosi tertentu. Namun menurut Cannon-Bard, pengalaman emosi dihasilkan dari adanya stimulus yang menimbulkan respon fisiologis disertai emosi yang terjadi secara bersamaan.Â
Sedangkan menurut Schachter's Two-Factor, pengalaman emosi dihasilkan dari adanya stimulus yang merangsang respon fisiologis dan proses kognitif sehingga timbul emosi tertentu. Ilustrasi teori James-Lange adalah ketika kita dikejutkan (stimulus), maka terjadi respon fisiologis berupa jantung berdebar-debar sehingga kita merasakan emosi takut.Â
Sedangkan ilustrasi dari Cannon-Bard adalah ketika dikejutkan (stimulus), maka jantung berdebar-debar (respon fisiologis) dan emosi takut terjadi secara bersamaan. Ilustrasi teori Schachter's Two-Factor adalah ketika dikejutkan (stimulus), maka jantung berdebar-debar (respon fisiologis) dan melabeli situasi ini sebagai peristiwa yang berbahaya (proses kognitif) sehingga merasakan emosi takut.
Ada tiga elemen dari emosi. Yang pertama adalah pengalaman subjektif, tiap individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Contohnya, ketika dua orang dikondisikan untuk presentasi di depan, salah satu merasa gugup dan cemas sedangkan yang lain merasa bersemangat.Â
Hal ini menunjukkan pengalaman emosional merupakan hal yang subjektif. Namun jika kita dapat berempati yaitu dengan memahami perspektif orang lain, kita mampu merasakan emosi orang tersebut. Kedua, respon fisiologis individu seperti otot tegang, berkeringat, badan gemetar, dan jantung berdetak keras. Ketiga, respon behavioral seperti ekspresi wajah seseorang terhadap kita dapat menimbulkan emosi tertentu. Contohnya, ketika teman tersenyum maka kita otomatis merasa senang.
Emosi berbeda dengan mood, emosi memiliki penyebab yang dapat ditelurusi dan diidentifikasi. Sedangkan mood sulit untuk diketahui penyebabnya. Mood lebih ringan daripada emosi namun lebih tahan lama. Contohnya, seseorang merasa cemas beberapa hari terakhir tanpa alasan yang jelas. Kata "emosi" merupakan konsep umum yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dibandingkan dengan "perasaan", karena perasaan lebih mengacu pada suatu konteks tertentu.
Emosi sangat banyak bentuknya, sehingga ada istilah emosi primer dan sekunder. Emosi primer adalah emosi mendasari emosi lainnya, seperti marah, sedih, takut, nyaman, cinta, terkejut, jijik, dan malu (Goleman, 2009). Sedangkan emosi sekunder adalah emosi yang didasari oleh emosi primer, seperti depresi, cemas, kesepian, optimis, kecewa, bahagia, cemburu, dan lain-lain. Emosi primer seperti sedih dapat menyebabkan dan mendasari emosi lain/sekunder berupa depresi dan kecewa.
Orang awam cenderung mendefinisikan emosi sebagai hal yang negatif. Namun dalam pengetahuan, emosi tidak selalu negatif. Emosi individu ada dua jenis yaitu positif dan negatif (Arne Vikan, 2017). Emosi positif bisa dalam bentuk kebahagiaan dan ketertarikan. Sedangkan emosi negatif adalah sedih, marah, dan takut.Â
Emosi memiliki fungsi dan manfaat terlepas apakah itu emosi positif dan negatif. Contohnya, emosi positif (ketertarikan) sangat diperlukan agar seseorang bersemangat dalam mendalami suatu ilmu pengetahuan. Contoh dalam emosi negatif (takut) memiliki fungsi agar kita menjauhi situasi yang berbahaya.Â
Namun dalam hal ini tidak baik jika membiarkan emosi berlebihan, jika kita terlalu tertarik pada satu hal, kita tidak boleh terlalu obsesi dan semena-mena mengesampingkan hal lain karena boleh jadi ada hal lain yang lebih bermanfaat. Jika emosi takut terlalu kuat dan mendominasi, kita akan selalu menghindar sehingga tidak bisa berkembang dan belajar.
Emosi perlu dikontrol agar stabil dan tidak mendominasi diri dalam mengambil sebuah keputusan, oleh sebab itu diperlukan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi dan memanfaatkan emosi untuk meningkatkan kemampuan berfikir dengan cara mengidentifikasi emosi, mengelola, memahami, dan merefleksikan emosi dengan benar (Mayer, 2004).Â
Mengidentifikasi dan memahami emosi diperlukan untuk merasakan emosi dengan benar dan akurat. Mengelola dan merefleksikan emosi untuk memanfaatkan emosi dengan benar, seperti emosi negatif dimanfaatkan untuk melukis karena emosi dapat mendorong kreativitas.
Kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan intelektual lebih berfokus pada kemampuan berfikir individu. Sedangkan kecerdasan emosional kemampuan individu dalam mengidentifikasi, memahami, mengelola perasaan, dan merespon lingkungan. Orang awam cenderung menganggap bahwa kecerdasan intelektual lebih baik daripada kecerdasan emosional. Padahal baik kecerdasan intelektual maupun emosional sama-sama berperasan penting dalam kesuksesan.
Para tokoh-tokoh besar menekankan pentingnya kecerdasan secara emosional, karena kecerdasan emosional dapat membentuk kepribadian. Kepribadian dapat menentukan masa depan. Untuk menjadi seorang pemimpin, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional lebih berpotensi daripada yang rendah. Seorang pemimpin harus dapat mengelola emosi dan meregulasi diri agar langkah yang diambil tepat, tidak berdasarkan emosi semata, dan disampaikan dengan baik.Â
Jika seseorang hanya cerdas secara intelektual namun rendah secara emosional maka kemungkinan kecil ia dapat survive terhadap lingkungan. Contohnya, individu yang pintar namun kurang bersosialiasi akan membatasi dunianya, sehingga keterampilan sosial kurang. Ketika berada dalam lingkungan pekerjaan akan sulit untuk menyatakan gagasannya, maka percuma jika pintar tapi tidak dapat direalisasikan. Oleh sebab itu kecerdasan emosional dan intelektual sama pentingnya.
Kecerdasan emosi sangat diperlukan dalam menempatkan emosi pada waktu dan tempat yang tepat. Anak kecil seringkali menangis keras dan berteriak didepan umum, namun hal ini tidak terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kecerdasan emosi pada anak masih belum berkembang sepenuhnya. Sehingga ia masih belum bisa mengendalikan emosi dan menempatkan emosi dengan baik. Anak kecil tidak tahu jika menangis dan berteriak akan sangat memalukan.
Kecerdasan emosi dan pengambilan keputusan memiliki hubungan positif (Drastiana, 2016). Kecerdasan emosi yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat keputusan karir. Dalam pengambilan keputusan, seseorang dengan kecerdasan emosi yang rendah akan mudah terbawa suasana dan tidak bisa menyelesaikan masalah. Hal ini tentunya mempengaruhi masa depan, oleh sebab itu keputusan dapat mengarahkan jalan hidup seseorang.
Dalam suatu jurnal penelitian, keterampilan sosial merupakan salah satu kecerdasan emosional yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang bijak secara signifikan (Kusuma & Kawedar, 2011). Keterampilan sosial seseorang sangat diperlukan dalam membina hubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Dengan adanya komunikasi dan hubungan yang baik dengan lingkungan sosial, kita dapat menyampaikan opini untuk keputusan bersama dengan lancar. Sehingga maksud dari opini kita tersampaikan dengan baik, hal ini berdampak positif pada pengambilan keputusan.
Kecerdasan emosional juga tentang pemanfaatan dan penyaluran emosi yang dirasakan menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Dalam kondisi terpuruk kita merasakan emosi negatif seperti sedih, depresi, dan kecewa. Hal ini dapat disalurkan melalui kegiatan seni seperti musik, sastra, dan terapan.Â
Selain dapat melampiaskan emosi dengan baik, kita dapat menghasilkan sebuah karya indah yang dapat dinikmati orang lain. Teknik ini merupakan salah satu teori psikoanalisa Sigmund Freud mengenai defence mechanism yaitu sublimation. Dengan teknik ini kita dapat mengubah energi negatif menjadi positif. Sehingga perasaan dan emosi kita menjadi baik dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setelah mengetahui pentingnya kecerdasan emosi dalam mengambil sebuah keputusan, kini kita perlu meningkatkan kecerdasan emosi. Lantas bagaimana cara mengasah kecerdasan emosional seseorang?
Dilansir dari tirto.id, bahwa Psikolog Bradley Busch menunjukkan cara mengasah kecerdasan emosional di sekolah yaitu dengan cara menjadi pendengar yang aktif, mengajarkan kosakata dari berbagai bentuk emosi, mengembangkan kesadaran diri, berempati terhadap orang lain, mengelola emosi, dan self-regulation (Primastika, 2018). Mendengarkan adalah salah satu kegiatan komunikasi agar mampu memahami dan mengerti orang lain.Â
Kosakata dari berbagai bentuk emosi penting agar anak dapat menyampaikan perasaan yang dialami. Kesadaran diri juga perlu dilatih agar interaksi sosial terjalin dengan baik, karena jika terlalu menujukkan citra diri yang tinggi akan membuat suasana sosial menjadi tidak nyaman. Empati merupakan faktor penting dalam memahami perasaan dan perspektif orang lain. Pengelolaan emosi dan self-regulation diperlukan agar mampu mengendalikan emosi ketika dalam kondisi tidak stabil dan dikuasai oleh emosi yang berlebih.
Dilansir dari pijarpsikologi.org, menurut Putri (2015) ada lima hal untuk menjadi cerdas secara emosi. Yang pertama, mengurangi emosi negatif, individu diharapkan lebih objektif dalam memandang sebuah permasalahan dan lebih optimis. Individu sebaiknya memfokuskan diri pada hal-hal positif dan bersyukur.Â
Kedua, mengurangi kecemasan akan penolakan. Semua orang tentu akan cemas jika dihadapkan oleh situasi penolakan, namun hal itu harus dikurangi. Individu sebaiknya melakukan penerimaan diri, sehingga penolakan yang terjadi diluar kendali/ lingkungan tidak mempengaruhi diri. Ketiga, mengungkapkan perasaan tanpa menyinggung orang lain.Â
Hal ini dilakukan agar kedua belah pihak yang bersangkutan tidak saling merugikan, karena satu sisi seseorang dapat terbuka dan disisi lain seseorang juga dapat memahami. Selain itu pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik tanpa ada kesalahpahaman. Keempat, menghindari pembicaraan bersama orang lain saat sedang dalam emosi negatif agar tidak melampiaskan emosi tersebut ke orang lain. Kelima, tidak berlarut-larut dalam emosi dan memaknai peristiwa dengan mengambil hikmah.
Ada banyak manfaat yang didapat dari kecerdasan emosional/pengendalian emosi yang baik selain menghindarkan diri dari pengambilan keputusan yang salah.Â
Seperti yang dilansir dari Liputan6.com, menurut Silaban (2015) manfaat dari kecerdasan emosional yang baik adalah lebih mudah menyelesaikan masalah karena kemampuan berfikir tidak terganggu oleh emosi, lebih mudah memahami dan mengetahui penyebab emosi yang dirasakan, memiliki kemampuan pengelolaan diri yang baik, berpotensi menjadi seorang pemimpin karena memiliki keterampilan sosial yang baik (keterampilan sosial merupakan salah satu kecerdasan emosional), dan empati yang tinggi sehingga kita tidak hanya memahami diri namun juga perspektif orang lain.
Seseorang dengan kecerdasan emosional yang baik memiliki motivasi yang kuat, karena dalam menghadapi suatu situasi tidak labil dan percaya diri. Selain itu, kecerdasan emosional yang tinggi membuat seseorang lebih dapat dipercaya, karena terlihat lebih dewasa, stabil, berfikir terbuka, sesitif, dan menanggapi masalah dengan tenang.Â
Sehingga dapat dianggap sebagai pemimpin yang bijaksana. Tingginya kecerdasan emosional dapat memprediksi timbulnya perilaku positif, karena pemikiran yang positif dan stabil dapat mempengaruhi perilaku. Seseorang yang cerdas secara emosional cenderung lebih banyak teman. Hal ini terjadi karena suasana hati seseorang yang cerdas secara emosional lebih stabil dan memiliki perilaku positif. Suasana hati seseorang dapat menular, jika ada teman yang terlihat suram. Kita cenderung malas untuk berinteaksi dengannya, karena energi negatif yang ada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan, sehingga saat mengambil sebuah keputusan sebaiknya dalam kondisi emosi yang stabil dan netral. Selain itu, kecerdasan emosional sangat diperlukan untuk mengelola emosi dengan saat mengambil keputusan agar tidak berujung penyesalan karena keputusan dapat mengarahkan jalan hidup seseorang. Banyak manfaat dari memiliki kecerdasan emosional yang baik, sehingga hal ini perlu ditingkatkan dengan berbagai cara di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Arne Vikan. (2017). A Fast Road to the Study of Emotions. Springer.
Drastiana, D. (2016). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Pengambilan keputusan Karir Pada Remaja. University of Muhammadiyah Malang.
Goleman, D. (2009). EMOTIONAL INTELLIGENCE . Bloomsbury.
Kusuma, H. S., & Kawedar, H. W. (2011). PENGARUH PELAKSANAAN ETIKA PROFESI DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAGI AUDITOR. Jurnal Akutansi.
Mayer, J. D. (2004). What is Emotional Intelligence? UNH Personality Lab.
Primastika, W. (2018, Oktober 12). Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/kecerdasan-emosional-itu-penting-kenali-cara-melatihnya-c6qG
Putri, L. Y. (2015, Mei 12). Retrieved from Pijar Psikologi: https://pijarpsikologi.org/5-trik-sederhana-menjadi-pribadi-cerdas-emosi/
Silaban, F. F. (2015, November 16). Retrieved from Liputan6.com: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2364896/manfaat-saat-anda-punya-kecerdasan-emosional
Weiten, W. (2013). Psychology: Themes and Variations. Wadsworth.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H