Mohon tunggu...
Isti Fathmala Yakhmadi
Isti Fathmala Yakhmadi Mohon Tunggu... -

Santri Pondok Pesantren As-Sunnah Cirebon | Pimpinan redaksi Mikrosop As-Sunnah | Sie. Kebersihan Asrama 2 | Hafizhah soon to be =)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bilangnya sih Education for All

24 September 2012   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian beliu menjawab, "Matematika juga relatif koq. Tergantung kita. Kalau kita jawab ya ada jawabannya, kalau kita nggak mau berarti bisa jadi nggak ada jawabannya."

Nah, bagaimana seorang murid dapat berpikir kritis dan kreatif jika sejak kecil mereka selalu dihadapkan dengan kebenaran yang bersifat ‘tunggal’? Kalau begitu buat apa kita sekolah selama tiga tahun? Mendingan juga sekolah sebulan saja untuk belajar menghadapi ujian, habis itu bagi ijazah deh.  Ranchodas Chanchad dalam film 3 Idiots-pun pasti setuju dengan pendapatku.
Aku lebih setuju jika ujian hanya dilakukan bagi mereka yang memerlukan, atau untuk memasuki jenjang lebih tinggi yang dilakukan di awal. Bukannya malah menjadi momok yang menakutkan setelah tiga tahun jungkir-balik bersekolah.

Aku jadi ingat obrolan hangat bersama adik kelas 9 pada suatu sore. Dari obrolan itu aku mendengar keluhan mereka tentang UN yang melelahkan dan mengerikan. Padahal cukuplah dengan UAS, karena dengan begini siswa yang belajar di sekolah tertentu tidak perlu pontang-panting ngejar target lulus UN padahal materi yang selama ini difokuskan kepada mereka bukan materi UN. Tengok sekolah bersistem boarding, sekolah tekhnik mesin, sekolah keputrian, farmasi, kebidanan, dsb. Cuma untuk selembar SKHUN, kami harus belajar jungkir balik keluar batas dan justru melalaikan apa yang seharusnya kami pelajari. Coba pikir, apa tidak penat jika kami harus menguasai bahasa termasuk sastra, menghafal Al-Qur'an, hadits, fiqih, dan pelajaran diniyah lainnya juga sekaligus ditekan untuk lulus UN yang hanya EMPAT HARI dan hanya memilih satu diantara EMPAT HURUF? Harusnya kita bisa fokus ke sistem pendidikan kita masing-masing.
#Lingkungan
Seorang teman bercerita bahwa dia mengikuti program homeschooling hingga SMP. Ketika kutanya alasannya, dia menjawab bahwa ketika di sekolah negeri ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil sehingga ia memberanikan diri bersekolah di sekolah islam khusus perempuan.  Karena ia tidak kuat terus-menerus ditindas seperti itu. Jawabannya itu membuaku mengingat masa sekolahku dulu. Diskriminasi terhadap golongan minoritas memang begitu terasa di sana. Terutama di sekolah swasta. Golongan minoritas yang dimaksud disini adalah murid-murid yang tidak ‘kaya’, tidak ‘gaul’ atau tidak ‘keren’ di sekolah tersebut. Sehingga mereka menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Siapa sih yang ingin menjadi bahan tertawaan setiap harinya? Bahkan terkadang guru-guru pun tidak bisa bertindak lebih tegas mengatasi hal ini. Padahal jelas-jelas murid-murid di sekolah tersebut memiliki hak yang sama dalam memperoleh fasilitas dan pendidikan. Padahal kan sama-sama bayar.

Aku juga jadi ingat masa SMP kakak sulungku, dia pernah menulis tentang perjuangannya untuk menjadi seseorang yang tegar. Dalam tulisannya ia menyebutkan bahwa saat itu dia  menggunakan sepatu merk SPOTEC yang (mungkin) ia beli di pasar, sementara teman-temannya menggunakan sepatu bermerk luar yang dibeli di mall. Dia sering merasa dilecehkan secara tidak langsung ketika mengikuti latihan basket. Meskipun hanya sebuah candaan. Tapi kalau terlalu sering kan ngenes juga ya? Hingga mungkin kakakku itu sering menangis dalam hati karena dia malu dengan sepatu itu sekaligus tak tega meminta dibelikan sepatu bermerk oleh orang tua kami yang memang berstatus ekonomi biasa-biasa saja, saat itu perekonomian keluarga memang masih di bawah (maklum, usia pernikahan ayah-bunda sangat masih hijau). Mungkin hal ini juga terjadi pada banyak siswa seperti dia pada waktu itu.

Dalam hal ini dibutuhkan peran serta orang tua yang lebih mengerti bagaimana kondisi lingkungan anak-anak mereka di sekolahnya. Sehingga mereka bisa menentukan di mana seharusnya anak mereka ditempatkan untuk kebaikan anak itu sendiri. Atau malah dengan kebijakan sekolah untuk menetapkan sepatu atau atribut sekolah lainnya yang sederhana dan seragam yang dikenakan para siswa ke sekolah.

#Guru=Panutan

Aku beranggapan bahwa seorang pendidik yang baik harus mampu bersikap netral *netral lho yah, bukan Slank atau Peterpan apalagi Kangenben* dalam mendidik murid-muridnya. Ia harus tegas dan bisa memberikan pandangan-pandangan yang dapat membuat murid-muridnya memilih sendiri kebenaran sebenarnya. Ya, bisa dibilang guru versiku adalah seorang fasilitator yang membantu murid-muridnya memiliki pandangan dan pilihan untuk masa depan mereka, bukan malah menghakimi mereka. Fungsi guru bukan hanya sekedar penceramah di kelas, tapi bisa sebagai teman diskusi bagi murid-muridnya. Sehingga bisa bersama-sama menyelesaikan masalah pendidikan. Tapi sayangnya, pada kenyataannya banyak sekali pendidik yang tidak bisa menerima pendapat para muridnya. Ironis.

Dari sebuah survey yang dilakukan oleh seniorku di mading sekolah dulu, dia sempat mengunjungi lebih dari 20 sekolah di Indonesia untuk share mengenai bagaimana menulis kreatif dan mengajar tentang bagaimana memproduksi majalah. Kesimpulan yang bisa kuambil saat itu adalah: murid-murid SMP-SMA sangat butuh seorang pendidik yang mengerti akan kebutuhan mereka. Bukan malah membuat mereka takut. Mereka butuh tempat dimana mereka bisa nyaman bertanya dan bercerita. Bertanya apakah yang telah mereka lakukan itu benar atau salah. Mereka butuh motivator yang unggul untuk membuat mereka berani mengambil sebuah keputusan dalam kehidupan.

Oiya, satu hal lagi pertanyaan yang berhasil kutemukan jawabannya kemarin melalui browsing di Internet. Kenapa pendidikan di Korea-Selatan lebih cepat meningkat dibandingkan dengan Indonesia? Jawabannya adalah bahwa profesi guru (terutama guru SD) di Korea Selatan lebih bergengsi dibandingkan profesi apapun disana. Meskipun gaji guru di sana tidak jauh lebih tinggi, namun ada pride tersendiri menjadi seorang guru di negara tersebut. Beda banget kan sama di negara kita ini? (Uhuk uhuk, nggak usah kujelaskan alasannya, kalian juga udah tau kenapa hahaha)

Hal yang kuungkapkan di atas hanyalah sebagian kecil dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Diluar kasus yang lebih njelimet lagi seperti politik, KKN, dll (Maaf aku ogah ngomongin masalah itu. Bikin kesel aja soalnya :@)

Sudah sepantasnyalah pemerintah membenahi permasalahan ini jika target EFA 2015 memang betul-betul ingin dicapai. Dan untuk masyarakat, kalau kalian menganggap pemerintah terlalu lamban untuk mengatasi masalah ini, berarti kalian lah yang harus melakukan sesuatu untuk mencerdaskan bangsa ini. Jangan hanya bisa mengeluh. Mungkin sekolah alternatif  bisa dijadikan sebuah solusi yang cukup baik. Sekolah dimana kebutuhan pendidikan murid lebih penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun