Gelombang waithood kiat tak terbendung. Membaca artikel the conversation yang memuat data BPS per tahun 2022 membuktikan Indonesia menjadi bagian resesi seksual. Saya telah menulis data lengkapnya di tulisan saya yang bertajuk Persepsi Soal Menikah, Mapan dulu atau Mental dulu?", Alasan yang mulai mencuat dari ketimpangan ekonomi membayangi pernikahan menjadi faktornya.
Kurun dalam waktu 10 tahun terakhir angka perkawinan turun di Indonesia secara tajam, saat tahun 2022 saja hanya 1,7 juta pernikahan padahal tahun sebelumnya mencapai 1,79 juta pernikahan.
Untuk menghidupi satu orang individu membutuhkan dua sampai tiga orang yang bekerja. Tentu tidak bisa dinafikkan jika alasan tersebut dinormalisasikan sebagai faktor pendorong banyak orang untuk tidak menikah. Ekonomi global yang semakin menyusut, lingkungan yang kian tidak lestari menjadi keenganan orang untuk menikah. Segala keputus asaan ini tentu hal yang tidak bisa dituntaskan oleh individu. Regulasi yang sangat kompleks membangun keturunan sekaligus mencegah bencana dari kerusakan masih penuh tanda tanya.
Arus pergeseran makna tentang peran perempuan untuk menjadi pelaku di ranah domestik, kosmopolitan atau menjalani peran keduanya akhirnya harus terlibat. Sudah beberapa kurun perempuan telah membuka cara pandang untuk tampil mandiri berdikari menompang hidup. Tindakan itu tentu bukan kebetulan dan tiba-tiba.
Latar belakang yang paling memungkinkan ialah tidak sejahtera. Lalu lapangan pekerjaan yang tersedia untuk perempuan juga lebih banyak ketimbang laki-laki. Laporan CNBC tentang jumlah lowongan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin mencatat tahun 2021 lowongan pekerjaan laki-laki lebih rendah 4% dari perempuan.
Inilah menjadi bagian yang mengakibatkan persoalan beruntun dan butuh penyelesaian yang tuntas. Ketika tanggung jawab mencari nafkah berganti peran maka persoalan lain untuk mengasuh dan mendidik terbengkalai. Peran suami dan istri harus tepat pada koridornya. Karena kondisi eksternal seperti ini butuh fasilitas negara, maka negara wajib memenuhi jaminan ekonomi yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat.
Persoalan ekonomi merupakan kebutuhan hidup orang banyak, jika mengalami penyusutan maka kebutuhan premier akan berdampak. Solusinya negara harus turut hadir berpihak untuk membenahi masalah ini. Sibuk dengan pemenuhan hidup menjadikan manusia lupa pada jati dirinya, kejadian inipun memicu untuk bersikap ego dan kesepian. Larut dalam emosi dan juga depresi
Karena jika tidak, jumlah orang-orang dewasa melajang terus melonjak. Apakah ini masalah? Ini jadi masalah jika jumlah usia produktif lebih sedikit di banding usia tidak produktif. Untuk itulah angka kelahiran harus seimbang dalam kehidupan. Maka pernikahan adalah sebagai langkah untuk menyeimbangkannya.
Menikah adalah jalan untuk memuliakan kehormatan serta menggenapkan separuh agama. Perjanjian agung yang jika dilanggar akan mendapatkan balasan yang amat berat di dunia dan di akhirat. Peran agama yang harus dijalankan secara penuh sangat berkonstribusi besar dalam menyelaraskan hubungan ini. Namun, selama ini kehidupan berpasangan tidak identik dengan penerapan sistem hidup yang bersumber dari Al-Qur'an.
Ketakutan dan kengerian jika berpasangan justru hadir bukan dari Al-Qur'an. Menikah sudah di janjikan sebagai hubungan persahabatan antara suami dan istri yang akan dilimpahkan rezeki. Kabar gembira itu justru bertentangan dengan realitas yang ada. Realitas yang ada mengkondisikan kesengsaraan dan kemiskinan, pertentangan ini tergambar karena menggunakan cara pandang manusia semata dan hukum-hukum Al-Qur'an tidak satupun terselenggarakan dengan sempurna.