Mohon tunggu...
Istiasmidiati Wardiningrum
Istiasmidiati Wardiningrum Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Manajemen Pendidikan FIP UNJ

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semangat Belajarku Mati, Andai Guruku Tahu

3 Mei 2014   16:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Pada dasarnya peserta didik adalah jiwa-jiwa penghuni masa depan dimana kita tidak akan mampu membayangkan ataupun memimpikan seperti apa masa depan itu. Oleh karena itu, kita tidak berhak membelenggu jiwa mereka, pemikiran mereka dengan pemikiran dan dogma-dogma kita. Kewajiban kita sebagai pendidik adalah membantu mereka menemukan kunci dan membukakan mereka pintu gerbang pengetahuan dalam kehidupan nyata.” -Kahlil Gibran-

Satu-satunya kunci untuk membuka pintu gerbang pengetahuan adalah dengan belajar. Namun, disini permasalahan utamanya ada pada melemahnya semangat peserta didik untuk belajar. Semangat berarti kekuatan, gairah, kemauan, dsb yang memengaruhi perasaan hati untuk menggapai sesuatu. Biasanya semangat belajar yang tinggi muncul pada saat awal-awal masuk sekolah sebelum pada akhirnya peserta didik merasakan semangat mereka mulai memudar dikarenakan satu dan lain hal yang berhasil memengaruhi semangat belajar mereka. Menurut Thomas Amstrong (2002) dalam bukunya “In Their Own Way”, ada 4 T yang bisa membunuh semangat belajar, yaitu: (1) teacher talk, (2) text-book, (3) task analysis, (4) tracking.

Yang pertama teacher talk, atau biasa dikenal dengan metode pembelajaran ceramah. Metode ceramah merupakan cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama dijalankan dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Metode ceramah dianggap sebagai penyebab rendahnya minat belajar peserta didik. Tak jarang kita temui, peserta didik yang merasa semangat belajarnya mati ketika hanya mendengarkan ceramahan dari guru selama jam belajar. Entah apa yang menyebabkan begitu, ketika guru menerangkan, raga peserta didik memang ada di kelas tapi pikirannya kemana-mana. Memang tidak sepatutnya kita menyalahkan metode ini, semuanya tergantung pada bagaimana cara guru menyampaikan dan cara peserta didik menangkap apa yang disampaikan.

Ada banyak jenis metode pembelajaran yang dapat digunakan guru selama di kelas, salah satunya dengan ceramah. Tetapi ada baiknya bagi para guru untuk memikirkan secara matang terlebih dahulu mengenai metode pembelajaran apa yang akan digunakan kepada peserta didiknya sebagai teknik penyajian materi pembelajaran yang dipakai. Guru harus memahami model-model belajar peserta didiknya yang paling dominan ketika di kelas, barulah bisa menentukan metode pembelajarannya. Apakah peserta didik di kelas lebih dominan belajar dengan model visual, auditif, kinestetik, atau multitask? Guru harus mampu menerawang apa yang dibutuhkan peserta didiknya, dan kalaulah guru tidak mampu untuk memahami siapa siswanya, terapkanlah keempat model belajar siswa di atas agar tujuan pembelajaran di kelas dapat tercapai dengan sangat efektif.

Kedua, text-book. Penerapan text-book ini sebaiknya digunakan hanya untuk sebatas memahami konsepnya saja, selanjutnya biarkan peserta didik mengkreasikan dan mengaplikasikannya. Jika guru terlalu “mengelu-elukan” apa yang ada dalam buku, dalam artian guru selalu menginginkan segala sesuatunya berdasarkan pada perintah buku, kita bisa kehilangan semangat peserta didik untuk berkreasi dengan eksperimen dan analisisnya sendiri.

Merujuk pada pemikiran L. Dee Fink dalam tulisannya yang berjudul Active Learning, pembelajaran aktif terdiri dari dua komponen utama yaitu: unsur pengalaman (experience), yang meliputi kegiatan melakukan (doing) dan pengamatan (observing) dan dialogue, yang meliputi dialog dengan diri sendiri (self) dan dialog dengan orang lain (others). Ketika peserta didik membaca buku teks atau mendengarkan ceramah, pada dasarnya mereka sedang berdialog dengan “mendengarkan” dari orang lain (guru, penulis buku) yang sifatnya sangat terbatas karena di dalamnya tidak terjadi feedback dan pertukaran pikiran.

Ketiga, task analysis. “Kerjakan LKS-nya sampai habis nanti dikumpulkan”. Pasti kita sudah tidak asing lagi mendengar kalimat seperti itu. Kasarnya, ini adalah kondisi malpraktek atau kesalahan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kegiatan ini sangat menyita waktu peserta didik, karena bentuk kegiatan evaluasinya hanya melalui LKS saja. Padahal jika guru tersebut cerdas dalam menjalani peran dan fungsinya sebagai guru, ia bisa saja mengajak peserta didiknya outing class, pengamatan (observasi), diskusi dengan teman sekelasnya atau praktek langsung terkait mata pelajaran yang diajarkan dan guru sebagai fasilitatornya.

Keempat, adalah tracking. Dalam hal ini, tracking yang dimaksud adalah pengelompokkan. Pengelompokkan peserta didik biasanya dilakukan sebelum tahun ajaran baru dimulai. Hal ini bisa memermudah peserta didik baru di hari pertama masuk sekolah. Namun, tanpa disadari pengelompokkan ini bisa berdampak besar pada psikologis peserta didik. Misalnya saja sebuah sekolah melakukan pengelompokkan kelas berdasarkan pada kemampuan. Kelas 1A kelompok “pandai”, kelas 1B kelompok “campuran; pandai dan lamban”, kelas 1C kelompok “lamban”. Peserta didik kelas 1A cenderung merasa hebat jika dibandingkan dengan peserta didik kelas 1C, hal ini bisa membuat peserta didik kelas 1C frustasi terhadap sikap peserta didik kelas 1A, dan peserta didik kelas 1A akan cenderung menjadi sombong. Biasanya situasi ini terjadi pada sekolah-sekolah yang menerapkan kelas unggulan. Solusinya jika ingin mengadakan pengelompokkan, guru dan pihak sekolah harus mampu mengatur dan mengelola pengelompokkan dengan sangat bijak dan menggunakan perencanaan yang sangat matang.

Tetapi, tidak semua pengelompokkan memiliki dampak negatif bagi peserta didik. Misalnya pengelompokkan berdasarkan bidang studi atau program studi sebagai bentuk penjurusan di SMA/SMK. Segala sesuatunya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, tergantung dari arah mana kita memandangnya. Pada intinya, peran dan fungsi guru di kelas sebagai tenaga pendidik professional harus sejalan dengan tujuan pembelajaran dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Ini mengartikan bahwa keempat T yang telah disebutkan di atas menggambarkan potret guru dalam memengaruhi semangat belajar siswa, tidak hanya berpengaruh tetapi juga bisa membunuh.

Tumbuhkanlah semangat belajar anak didikmu, mereka adalah generasi penerus bangsa! #ILoveMyTeacher

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun