Keran ekspor pasir laut telah dibuka akhir Agustus 2024. Sebelumnya telah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang terbit pada bulan Mei 2023.
Sejak 20 tahun yang lalu saat Presiden Megawati menjabat aktivitas pertambangan pasir telah ditutup di wilayah perairan Kepuluan Riau (Kepri). Aturan ini dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag no 117/MPP/Kep/2/2023 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Penyebabnya adalah batas wilayah perairan Singapura dan Kepri yang belum jelas teritorinya, juga berpotensi merusak ekosistem laut disekitarnya.
Sebetulnya Apa yang dimaksud dengan sedimentasi laut?
Sedimentasi laut adalah partikel-partikel yang ada di laut dalam bentuk endapan bisa berupa batu dan tanah.
Ahli lingkungan telah meriset aktivitas pengerukan pasir jika terjadi secara massif. Lembaga yang menaungi aktivitas lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI ) telah meriset kerugian-kerugian bencana yang akan ditimbulkan. Bentuk protes terhadap kegiatan ini juga dilengkapi bukti-bukti riset yang terpublikasi.
Bahkan dilansir dari media lingkungan, Mongbay menyebutkan bahwa terdapat bahasa politik kata sedimentasi laut sebagai bentuk menghaluskan bahasa untuk menutupi aktivitas pertambangan pasir yang terjadi.
Dalam petikan wawancara lingkungan yang mereka lakukan dapat disimpulkan bahwa, pemanfaatan sedimentasi laut ada kegiatan pemanfaatan pasir laut yang bertujuan untuk diekspor.
Kerusakan Alam karena Sedimentasi Laut
Gelombang penolakan terhadap aktivitas ini telah menuai kontroversi. Masyarakat pesisir terdampak karena kondisi yang demikian mengakibatkan kerugian bagi mereka, ekosistem rusak akibatnya ikan tidak bernaung disekitar wilayah tangkapan mereka.
Ironis, seharusnya aspek ini menjadi pertimbangan serius bagi birokrasi terkait, bukan malah berpihak pada kepentingan oligarki dan kroninya.
Menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menyimpulkan paling tidak akan terjadi bahaya lingkungan yang meliputi ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, serta memperparah abrasi pantai dan banjir rob.
Tentang ekosistem laut, jika dibiarkan berlarut-larut kerusakan yang terjadi bisa dalam jangka waktu yang panjang. Terutama di bidang ekonomi keberlanjutan dan sosial masyarakat bahwa kebijakan ekspor pasir laut tidak pro rakyat.
Bisa-bisa jika tangkapan ikan nelayan tidak memenuhi kebutuhan pasar akan memicu kelangkaan pangan. Menurut Afdillah juga, salah satu masalah penetapan PP 26/2023 adalah bentuk pembungkusan kebijakan yang merusak dengan label pemulihan lingkungan.
Masih banyak kerugian yang ditimbulkan. Pastinya, pengerukan pasir laut ini bentuk dari serampangannya mengeskploitasi laut. Jika kebijakan ini tetap dilakukan maka bencana siap menyapu jagat raya yang ada dengan porak poranda.
Aturan ini harus segera dicabut agar masyarakat tidak kecewa dan memakan korban jiwa nantinya. Ideologi Kapitalisme memang menuhankan pemilik modal, serta keuntungan menjadi tujuan. Akhirnya tidak lagi memikirkan hajat hidup orang banyak. Karena kebebasan menjadi andalannya.
Seharusnya pemerintah bisa mendirikan mitigasi bagi masyarakat agar kita semua terlindungi dari marabahaya. Tetapi, kenapa bagian terpenting itu diabaikan? Bila masih terus mengekslpoitasi alam secara terus menerus demi kekuasaan segelintir elite, bagaimanakah nasib generasi kita nanti?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H