Mohon tunggu...
Amy Istiqlala
Amy Istiqlala Mohon Tunggu... Freelancer - A cup of tea

Menulis is my passion.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penyalahgunaan Penyiaran Televisi dalam Siaran Sinetron di Indonesia

3 Mei 2020   18:39 Diperbarui: 3 Mei 2020   18:39 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini melanggar UU No 32 Tahun 2002 tenteng Penyiaran pada Pasal 36 ayat 5 yang mengatakan bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan, dan juga melanggar pasal P3SPS pasal 23 ayat 1 yang mengatakan bahwa menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengerusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, atau bunuh diri. Bisa dibayangkan, dalam dua adegan di satu stasiun televisi saja sudah melanggar total empat pasal undang-undang dan pasal P3SPS.

Menanggapi hal ini, penulis prihatin dengan keberlangsungan konten program televisi kedepannya. Mengingat seluruh tayangan yang sebuah televisi tayangkan akan memberi banyak dampak kepada penonton entah itu dampak baik maupun buruk. Jika kasusnya adalah sinetron yang tak kunjung mengedukasi atau paling tidak mengurangi adegan dengan hal-hal yang melanggar UU serta P3SPS, kita perlu tahu bahwasannya di berbagai stasiun televisi yang memiliki program sinetron, rating dari sinetron mereka lebih tinggi daripada program-program lain yang---sebenarnya---lebih bermanfaat. 

Padahal, fungsi media yang sebenarnya adalah untuk menginformasikan, mendidik, menghibur dan mengajak atau sebagai media yang persuasif. Namun ketika tayangan di media televisi dinikmati oleh berbagai kalangan umum maka diperlukan pemikiran yang cerdas untuk memilih tayangan yang tepat sesuai usia atau pendidikannya. 

Rata-rata anak menyaksikan 200.000 tindakan kekerasan di televisi pada usia 18 tahun. Banyak tindakan kekerasan disebabkan oleh orang yang anak kagumi. Seperti pada video games, si pahlawan berhasil menang dengan berkelahi atau membunuh musuhnya. Ini bisa memicu kebingungan ketika anak mencoba memahami perbedaan antara benar dan salah. (Fatonah, Novianti : 2019).

Ini menandakan bahwa penonton Indonesia belum cukup mumpuni untuk memilah mana tayangan yang pantas untuk menjadi hiburan, mana yang pantas untuk menjadi sumber informasi, dan mana yang tidak seharusnya dikonsumsi sehari hari oleh mata, telinga, dan otak mereka. 

Berpikirlah kritis, jika Anda harus menonton sinetron, maka sebaiknya untuk tidak terlalu menginternalisasikan ceritanya ke dalam kehidupan sehari-hari karena hal tersebut---mengenai kekerasan/pelecehan yang penulis sebutkan di atas---memang tidak untuk terlalu banyak dikonsumsi serta hanya merupakan kejadian fiktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun